Saat saya asyik mendalami NFT, tiba-tiba perusahaan teknologi, seperti Facebook, Microsoft, dan ByteDance, mengumumkan inovasi terbaru. Duh, belum tuntas dengan pengindonesiaan NFT, saya sudah terbebani dengan metaverse.
Oleh
Andreas Maryoto
·3 menit baca
Sudah 10 tahun lebih saya mendalami bidang industri digital. Selama itu pula saya bingung dan frustrasi untuk mengindonesiakan istilah-istilah asing yang membanjir.
Rupanya tidak sampai di situ, kini teknologi digital memasuki fase lebih lanjut, yaitu pengembangan dan penggunaan kecerdasan buatan. Istilah baru bermunculan dan saya pun semakin bingung.
Penggunaan teknologi digital untuk membantu aktivitas kita masih akan terus terjadi. Namun, kini, karena data dalam jumlah besar sudah didapat perusahaan itu, mereka kemudian mengembangkan fasilitas dengan berbasis teknologi kecerdasan buatan. Berbagai digitalisasi itu suatu saat akan terangkai dan kita mungkin harus menerima kenyataan ”kita” berada di ”dunia baru”.
Karya seni yang biasanya dipandang langsung secara fisik ternyata sudah memasuki dunia baru. Orang tidak perlu lagi memiliki karya seni itu secara fisik. Mereka bisa memiliki karya itu secara digital dengan aman.
Terus terang saya kadang-kadang nekat dan coba-coba untuk mencari istilah yang tepat.
Teknologi yang digunakan adalah nonfungible token (NFT). Saya pun bingung hendak menerjemahkan istilah ini. Saya menerjemahkan NFT menjadi unit data yang tersimpan di rantai blok. Pengindonesiaan yang panjang dan tetap saja membikin bingung.
Saat saya asyik mendalami NFT, tiba-tiba perusahaan teknologi, seperti Facebook, Microsoft, dan ByteDance, mengumumkan inovasi terbaru. Mereka yang selama ini telah berjaya di dunia virtual itu kini mengembangkan penemuan lebih lanjut, yaitu metaverse. Duh, belum tuntas dengan pengindonesiaan NFT, saya sudah terbebani dengan metaverse.
Saya coba cek istilah itu di beberapa sumber. Saya menerjemahkan dalam beberapa versi, yaitu dunia meta, dunia lain, dan dunia virtual, dilengkapi dengan teknologi realitas virtual (virtual reality) dan realitas tertambahkan (augmented reality).
Terus terang saya kadang-kadang nekat dan coba-coba untuk mencari istilah yang tepat. Dunia meta saya pilih karena kata meta dikenal di dalam bahasa Indonesia. Verse berasal dari kata universe yang berarti ’dunia’. Pengindonesiaan lainnya saya gunakan untuk makin mempermudah pembaca memahami metaverse meski aneh dan tidak efektif.
Belum lagi pengindonesiaan ini selesai, kalangan sosiolog membuat kajian tentang fenomena penggunaan kecerdasan buatan. Mereka melihat manusia akan berdampingan dengan teknologi ini di dalam beberapa versi. Kecerdasan buatan akan membantu tugas manusia, kecerdasan buatan akan disisipkan di dalam tubuh manusia, dan termasuk ”manusia” yang hadir di metaverse tadi.
Saya kemudian menemukan konsep yang dimunculkan kalangan sosiolog, yaitu posthuman. Pengindonesiaan paling mudah dari istilah ini adalah pascamanusia. Sebuah istilah yang pasti memusingkan pembaca. Untuk mempermudah pemahaman tentang posthuman itu, saya menambahkan keterangan tentang manusia yang berada di dunia yang dilengkapi dengan kecerdasan buatan. Sudah barang tentu pengindonesiaan itu kurang memuaskan.
Istilah di dunia kecerdasan buatan akan terus bertambah seiring dengan penggunaan teknologi itu yang makin masif. Saya merasa kewalahan untuk mengindonesiakan istilah-istilah itu. Setiap saat selalu ada istilah baru. Demi kepentingan audiens di Indonesia agar bisa segera mendapatkan informasi terbaru, pengindonesiaan istilah itu menjadi penting.
Siapakah yang akan menangani masalah ini dengan segera?