Pakar yang ”Inlander”
Dahulu Soekarno sering mengkritik rakyat sebagai “inlander”, rakyat dengan (maaf) mental jajahan. Namun, ternyata penjajahan terjadi di mental kalangan cerdik cendekia yang lebih senang menggunakan literatur luar.
Presiden Joko Widodo menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2021 tentang Tim Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia pada 8 September 2021, dan menunjuk Letnan Jenderal TNI (Purn) Luhut Binsar Panjaitan sebagai Ketua Tim. Hemat saya, ini relevan bukan saja untuk menolong bangsa agar tidak telanjur menjadi ”inlander” (terjajah), tetapi juga para pemimpinnya, para pakar, para cerdik cendekia. Bagaimana bisa?
Seminggu sebelum kebijakan ini diterbitkan, saya mendapatkan kiriman lima buku yang ditulis para pakar terkemuka dari suatu kampus terkemuka di Indonesia dan penerbit kampus ternama, dalam digital (PDF, adobe). Sebagaimana produk digital, free download. Luar biasa, mencerdaskan bangsa, seperti amanat Pembukaan UUD 1945, bukan?
Saya membaca buku digital tersebut dengan saksama. Isinya tidak hendak dibahas karena jelas kampusnya, penulisnya, dan penerbitnya semua terkemuka. Namun, ada satu hal yang mengganjal, rerata tulisan dalam bunga rampai tersebut menggunakan literatur dan penulis dari luar negeri, terutama Amerika dan Eropa Barat. Sangat sedikit literatur dari penulis Indonesia, bahkan ada yang tidak ada sama sekali.
Baca Juga: Manfaat Publikasi Ilmiah
Tersadar, bahwa kebijakan Presiden Jokowi tidak hanya relevan untuk rakyat biasa, pembeli dan pengguna produk konsumen yang kebanyakan buatan luar Indonesia. Rakyat yang sering dikritik oleh Soekarno, Presiden Pertama RI, sebagai inlander, rakyat dengan (maaf) mental jajahan. Namun, ternyata penjajahan terjadi di mental para cerdik cendekianya. Seperti pemikiran Noah Chomsky pada Who Rule The World (2016), penguasa atau pemimpin dunia, apalagi penguasa dan pemimpin suatu negara atau bangsa, bukanlah para politisi atau pun pemilik kekayaan terbesar di negara tersebut, melainkan para cerdik cendekianya atau para pakar-pakarnya.
Mereka adalah generator utama bagi pembuat kebijakan dan penyelenggaraan negara, bahkan setiap organisasi di dalam negara tersebut. Mereka yang menciptakan gagasan-gagasan kemudian mengajarkan kepada pembuat kebijakan dan lingkaran intinya, mengajar di kelas-kelas, dan kepada publik melalui ceramah, konsultasi kepada para kliennya, buku, dan jurnal, serta tulisan-tulisannya, atau pendapat-pendapatnya di media massa.
Bukan isu sepele
Sepintas, kenyataan itu tampaknya sepele. Bukankah pembuat kebijakan dan publik mempunyai kecerdasan dan kehendak bebas untuk membuat keputusan apa saja? Benar. Namun, pembuat kebijakan tergantung kepada nasihat para pakar yang dipercaya. Belum ada satu orang pembuat kebijakan yang baik yang hanya menggunakan pikirannya sendiri saja. Ia pasti mengundang mereka yang dianggap ahli dan dipercaya untuk memberi tahu, setidaknya mengkonfirmasi keabsahan gagasannya.
Tanpa melihat sisi negatif para cerdik cendekia untuk mendapat imbalan atas nasihatnya, tetapi tatkala ia memberi nasihat, pasti ia sangat percaya dengan gagasan yang melatarbelakangi nasihat ilmiahnya. Itulah sebabnya, boleh dikata, hampir semua kebijakan, terutama di level undang-undang, menjadi bagian dari mazhab ilmiah tertentu. Dan, malangnya, mazhab itu tidak mengakar di tempat di mana ia dibuat. Tidak peduli apakah gagasan itu relevan atau tidak, keyakinan pembuat kebijakan kepada ahli yang dipercayainya yang menentukan.
Sebut saja, mulai dari UU Bank Sentral, UU Migas, UU Investasi, bahkan hingga UU Aparatur Sipil Negara, yang sarat dengan prinsip new managerialism, yang mengklon, bahkan mengkopi manajemen swasta ke pemerintahan, yang sekarang di negara-negara maju semakin dipercaya tidak sesuai lagi, termasuk kritik Paul Krugman A Country is Not A Company (HBR, January–February 1996).
Baca Juga: Kebijakan Berbasis Bukti di Musim Pandemi
Empat penyebab
Penyebab pertama para pakar lebih mengutip pakar internasional daripada nasional adalah karena biasanya tulisan mereka didasarkan kepada penelitian yang lebih berkualitas daripada pakar dalam negeri. Ini adalah alasan ”kelas tinggi”. Tidak dimungkiri, kesenjangan struktural ini lebih berbicara daripada kesenjangan kultural bahwa pakar kita kalah pandai atau kalah hebat dengan pakar luar negeri.
Kemendikbudristek mempunyai program riset bagi cerdik cendekia. Saya mengaku tidak pernah mengambil karena laporan keuangan dan administratif lebih sulit dan biasanya, 2-3 kali lebih tebal daripada laporan penelitiannya sendiri. Diakui, tidak ada honor atau insentif untuk dosen yang memimpin penelitian, hanya anggota staf yang mendapatkan. Kecuali dengan cara nakal, ”menggunting” honor anggota staf atau anggota tim peneliti, yang dengan sukarela bekerja sama, karena tidak tega.
