Selain memunculkan pertanyaan, opsi jalan tengah pemilihan Panglima TNI menjadi pembahasan baru di tengah polarisasi antara duo kandidat kuat dari KSAD dan KSAL sebagai asal matra Panglima TNI berikutnya.
Oleh
IKHSAN YOSARIE
·5 menit baca
Pemilihan Panglima TNI mulai memasuki episode baru. Opsi jalan tengah menjadi wacana yang dimunculkan salah seorang anggota Komisi I DPR dari Fraksi PPP. Poin dalam opsi tersebut berupa pengangkatan Jenderal Andika (KSAD) menjadi Panglima TNI, lalu Laksamana Yudo Margono (KSAL) sebagai Wakil Panglima. Kemudian setelah Jenderal Andika pensiun, Laksamana Yudo yang akan dicalonkan sebagai Panglima TNI berikutnya.
Kemunculan opsi tersebut salah satunya disebabkan batas usia. Mengacu pada Pasal 53 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI), disebutkan bahwa batas usia perwira dalam melaksanakan dinas keprajuritannya adalah 58 tahun. Sehingga, Laksamana Yudo memiliki waktu 1 tahun lebih lama ketimbang Jenderal Andika dalam batas usia pelaksanaan dinas keprajuritannya.
Kemunculan wacana jalan tengah ini tentu juga menimbulkan pertanyaan. Mengapa dan untuk apa opsi ini muncul? Apakah begitu banyak pengaruh dalam pemilihan Panglima TNI sehingga harus dimunculkan opsi jalan tengah? Padahal pengusulan, pengangkatan, dan pemberhentian Panglima TNI jelas merupakan hak preogratif Presiden setelah mendapatkan persetujuan DPR, sebagaimana disebutkan Pasal 13 ayat (2) dan ayat (5) UU TNI.
Apakah begitu banyak pengaruh dalam pemilihan Panglima TNI sehingga harus dimunculkan opsi jalan tengah?
Dengan melihat dinamika yang terjadi, terutama setelah bermunculan pelbagai dukungan langsung terhadap KSAD (Jenderal Andika) sebagai Panglima TNI berikutnya, lalu di sisi lain dukungan terhadap KSAL (Laksamana Yudo) sebagai Panglima TNI berikutnya dengan dasar argumentasi rotasi antara matra pada posisi Panglima TNI, maka wajar jika dua pertanyaan tersebut muncul.
Melihat potensi implikasi
Posisi Wakil Panglima TNI pada dasarnya memang bukan hal baru dalam struktur kesatuan TNI. Posisi tersebut dihapus pada era pemerintahan Gus Dur, lalu dihidupkan kembali pada oleh Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2019 mengenai Susunan Organisasi TNI. Pada Pasal 13 ayat (1) huruf a disebutkan bahwa unsur pimpinan Markas Besar TNI terdiri atas Panglima dan Wakil Panglima TNI, lalu Pasal 14 ayat (3) bahwa Panglima dibantu oleh Wakil Panglima.
Namun demikian, pasca penghidupan kembali posisi Wakil Panglima TNI, tentu opsi jalan tengah ini menjadi pembahasan yang baru. Sebab, selama ini (pasca reformasi) posisi Panglima TNI dijabat langsung oleh Kepala Staf Angkatan dengan sistem rotasi, bukan berjenjang dengan harus menjadi/melalui Wakil Panglima terlebih dahulu sebelum menjadi Panglima TNI. Sebab ketentuannya hanya “yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan” yang bisa menjadi Panglima TNI sesuai ketentuan Pasal 13 ayat (4) UU TNI.
Pelaksanaan wacana ini pun harusnya juga menimbang pelbagai potensi implikasi yang dapat terjadi. Sebab, jika opsi jalan tengah Pemilihan Panglima TNI tersebut diwujudkan, kita akan memiliki preseden ke depan bahwa yang akan naik atau dicalonkan menjadi Panglima TNI berikutnya adalah Wakil Panglima.
