Akar Kejatuhan Xu Jiayin, Si “Crazy Rich” dari China
Kejayaan bisnis Xu Jiayin, pria kelahiran 1958 di desa Jutaigang, Provinsi Henan, kemungkinan akan berakhir tragis setelah perusahaan properti yang didirikannya, Evergrande, kolaps karena terjerat utang.
Ada ujung dari sebuah perjalanan. Ada akhir dari sebuah era. Akan tetapi, akhir dari perjalanan bisnis Xu Jiayin, pria kelahiran 1958 di desa Jutaigang, Provinsi Henan, kemungkinan akan berakhir tragis. Dari status sebagai orang terkaya China pada 2017, kini Xu menjadi orang yang mungkin paling dihujat karena perusahaannya terjerat utang besar.
Xu memiliki kekayaan bersih sebesar 44 miliar dollar AS pada 2017, menurut Hurun Research Institute. Ada pertambahan kekayaan 30 miliar dollar AS selama enam bulan terakhir, demikian diberitakan harian The Global Times waktu itu. Pertambahan itu menaikkan jumlah kekayaan dan sekaligus membuatnya menjadi orang terkaya di China pada tahun itu.
Akan tetapi, hanya dalam empat tahun sejak itu, yakni pada 2021, perusahaan yang ia dirikan pada 1996, terbelit utang 305 miliar dollar AS. Pemicunya adalah perusahaan gagal membayar kupon utang obligasi pada 20 September 2021.
Guangzhou Evergrande Group, itu adalah perusahaan properti yang membuatnya kaya sekaligus menghujamkan namanya. Utang Evergrande itu adalah yang terbesar di dunia untuk kategori perusahaan dan lebih besar dari utang Rusia.
Bagaimana nasib Xu bisa berakhir demikian? Bisa dikatakan Xu telah salah membaca arah perekonomian dan salah telak memahami tanda-tanda politik. Xu gagal berefleksi sehingga tidak tahu kapan dan bagaimana merevisi arah bisnis. Kemudian ketika ia tersadar, semuanya telah terlambat. Xu malah makin kalap dan semakin terjerembab ke dalam masalah demi masalah.
Mungkin juga kekeliruan Xu muncul akibat kecanduan dengan koneksi kekuasaan. Dia mengira segala masalah pada bisnisnya kelak akan bisa diatasi lewat peran negara. Rupanya saat ia dan perusahaan tumbang, Evergrande tidak masuk kategori too big to fail. ”… tidak seharusnya diselamatkan,” demikian The Global Times, 17 September, mengomentari isu Evergrande yang lama sudah menjadi pembicaraan di pasar.
Xu, yang gemar menggunakan nama Kanton, Hui Ka Yan, seyogianya selamat. Ia pasti terhindar masalah andai sadar akan batas dari marginal utility. Sebab, tidak pernah tingkat kepuasan konsumen akan sebuah produk, demikian juga kebutuhan warga akan properti, menggelinding terus tanpa henti.
Tujuh tahun sebelum kebangkrutan Evergrande, media di China sudah memberitakan tentang akhir dari era keemasan sektor properti China. ”Era keemasan sudah berakhir, meski sektor properti masih memberikan untung lebih tinggi daripada sektor manufaktur,” kata Yu Liang, Presiden China Vanke Co (perusahaan properti) kepada Chinanews.com yang dikutip kembali oleh The Global Times, 29 September 2014.
Baca Juga: Sinyal Krisis dari Evergrande
Bahkan, jauh sebelum itu, yakni pada 11 November 2013, China Daily sudah mengingatkan lewat pernyataan John Allen, Chairman dan CEO dari Greater China Corp. ”Bukan tahun ini, bukan tahun depan, tetapi dalam 10 tahun ke depan, kita pasti menyaksikan letusan gelembung properti,” kata Allen dalam sebuah seminar di New York pada tahun itu. Pasokan berlebihan diperburuk spekulasi di sektor properti membuat banyak pihak telah meramalkan hal terburuk.
Berharap pada "princeling"?
Tidak membaca gejala, itulah kesalahan Xu. Atau, dia berharap koneksi ke pemerintahan akan menyelamatkannya?
Xu bukan seorang princeling, julukan bagi putra dan putri elite China yang memiliki kedekatan dengan para pebisnis atau terlibat bisnis serta sarat dengan favoritisme. Tentu tidak semua putra-putri para elite China melakukan hal serupa. Xu hanya salah putra dari Xu Xiangao, seorang tentara yang berjuang melawan Jepang. Meski bukan seorang princeling, Xu tetap saja memiliki masa depan cerah.
Xu dikaruniai otak cerdas, beretos kerja keras, dan senang bergaul. Otak cerdas dan ketekunan membuatnya berkesempatan kuliah di Wuhan University of Iron and Steel (kini Wuhan University of Science and Technology) di Zhoukou City. Ini kampus pilihan kedua setelah gagal diterima di Tsinghua University.
Ia mulai kuliah pada 1978, persis saat Deng Xiaoping resmi memulai reformasi perekonomian yang awalnya membuat gamang mereka yang ingin mencoba. Masalahnya, istilah mekanisme pasar pada awalnya menimbulkan ketegangan.
Namun, upaya Deng itu lebih maju setelah ia juga pernah mencoba memproklamasikan istilah, ”Kucing kuning atau putih, tidak masalah sepanjang dia bisa menangkap tikus.” Ini sebuah slogan yang menampilkan pragmatisme Deng tentang reformasi ekonomi, meski gagal. Kali ini Deng tampil lebih berani. Reformasi mulai menghasilkan efek baik bagi perekonomian.
Selulus kuliah pada 1982, Xu mulai bekerja di Henan Wuyang Iron and Steel Company, tempat ia bertemu Ding Yumei, istrinya. Ding adalah putri sekretaris partai di perusahaan tersebut. Namun, Xu tidak puas dengan pekerjaan di perusahaan itu.
Pada 1992, ia menoleh ke wilayah China selatan yang ketika itu jauh lebih bersemangat dengan semangat kapitalisme. Di bagian utara dan pedalaman China, isu reformasi kala itu kadang membuat risih. Ambisi menjadi kaya, bisa dikatakan demikian, mendorong Xu memasuki sebuah perusahaan dagang di Shenzen bernama Shenzhen Zhongda Group.
Baca Juga: Kasus Evergrande dan Potensi Krisis Global
Xu yang di masa kecil hidup miskin adalah pribadi yang tidak lupa jerat kemiskinan. Hal ini ingin dia lupakan selamanya. Gaung kampanye Deng tentang reformasi ekonomi semakin mencuat, termasuk istilah, ”Menjadi kaya raya itu mulia.”
Dorongan bagi Xu untuk semakin makmur tak lepas dari kampanye lanjutan Deng pada 1992 itu juga. Deng semakin mendorong gaige kaifang (reformasi dan pembukaan). Untuk itu, Deng berkunjung secara khusus untuk memastikan semangat reformasi tanpa ragu.
Mujur bagi Xu. Di perusahaan dagang di Shenzen itu, ia memiliki seorang manajer yang baik hati. Dari sang manajer ia belajar soal kepemimpinan dan pengelolaan perusahaan serta manfaat dari sebuah koneksi.
Kampanye Deng, di sisi lain, berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi di China terutama karena dorongan investasi asing. Perusahaan tempat Xu bekerja juga melaju. Pada 1994, Zhongda membentuk Guangzhou Pengda Group untuk menangani bisnis properti. Pada 1995, Xu dipercaya menjadi anggota dewan direksi di perusahaan itu dan sukses membangun Pearl Island Garden Project di Guangzhou. Perusahaan pun meraih untung 200 juta yuan dari proyek tersebut.
“Hanya saja gajiku sangat rendah, cuma 3.000 yuan per bulan, mendukung keluarga jadi sulit, lalu berpikir bagaimana kelanjutannya. Pada 1996 saya mendirikan sendiri Guangzhou Evergrande,” kata Xu, yang tinggal di Shenzen. “Andai saja saya digaji 100.000 atau 200.000 yuan per tahun, kemungkinan saya tidak akan menjadi pengusaha,” lanjut Xu, bapak dari dua anak.
Gaji rendah membawanya pada pendirian Guangzhou Evergrande Industrial Group Co Ltd, juga bergerak di bidang properti. Jadilah Xu memulai karier sebagai pebisnis.
Untung besar datang pada 1997. Evergrande membeli hamparan lahan milik perusahaan tua bidang pestisida. Lahan itu dikembangkan menjadi Jinbi Garden, kini tempat kelas atas Guangdong bersenang-senang. Keberuntungan Xu dan Evergrande terus berlanjut. Pada 2008, pusahaannya go public di Hong Kong.
Peran ”guanxi”
Xu tampaknya tidak saja paham soal bisnis. Dia paham strategi nonpasar, termasuk lobi dan guanxi, salah satu yang amat menentukan dalam perjalanan bisnis di China. Para pengembang, dalam istilah Zha Jianying, seorang wartawan yang tinggal di Beijing dan New York, mirip dengan para baron perampok. Istilah baron merujuk pada pebisnis kejam dan tak kenal etika dan berjaya di awal pembangunan ekonomi Amerika Serikat.
China tidak terkecuali, juga memiliki para baron. ”Mereka mendapatkan manfaat dalam transisi menuju kapitalisme berkat kekuatan koneksi (guanxi), aksi suap, dan penipuan,” demikian Zha.
Xu bukan kekecualian. Dalam buku ”Red Roulette”, karya Desmond Shum, seorang pengusaha pelarian dari China, menuliskan bahwa para pengusaha berjuang keras agar bisa duduk semeja makan dengan Whitney Duan, istri Shum yang kemudian diceraikan. Whitney Duan dikenal dekat dengan istri PM Wen Jiabao dan PM itu sendiri.
