Ukuran kekuatan militer untuk perencanaan pembangunan pertahanan Indonesia sebaiknya diturunkan dari tiga elemen tujuan pertahanan negara, yakni kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa.
Oleh
FAHMI ALFANSI P PANE
·5 menit baca
Hingga RAPBN 2022 disusun, pemerintah masih menjadikan indeks kekuatan militer dari situs Global Fire Power (GFP) sebagai salah satu ukuran pencapaian pembangunan bidang keamanan dan ketertiban.
Pada Tabel 9.2 lampiran Pidato Presiden RI yang disampaikan kepada DPR, 16 Agustus 2021, tertera nilai indeks kekuatan militer Indonesia semester I-2021 sebesar 0,26, sedangkan tahun 2020 sebesar 0,25 dari skala nol hingga satu. Menurut situs GFP, semakin kecil nilai, berarti kekuatan tempur semakin baik.
Penggunaan skor indeks kekuatan militer dari GFP dinilai tidak tepat. Setidaknya ada empat argumentasinya. Pertama, pada kebijakan disclaimer dari situs GFP tertera, material dari seluruh situs tersaji untuk kepentingan historis dan hiburan (entertainment value) dan seharusnya tak digunakan untuk perbaikan perangkat keras senjata, pemeliharaan, atau operasi umum.
Bahkan, pada aspek legal, situs menyatakan tidak bertanggung jawab atas akurasi, ketepatan, kelengkapan, validitas, dan informasi terbaru dari semua informasi yang tersedia.
Kedua, GFP menggabungkan berbagai aspek (gatra) negara untuk menilai kekuatan militernya, yakni sumber daya manusia, peralatan, dana, logistik, sumber daya alam, dan geografi. Meskipun aspek-aspek itu juga digunakan untuk menganalisis ketahanan nasional Indonesia, tidak akurat untuk menilai kekuatan militer yang riil.
Penggunaan skor indeks kekuatan militer dari GFP dinilai tidak tepat.
Misal, dengan metode GFP, Indonesia yang berpenduduk sekitar 270 juta diuntungkan dan di peringkat keempat di bawah China, India dan AS.
Penduduk yang besar merupakan sumber angkatan kerja, komponen cadangan pertahanan dan rekrutmen anggota TNI/Polri. Namun, jumlah penduduk yang besar menyedot anggaran belanja pembangunan bidang pelayanan umum, ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial. Dampaknya, sulit mendongkrak anggaran pertahanan, khususnya untuk pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista).
Pandemi Covid-19 juga mempersulit negara berpenduduk besar membangun pertahanan karena lebih banyak penduduk yang sakit, jumlah orang yang harus dites dan dilacak, hingga jumlah warga yang harus divaksinasi.
Dalam analisis GFP, Indonesia diuntungkan karena memiliki garis pantai kedua terpanjang di dunia. Dalam indikator cakupan garis pantai, demikian istilah GFP, nilai dan peringkat Indonesia jauh di atas AS dan China. Padahal, jumlah personel angkatan laut, kapal perang, kecanggihan senjata, maupun pengaruh diplomasi laut (naval diplomacy) kedua negara itu melampaui Indonesia.
Panjangnya garis pantai membuat Indonesia sulit dikepung. Namun, Indonesia juga lebih sulit mengirimkan personel, alutsista, dan logistik secara cepat ke seluruh wilayah.
Gelar pasukan atau patroli di banyak lokasi memerlukan lebih banyak waktu, biaya, dan alutsista sehingga mempersulit pengamanan maritim dan udara, termasuk untuk mengantisipasi invasi, infiltrasi, dan semacamnya. Bahkan, jika bencana alam besar terjadi serentak pada beberapa lokasi, operasi tanggap darurat TNI terhambat jauhnya jarak, wilayah yang didominasi laut dan ketersebaran domisili penduduk.
Ketiga, perencanaan pembangunan pertahanan bersifat dinamis sehingga akan rancu jika didasarkan pada analisis kekuatan negara yang ditopang aspek nonmiliter yang bersifat alamiah dan statis, seperti luas daratan dan panjang garis pantai.
Perencanaan pembangunan pertahanan lebih bergantung pada aspek yang juga dinamis, misal ketersediaan anggaran dan dinamika lingkungan strategis. Bahkan, peluang utang luar negeri untuk pengadaan dan pemeliharaan alutsista, serta kesediaan negara produsen alutsista untuk menjual alutsistanya, lebih memengaruhi pembangunan kekuatan pertahanan.
Keempat, GFP hanya menyajikan data jumlah alutsista untuk beberapa jenis, seperti pesawat tempur, kapal perang (permukaan dan selam), tank, dan sebagainya, lalu memberikan nilai dan peringkat berdasarkan jumlah tersebut.
Tidak ada pembedaan kategori, ukuran, dan kemampuan kapal perang, seperti kapal induk, fregat, patroli cepat, dan lain-lain, termasuk kelengkapan sistem senjata, surveilans, dan sebagainya. Akibatnya, sebagai contoh nilai dan peringkat Korea Utara dalam kapal perang yang disebut berjumlah 492 kapal lebih baik daripada AS yang berjumlah 490 kapal.
Perencanaan pembangunan pertahanan lebih bergantung pada aspek yang juga dinamis, misalnya ketersediaan anggaran dan dinamika lingkungan strategis.
GFP memang kemudian menambahkan indikator penilaian khusus kapal induk (aircraft carrier). Namun, indikator jumlah kapal perang secara umum tetap dipakai. Sebenarnya, pemerintah juga memasukkan pencapaian kekuatan minimum esensial (minimum essential force) TNI dan kontribusi industri pertahanan dalam pemenuhan alutsista ke dalam perencanaan pembangunan pertahanan.
Namun, angka yang disajikan dalam Lampiran Pidato Presiden 2021 berbeda signifikan dengan data yang tersaji dalam Rapat Pimpinan TNI Februari 2021. Padahal, penambahan alutsista sepanjang semester I- 2021 tidak signifikan.
Tiga elemen pertahanan
Ukuran kekuatan militer untuk perencanaan pembangunan pertahanan Indonesia sebaiknya diturunkan dari tiga elemen tujuan pertahanan negara, yakni kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa (UU Pertahanan Negara Pasal 4). Misalnya, saat ini berapa rasio jumlah kapal perang, baik kapal patroli, korvet, fregat, dan selam dibanding luas wilayah Indonesia?
Pengukuran kekuatan militer juga harus memperhitungkan kesiapan tempur dilihat dari kualitas dan kuantitas unsur- unsur pembangunan pertahanan (defence lines of development), seperti pelatihan, personel, infrastruktur, logistik, dan peralatan. Ketersediaan BBM untuk pesawat atau kapal di setiap pangkalan juga harus dihitung. Diklat yang cukup bagi personel, termasuk pembangunan kekuatan moralnya, menjadi ukuran peningkatan kekuatan militer.
Ironisnya, GFP menempatkan militer Afghanistan di urutan ke-75 dan menilai 2021 terjadi peningkatan kekuatan militer, padahal dengan mudah dan cepat tersapu aktor bukan negara, Taliban. Hal ini karena GFP tak menilai kekuatan moral pasukan sama sekali.
Pengukuran kekuatan militer juga perlu memasukkan kecanggihan teknologi. Saat ini sebagian pesawat tempur generasi empat dan lima bisa menghancurkan beberapa obyek sekaligus. Karena itu, daya hancur (fire power) dan kesilumanan (stealthiness) setiap alutsista harus diperhitungkan.
Fahmi Alfansi P Pane, Pengamat Pertahanan; Alumnus Magister Universitas Pertahanan.