Pelaksanaan atas putusan pengadilan terkait gugatan warga negara terhadap kasus pencemaran udara di DKI Jakarta ini ibarat ”sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui”. Ini menjadi keputusan bermakna bagi rakyat.
Oleh
AGUNG WARDANA
·5 menit baca
Pada 16 September 2021, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengambil putusan yang bersejarah di bidang hukum lingkungan. Setelah mengalami penundaan beberapa kali, majelis hakim akhirnya membacakan putusan dengan menerima sebagian gugatan para penggugat yang merupakan warga DKI yang berjuang melawan pencemaran udara di Ibu Kota.
Pihak tergugat, dalam hal ini pemerintah, mulai dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah yang berkaitan dengan udara, dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum karena lalai melakukan tindakan yang diperlukan untuk mengendalikan pencemaran udara di Jakarta. Pengadilan memerintahkan kepada para tergugat untuk melakukan tindakan yang dibutuhkan dalam penanganannya.
Di tengah rendahnya tingkat kepercayaan kepada pengadilan, melalui putusan ini publik diberikan harapan bahwa pengadilan dapat berperan aktif dalam penyelamatan lingkungan dan kesehatan masyarakat dengan memegang teguh prinsip in dubio pro-natura (dalam keadaan ragu-ragu, hakim harus memutuskan yang terbaik bagi lingkungan hidup).
Memang upaya hukum merupakan hak mereka yang beperkara, tetapi pilihan untuk banding oleh pemerintah patut disesalkan.
Bukan permainan bola
Sebagai putusan di tingkat pertama, tentu saja masih terbuka ruang bagi para pihak, terutama tergugat, untuk mengajukan upaya hukum. Beberapa hari lalu, pemerintah pusat memutuskan untuk banding atas putusan ini. Memang upaya hukum merupakan hak mereka yang beperkara, tetapi pilihan untuk banding oleh pemerintah patut disesalkan.
Pengadilan secara teoretis dinilai sebagai cara yang paling rasional dan beradab dalam menyelesaikan konflik. Namun, realitasnya, beperkara di pengadilan tak membuat para pihak menjadi rasional dalam menilai sebuah putusan. Alih-alih berpikir jernih, para pihak lebih sering melihat putusan pengadilan secara emosional, hitam-putih, dan menang-kalah.
Bagi pihak yang ”kalah”, sebuah putusan pengadilan dapat dipandang sebagai sebuah serangan atas martabat sehingga menimbulkan kejengahan untuk terus melawan. Sekecil apa pun celah yang tersedia akan digunakan untuk mengirimkan pesan bahwa mereka belum menyerah. Beperkara di pengadilan diibaratkan permainan bola di mana kesebelasan pemenang akan mengambil semuanya (the winner takes all).
Ketika kita coba kaitkan dalam kasus gugatan warga negara (citizen lawsuit/CLS) pada kasus ini, ada beberapa catatan yang bisa diberikan.
Pertama, CLS ini bentuk partisipasi warga negara untuk membantu negara menjalankan tanggung jawabnya dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM, salah satunya hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Dengan demikian, CLS merupakan actio popularis yang memiliki dimensi publik sehingga putusan yang dihasilkan akan memberikan manfaat dalam upaya pelindungan dan pemenuhan hak publik dari tindakan dan kebijakan negara.
Jika dilihat substansinya, putusan dalam kasus ini sejatinya tidaklah radikal, tapi relatif moderat. Buktinya, negara, dalam hal ini pemerintah, tidak dinilai oleh hakim telah melanggar HAM yang memiliki implikasi lebih serius dalam konteks legal dan politik. Pengadilan hanya memerintahkan adanya kebijakan yang lebih baik guna mencegah dan mengatasi pencemaran udara.