Tentu menjadi pertanyaan umum, apa syarat menjadi Wakil Panglima TNI? Sebab, posisi tersebut tidak terdapat dalam UU TNI mengingat sudah dihapuskan pada masa pemerintahan Gus Dur. Keberadaan posisi Wakil Panglima disebutkan pada Perpres 66/2019 mengenai Susunan Organisasi TNI. Pasal 13 ayat (1) huruf a menyebutkan bahwa unsur pimpinan Markas Besar TNI terdiri atas Panglima dan Wakil Panglima. Lalu pada Pasal 14 ayat (3) menyebutkan bahwa Panglima dibantu oleh Wakil Panglima.
Dalam konteks kedudukan, Pasal 15 ayat (1) menjelaskan bahwa Wakil Panglima merupakan koordinator Pembinaan Kekuatan TNI guna mewujudkan interoperabilitas/Tri Matra Terpadu, yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Panglima. Kemudian pada ayat (2) dijelaskan tugas-tugasnya, yakni: membantu pelaksanaan tugas harian Panglima; memberikan saran kepada Panglima terkait pelaksanaan kebijakan pertahanan negara, pengembangan Postur TNI, pengembangan doktrin, strategi militer dan Pembinaan Kekuatan TNI serta Penggunaan Kekuatan TNI; melaksanakan tugas Panglima apabila Panglima berhalangan sementara dan/atau berhalangan tetap; dan melaksanakan tugas lain yang diperintahkan oleh Panglima.
Perpres tersebut justru tidak dijelaskan mengenai ketentuan atau syarat menjadi Wakil Panglima TNI.
Akan tetapi, perpres tersebut justru tidak dijelaskan mengenai ketentuan atau syarat menjadi Wakil Panglima TNI. Sementara, syarat menjadi Panglima TNI secara eksplisit disebutkan pada Pasal 13 ayat (4) UU TNI, yakni hanya perwira tinggi yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan yang bisa menjadi Panglima TNI.
Dengan posisi Wakil Panglima TNI ada di antara Panglima TNI dan Kepala Staf Angkatan, maka seharusnya syarat menjadi Wakil Panglima salah satunya juga pernah atau sedang menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan. Sehingga, kalau pun seandainya menjadi jenjang struktural sebelum menjadi Panglima TNI, tidak akan ada masalah.
Jika tidak demikian, opsi jalan tengah ini jelas memiliki banyak kekurangan dalam hal pelaksanaannya. Sehingga, pengusulan opsi jalan tengah ini seharusnya tidak sekadar memberi pilihan siapa menjadi Panglima TNI dan menggantikannya, tetapi juga mempertimbangkan pelbagai implikasinya.
Dasar kemunculan duo kandidat
Selain itu, opsi jalan tengah ini juga menjadi pembahasan baru di tengah polarisasi antara duo kandidat kuat dari KSAD dan KSAL sebagai asal matra Panglima TNI berikutnya. Meskipun sebagai catatan, kemunculan duo kandidat kuat ini juga tidak bisa dilepaskan dari perspektif rotasi juga. Sehingga, pada dasarnya kemunculan opsi jalan tengah ini juga agak aneh karena memberikan alternatif di luar tren rotasi antarmatra. Sementara penyebab kemunculannya adalah perspektif rotasi.
Meskipun Panglima TNI sekarang berasal dari TNI AU, jika ingin melepaskan ketentuan rotasi, tentu kandidat terdepan sebagai Panglima TNI tetap ada tiga, yakni KSAD, KSAL, dan KSAU. Mereka berada pada posisi dan hak yang sama. Sebab kita punya preseden ketika matra yang sama berurutan menjadi Panglima TNI, yakni ketika pergantian dari Jenderal Moeldoko ke Jenderal Gatot Nurmantyo pada tahun 2015. Keduanya sama-sama dari matra Angkatan Darat/eks KSAD.
Ikhsan Yosarie, Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute