Penting bagi pesantren-pesantren untuk menyamakan persepsi bahwa Dana Abadi Pesantren bukanlah santunan dari negara atau pemerintah kepada pesantren, melainkan lebih merupakan bentuk pengakuan dan penghormatan negara.
Oleh
FATHOR RAHMAN
·5 menit baca
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Santri melakukan tadarus memperingati Nuzulul Quran di Pondok Pesantren Nurul Hidayah Al-Mubarokah, Desa Sempu, Andong, Boyolali, Jawa Tengah, Minggu (2/5/2021) malam. Kegiatan ini dilakukan saat malam Lailatulqadar dengan penerangan lampu berbahan bakar minyak tanah untuk mengenang tradisi masyarakat sekitar pada masa lampau saat Ramadan.
Awal September 2021, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden No 82/2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren.
Perpres ini merupakan turunan dari Undang-Undang No 18 Tahun 2019 tentang Pesantren yang sudah disahkan DPR dan pemerintah pada akhir September 2019, khususnya Pasal 48 Ayat (5) dan Pasal 49 Ayat (2).
Jika pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Pesantren dianggap sebagai kado istimewa menjelang Hari Santri 2019 dari negara, Perpres tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pendidikan Pesantren dapat dikatakan kado luar biasa Hari Santri 2021 dari pemerintah bagi masyarakat santri.
UU dan perpres ini sangat urgen dan tepat meskipun agak terlambat dalam kerangka perwujudan komitmen negara dan pemerintah untuk merekognisi dan memberdayakan pendidikan pesantren, salah satunya dengan pengalokasian Dana Abadi Pesantren oleh pemerintah.
Titik urgensi
Setidaknya ada dua titik urgensi Dana Abadi Pesantren ini. Pertama, rekognisi dan komitmen keberpihakan anggaran kepada pesantren tersebut memiliki nilai strategis-idealistis yang bisa dimaknai sebagai kemauan politik pemerintah untuk membangun dan memperkuat peradaban Islam di Nusantara yang berkelanjutan.
Setidaknya ada dua titik urgensi Dana Abadi Pesantren ini.
Sejarah mencatat, jaringan intelektual dan pendidikan pesantren berhasil membangun peradaban Islam yang kosmopolit, ikut mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menguatkan NKRI hingga saat ini.
Pada abad ke-19, di Nusantara muncul sekelompok masyarakat santri yang mengirimkan putra-putri mereka untuk menuntut ilmu ke Timur Tengah (Timteng). Kecenderungan ini semakin meningkat seiring semakin lancarnya transportasi dari Hindia melalui Eropa ke Timur Tengah dengan dibukanya Terusan Suez pada awal abad ke-19 (Abdurrahman Wahid, 2007).
Fenomena ini kemudian menghasilkan korps ulama tangguh yang mendalami ilmu-ilmu agama di Semenanjung Arabia, khususnya di Mekkah. Maka, lahirlah ulama-ulama besar di Nusantara yang tidak terputus-putus hingga saat ini, seperti KH Kholil (1235-1343 H) dari Bangkalan, Madura; KH Hasyim Asy’ari (1871-1947 M) dari Tebuireng, Jombang; KH Abbas (1879-1946) dari Buntet, Cirebon; KH Bisri Syansuri (1886-1980) dari Denanyar, Jombang; KH Machrus Ali (1906-1985) dari Lirboyo, Kediri; KH Mahfudz Termas, dan KH Khotib Sambas.
Mereka memberikan corak baru dalam tradisi keilmuan pesantren, yakni pendalaman ilmu fikih yang lebih sempurna dan komplet. Diskusi mengenai fikih kemudian tak hanya berhenti di fikih semata, tetapi juga dilengkapi dengan perangkat keilmuan lain yang menunjang, seperti ilmu-ilmu bahasa Arab yang lebih tuntas, ushul al-fiqh, qawa’id al-fiqh, ‘ulum al-tafsir, ‘ulum al-hadits, ilmu akhlak, dan ilmu-ilmu humaniora, seperti sastra dan sosial kemasyarakatan.