Ada kewajiban dalam penugasan di perguruan tinggi untuk menggunakan literatur kelas dunia.
Penyebab kedua, yang bersifat sistemik, ada kewajiban dalam penugasan di perguruan tinggi untuk menggunakan literatur kelas dunia (dari negara lain) yang terbaru dan ada di penerbit atau jurnal terkemuka. Tidak mudah bagi penulis Indonesia untuk menjadi penulis, apalagi penulis tunggal, dari buku publikasi kelas internasional, dan jurnal internasional. Biasanya menjadi salah satu penulis saja. Penugasan tersebut diutamakan untuk tugas-tugas akhir seperti paper akhir, skripsi, tesis, dan disertasi.
Penyebab ketiga, penerbit Indonesia tidak tertarik menerbitkan tulisan pakar domestik karena biasanya buku mereka tidak dibeli oleh mahasiswa karena para mahasiswa diwajibkan membaca literatur pakar internasional. Dus, rerata penerbit terkemuka yang independen untuk perguruan tinggi, punya komposisi buku terjemahan dan penulis domestik sekitar 70 persen berbanding 30 persen. Dosen-dosen domestik menerbitkan bukunya di penerbit kecil dan membiayai sendiri dengan uang seadanya. Dan menjadi buku yang ”dilecehkan” di kalangan akademisi yang berkelas tinggi.
Penyebab keempat, sebagian besar literatur internasional tersebut memang belakangan mudah untuk diakses atau diunduh melalui berbagai situs digital secara gratis. Sementara sebagian besar penulis Indonesia menerbitkan bukunya secara fisik. Mahasiswa, bahkan dosen, terpaksa membeli, dan artinya memboroskan anggaran. Pilihan terbaik, cari yang gratis, apalagi dinilai bermutu jauh tinggi.
Empat penyebab ”memastikan” tersebut yang memastikan inlanderitas dari para pakar Indonesia hingga hari ini.
Rekomendasi
Untuk membuat rakyat cinta produk nasional, yang pertama harus melakukan adalah para pemimpinnya, dan pemimpin bukan mereka yang punya jabatan resmi, tetapi mereka yang pikiran-pikirannya diikuti semua orang, baik itu bupati, wali kota, gubernur, menteri, bahkan presiden. Pikiran yang diikuti ketua-ketua partai dan anggota parlemen, hingga mahasiswa yang senang di kampus, atau yang gemar berunjuk rasa.
Rekomendasinya adalah ”menembak” keempat penyebab di depan. Pertama, program dukungan penelitian untuk para dosen ditata kembali agar proses, insentif, dan pertanggungjawabannya direformasi. Hasil penelitian didampingi agar mencapai yang terbaik, dan publikasinya dibantu dengan me-leverage ke kelas dunia dengan cara membiayai penerbitkan pakar Indonesia pada penerbitaan internasional.
Program dukungan penelitian untuk para dosen ditata kembali agar proses, insentif, dan pertanggungjawabannya direformasi.
Kedua, menata kewajiban kepustakaan lebih mengindonesia. Setidaknya tidak memarahi mahasiswa jika menggunakan literatur karya pakar domestik. Atau, secara kuantitatif, dengan komposisi pakar internasional 60 persen domestik 40 persen—untuk mengakomodasi kemajuan internasional yang dicemaskan para pakar sendiri.
Ketiga, memberi insentif kepada setiap penulis buku yang berkualitas –yang bukan sekadar penyadur—misalnya Rp 25 juta–Rp 50 juta per judul buku dengan kriteria tertentu. Penerbit independen dan non-independen (dari kampus atau pemerintah) dapat tetap menerbitkan, tetapi secara digital, dan bukunya dilepas di situs digital untuk dapat diunduh gratis.
Tentu saja, dipikirkan insentif bagi penerbit independen—penerbit non-independen tidak perlu. Selain itu, perlu ada semacam tim penilai yang majemuk agar standardisasinya tidak menjadikan ”satu buku untuk semua orang”, sebagaimana buku-buku teks untuk sekolah menengah dan dasar. Solusi ketiga ini secara efektif dapat ”menembak” penyebab ketiga dan keempat bersamaan.
Baca Juga: Publikasi Versus Inovasi
Ketiga agenda kebijakan tersebut terpulang pada institusi yang membawahi pendidikan, yaitu Kemendikbudristek. Tidak sulit bagi seorang muda, milenial, yang sekarang memimpin kementerian tersebut untuk melakukan ketiga langkah tersebut. Sebelum terlalu jauh terlambat. Sekaligus mengiringi kebijakan Presiden Jokowi, cinta produk dalam negeri. Sekaligus, membantu menyelesaikan masalah inlandersitas para pakar Indonesia, tanpa harus menyalahkan satu-sama lain. Karena, pada dasarnya dan pada faktanya, merekalah pemimpin bangsa yang sebenarnya.
Seperti nasihat HAR Tilaar dalam Kebijakan Pendidikan (2012), pendidikan adalah instrumen terpenting dalam menggunggulkan suatu bangsa. Dan artinya, para pakarnya, bukan hanya guru-guru sekolah dasar dan menengahnya, yang perlu ditolong, agar tidak menjadi inlader yang secara struktural dan kultural terus-menerus meng-inlander-kan bangsanya, dan bahkan pembuat kebijakan dan penyelenggara negaranya.
(Riant Nugroho, Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia (MAKPI); Pengajar Program Pasca Sarjana FISIP Universitas Jenderal Achmad Yani, Cimahi)