Baca Juga: Imbas Krisis Evergrande terhadap Ekonomi Indonesia Diperkirakan Minim
Xu, menurut Shum, pintar menyogok dengan hadiah luar biasa mahal. Entah bagaimana caranya, Xu berhasil menggaet Wen Jiahong, adik Wen Jiabao sebagai pimpinan di Evergrande.
Xu juga dijuluki sebagai ”brother belt”. Ini karena ia pernah tampil mewah termasuk dengan ikat pinggang Hermes, merek Perancis, pada pertemuan legislatif tahunan Partai Komunis China pada 2012. Xu sendiri adalah anggota partai.
Xu membayar mahal untuk semua urusan menuju kekayaan. Ia dikenal suka terbang dengan jet pribadi ke Australia dan Selandia Baru hanya untuk membeli villa di berbagai lokasi, dan terbang ke Paris dan bermain kartu di jet pribadi bersama rekannya. Xu, yang disebut tetap ingat daerah asalnya juga memilih buah impor untuk dikonsumsi.
Bisnis makin melaju
Tahun demi tahun bisnis Evergrande melaju. Dari segi prospek bisnis, China adalah negara dengan perekonomian yang tumbuh tinggi. Selama 30 tahun sejak reformasi, ekonomi China tumbuh rata-rata di atas 10 persen. Khusus untuk sektor properti, angka pertumbuhan jauh lebih tinggi. Maka tidak heran jika sektor properti di China pernah disebutkan sebagai tambang emas.
Pertumbuhan pesat ekonomi dan dukungan favoritisme melempangkan jalannya bisnis. Tidak diketahui bagaimana persisnya Xu melaju dengan peran koneksinya. Di The New Yorker, 3 Juli 2005, Zha Jianying menuliskan contoh bagaimana robber baron meraih keuntungan dalam bisnis.
Kurang lebih Zha menuliskan bahwa dengan bekal guanxi, lahan bisa didapatkan lewat perbincangan di meja makan malam. Seseorang akan memberi tahu bahwa ada lahan dengan bangunan yang segera ambruk dan siap dibangun. Ada juga kisah dengan penggusuran paksa, di mana warga menjadi korban akibat kesepakatan para pejabat dengan pengembang. Sebabnya, lahan adalah milik negara. Media-media di China, di era keemasan properti juga sarat dengan pemberitaan dengan penggusuran paksa.
Zha melanjutkan, setelah lahan tersedia, dana untuk pembangunan juga bisa didapat dengan mudah. Di The New Yorker, Zha melanjutkan dengan contoh nyata. ”Feng Lun, salah satu pendiri Vantone, pernah menjabat sebagai wakil ketua think-tank Dewan Negara dan memiliki kontak di Beijing dan Hainan. Pinjaman didapat dari Beijing dengan membayar bunga dan bagi hasil.” Setelah bangunan selesai, properti dijual dengan harga tinggi tetapi tetap terjangkau para pembeli.
Fenomena untung besar ini berlangsung di tengah maraknya pembangunan zona ekonomi khusus dengan aturan yang bebas. Akan tetapi, semua itu ada akhirnya. Puncak keemasan sektor properti terjadi pada 2009 – 2012. ”… pasar tidak akan pulih seperti pada era hebat 2009–2001,” demikian pernyataan Bank of Communications seperti dikutip Xinhua, 8 Januari 2015. Tingkat urbanisasi di China juga melambat serta melemahkan sektor properti.
Era Presiden Xi
Pada 2013, Wakil Presiden China Xi Jinping menjadi presiden. Kemudian pada 2018, masa jabatan dua periode diubah dan Presiden Xi akan menjabat hingga waktu yang tidak diketahui. Barang siapa yang berharap era Xi akan berakhir dan terus melanjutkan petualangan bisnis, itu adalah sebuah kekeliruan fatal.
Khusus untuk sektor properti, Presiden Xi sudah mengingatkan jangan ada yang mencoba-coba berspekulasi. ”Perusahaan untuk kebutuhan papan, bukan ajang spekulasi,” itulah pesan kuat Presiden Xi pada 2016.
Xu Jiayin tidak juga bisa menangkap pesan itu. Evergrande terus merasuk di bisnis properti dengan cara kamuflase. Xu menjalankan bisnis hingga termasuk melakukan penipuan, seperti kesaksian Andrew Left, pendiri Citron Research, yang mendalami sepak terjang Xu lewat Pasar Modal Hong Kong (CNBC, 24 September 2021).
Xu terus meminjam uang, termasuk ’memaksa’ karyawan menjadi ”pemilik proyek” dengan menginvestasikan bonus. Ditambah gaya hidup mewah dan ekspansi bisnis mahal, tetapi tak menguntungkan, Xu menjalankan bisnis tanpa arah dan kepastian. Kelesuan pasar dan penyekatan dana perbankan serta peredaman spekulasi di sektor properti lewat berbagai aturan di era Presiden Xi, itulah yang paling besar perannya dalam menjatuhkan bisnis Evergrande.