Hidup dengan udara yang bersih merupakan harapan bersama semua komponen bangsa sehingga tak ada alasan etis apa pun yang bisa membenarkan udara untuk terus dicemari. Hanya pihak yang diuntungkan oleh adanya pencemaran udara yang beranggapan bahwa kebijakan memperketat standar udara bersih sebagai sesuatu yang harus ditunda.
Pengadilan hanya memerintahkan adanya kebijakan yang lebih baik guna mencegah dan mengatasi pencemaran udara.
Kedua, pilihan pemerintah pusat melakukan banding menunjukkan bahwa mereka sedang menggunakan kerangka berpikir permainan bola. Pilihan ini juga dipengaruhi oleh masih kentalnya budaya politik paternalistik dalam relasi negara dengan masyarakatnya.
Dalam budaya ini, pemerintah dianggap sebagai figur bapak, sedangkan masyarakat adalah anak sehingga seorang anak semestinya tak mempertanyakan tindakan dan kebijakan sang ayah. Adalah tabu bagi si anak mengkritisi sang bapak. Ketika si anak justru dimenangkan oleh pengadilan, hal ini membuat sang bapak merasa kehilangan wibawa dan perlu untuk melawan melalui banding.
Artinya, banding oleh pemerintah ini sebenarnya merupakan politik pertahanan citra, alih-alih bersifat substantif, tetapi dampak dari pilihan ini tidak bisa diremehkan.
Melalui banding, pemerintah memasukkan kembali putusan tersebut ke dalam labirin pengadilan. Publik tak bisa memantau bagaimana hakim akan memeriksa kasus tersebut di tingkat banding, dan kemungkinan besar masuk pula di tingkat kasasi. Yang tak kalah penting adalah untuk mengajukan upaya hukum banding yang didasari oleh rasa jengah hanya akan merugikan semua pihak.
Upaya hukum ini akan menunda tindakan cepat dan responsif dari pemerintah yang sejatinya sangat dibutuhkan bagi masyarakat dan udara yang telah tercemar. Alhasil, korban pencemaran udara akan semakin bertambah.
Seandainya saja pemerintah pusat mau sedikit tenang dan berefleksi, mereka akan menemukan bahwa putusan ini tidak sedang mengalahkan siapa-siapa. Putusan ini justru memenangkan semua pihak, tidak saja pihak yang beperkara, tetapi juga masyarakat Jakarta dan Indonesia secara luas.
Oleh karena itu, putusan pengadilan ini mesti dilihat melampaui oposisi biner antara penggugat (masyarakat) melawan tergugat (pemerintah), tetapi sebagai penanda antara masa lalu melawan masa depan yang lebih sehat dan bersih.
Legasi Presiden Jokowi
Sebagai landmark case dalam kepustakaan hukum lingkungan di Indonesia, putusan ini akan terus didiskusikan di ruang-ruang akademik dan pengambilan keputusan di Indonesia dan di negara lain.
Bagaimana pemerintah meresponsnya akan tercatat dalam sejarah perkembangan hukum lingkungan dan menjadi bahan telaah generasi berikutnya.
Untuk menciptakan warisan (legacy) yang baik bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan, Presiden seharusnya mengarahkan organ-organ pemerintahan untuk mengambil tindakan sistematis dan terencana dalam menjalankan putusan ini. Hal ini dapat dilakukan dengan jalan menyusun rencana kerja pemerintah dan mengajukannya kepada pengadilan sebagai bentuk itikad baik bahwa pemerintah tunduk pada pengadilan.
Selain itu, pelaksanaan atas putusan pengadilan ini ibarat ”sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui”. Hak masyarakat atas kesehatan terjamin, komitmen pemerintah secara internasional dalam penurunan emisi gas rumah kaca tercapai, dan pembangunan berkelanjutan pun akan terwujud. Ini akan menjadi warisan yang bermakna bagi rakyat dan lingkungan.
Agung Wardana,Dosen Fakultas Hukum UGM; Humboldt Fellow di Max Planck Institute, Jerman