Kompas
Didie SW
Tak hanya itu, para ulama itu telah mentransmisikan ilmu dan paradigmanya melalui pendidikan pesantren yang tersebar di Nusantara dan berlanjut hingga detik ini. Masyarakat santri yang mengirimkan putra-putrinya untuk menuntut ilmu di Timteng itu adalah mereka yang berhasil mengakumulasi dana untuk biaya pendidikan putra-putri mereka.
Sumber daya dana pendidikan menjadi variabel yang sangat penting untuk membangun blok peradaban intelektual bangsa di kalangan santri. Di sinilah titik urgensi Dana Abadi Pesantren tersebut.
Dengan Dana Abadi Pesantren, para santri potensial dapat lebih mudah untuk melanjutkan tradisi intelektual para ulama di Nusantara yang luar biasa. Bahkan para santri potensial dari keluarga dengan ekonomi lemah pun sangat mungkin untuk membangun jaringan dan transmisi intelektual, tak hanya di Timteng, tetapi juga di belahan dunia lain.
Di sinilah titik mula peradaban Islam Indonesia yang lebih kosmopolit dan masif dapat lebih mudah diwujudkan.
Kedua, eksistensi Dana Abadi Pesantren dapat dilihat sebagai langkah taktis-pragmatis tersendiri bagi penguatan NKRI. Orang-orang pesantren merupakan salah satu kelompok Islam yang memiliki paradigma keislaman yang moderat, akomodatif terhadap aneka tradisi dan kebudayaan masyarakat Nusantara, serta mampu bersikap realistis dan optimistis terhadap realitas dan struktur politik nasional Indonesia.
Orang-orang pesantren mampu memadukan paradigma keindonesiaan dan keislaman secara harmonis dalam satu tarikan napas.
Orang-orang pesantren mampu memadukan paradigma keindonesiaan dan keislaman secara harmonis dalam satu tarikan napas. Oleh karena itu, pengalokasian Dana Abadi Pesantren oleh pemerintah merupakan sebentuk investasi untuk menguatkan dan membangun kualitas dan kuantitas SDM Indonesia yang memiliki paradigma dan ideologi nasionalisme-religius, yaitu paham cinta Tanah Air yang memiliki akar kuat pada spiritualitas, nilai-nilai, dan ajaran agama (Islam).
Ini penting mengingat kian bermunculan kelompok-kelompok Islam ideologis dan politis yang berdaya destruktif bagi nilai-nilai nasionalisme, lebih-lebih pascareformasi.
Tantangan
Setidaknya ada dua kekhawatiran terkait UU Pesantren dan Perpres No 82 Tahun 2021. Kekhawatiran ini bahkan mengemuka di kalangan masyarakat santri sendiri. Pertama, UU dan perpres ini dikhawatirkan akan menggerus independensi pesantren vis a vis negara atau pemerintah.
Dana yang mengalir ke pesantren-pesantren ditakutkan akan membungkam kritisisme pesantren yang merupakan bagian dari masyarakat madani (civil society).
Terkait ini, penting bagi pesantren-pesantren untuk menyamakan persepsi bahwa Dana Abadi Pesantren bukanlah santunan dari negara atau pemerintah kepada pesantren, melainkan lebih merupakan bentuk pengakuan dan penghormatan negara kepada pesantren yang sudah sepantasnya diterima oleh pesantren.
Dengan demikian, independensi dan kritisisme pesantren sebagai bagian dari civil society tetap terjaga.
Kedua, pemberian fasilitas dari negara dikhawatirkan akan membuat manja dan menggerus keikhlasan para praktisi pendidikan pesantren. Kalangan masyarakat santri banyak yang percaya bahwa keikhlasan adalah kekhasan dan kunci keberhasilan pendidikan pesantren.
Untuk itu, perlu dibangun suatu persepsi bahwa keikhlasan adalah jihad batin setiap individu praktisi pendidikan pesantren. Artinya, dalam kondisi apa pun, keikhlasan tak boleh sirna dan bahkan harus diwujudkan dalam bentuk dedikasi yang optimal untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia melalui pesantren. Wallahu alam.
Fathor Rahman Jm, Dosen Fakultas Syariah dan Direktur Ma’had Al-Jami’ah UIN KHAS Jember