Jika mendambakan pemenang Nobel asal Indonesia, tidak bisa lain, pekerjaan rumah bagi lahirnya insan bertalenta tinggi, pendidikan unggul, dan ekosistem riset, serta ketekunan nirgodaan duniawi perlu dibangun.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Ini satu hal rutin, di awal Oktober pengagum sains: fisika dan kimia, fisiologi/kedokteran, kesusastraan, perdamaian, dan ekonomi menanti peraih Hadiah Nobel.
Penghargaan prestisius dunia itu diprakarsai oleh penemu dinamit asal Swedia, Alfred Nobel (1833-1896). Tahun ini, kita sudah membaca peraih hadiah untuk kedokteran, fisika, dan kimia. Terkadang muncul pertanyaan tentang penerima, khususnya untuk Nobel Perdamaian, tetapi umumnya kita kagum oleh peraih Nobel bidang sains. Pertama, oleh tingginya mutu hasil penelitian pemenang, baik untuk kemajuan bidang sains yang ditekuni maupun kemanfaatannya bagi umat manusia.
Contohnya Nobel Fisika 2021 diberikan kepada tiga ilmuwan yang memberi landasan ilmiah agar manusia memahami sistem iklim kompleks. Dua di antaranya, Syukuro Manabe dan Klaus Hasselmann, menerima anugerah ini pada usia 90 tahun.
Kadang, Komite Nobel cepat memberikan hadiah untuk satu penemuan, kadang butuh waktu lama, dan kadang sosok yang diperkirakan bakal menerima tak kunjung menerima, seperti fisikawan Stephen Hawking yang teorinya ”bintang hantu” (lubang hitam, black hole) terkonfirmasi. Lainnya, astrofisikawan S Chandrasekhar perlu menunggu tiga dekade untuk pantas diakui sebagai peraih Nobel (tahun 1983).
Karya peraih Nobel Fisika tahun ini perlu kita garis bawahi karena urgensinya terkait dengan fenomena perubahan iklim dan pemanasan global. Banyak laporan mengalir tentang kondisi Bumi yang disebut kian kritis akibat fenomena tersebut. Umat manusia makin membutuhkan sains untuk memahami proses dan pencegahan dampak buruk perubahan iklim, selain aksi untuk mencegah kenaikan suhu di atas 1,5 derajat celsius.
Nobel Kedokteran dianugerahkan untuk peneliti indera perasa bagi suhu dan tekanan, dan Nobel Kimia untuk penemu katalis organik yang membuat proses produksi lebih sedikit menghasilkan limbah kimia. Karya itu mengagumkan meski fenomena indra perasa dalam kehidupan sehari-hari dianggap biasa (taken for granted). Pemenang Nobel melalui karyanya mengungkap dasar ilmiah mengapa hal itu terjadi.
Setiap kali pengumuman Nobel, terbayang kapan ilmuwan Indonesia bisa meraihnya? Banyak faktor, mulai dari bakat kecerdasan istimewa, pendidikan yang mengembangkan bakat, hingga ekosistem riset yang mendukung.
Indonesia memiliki banyak ranah untuk penelitian fisiologi/kedokteran, fisika, dan kimia yang bisa mendukung bagi lahirnya karya berkelas Nobel. Misalnya tentang penanggulangan penyakit tropis, atau pemahaman atas fisika lingkungan, terkait lempeng tektonik atau sains gunung berapi. Namun, riset harus dikerjakan hingga ada temuan sains yang hakiki, yang mengungkap dasar-dasar ilmiah satu fenomena.
Jika mendambakan pemenang Nobel asal Indonesia, tidak bisa lain, pekerjaan rumah bagi lahirnya insan bertalenta tinggi, pendidikan unggul, dan ekosistem riset, serta ketekunan nirgodaan duniawi perlu dibangun. Jalan masih panjang.