Facebook, IG, WA Berfungsi Lagi, Dunia Sunyi di Tengah Keramaian
Sebagai manusia berakal budi, seharusnya kontrol ada di tangan kita, bukan pada media sosial. Menjadi manusia dewasa yang bertanggung jawab pada era media sosial adalah godaan yang nyata pada esksistensi diri.
Oleh
NINUK MARDIANA PAMBUDY
·4 menit baca
Hampir semua orang bertindak seolah-olah tidak akan ada masalah dengan media sosial sampai tiba-tiba semua andalan komunikasi itu tidak berfungsi.
Ketika akhirnya Whatsapp, Facebook, dan Instagram kembali berfungsi lagi pada Selasa (5/10/2021), ada perasaan lega. Perasaan panik karena merasa tiba-tiba kehilangan kontak dengan seluruh dunia, berganti dengan perasaan lega. Sesuatu yang tadinya terasa mampat, menjadi terbuka kembali.
Sepanjang Senin (4/10/2021) sore hingga Selasa (5/10/2021) pagi sekitar pukul 05.30, layanan beberapa media sosial andalan miliaran orang, di sejumlah tempat, tiba-tiba berhenti berfungsi. Facebook, Instagram, dan Whatsapp yang semuanya dimiliki Facebook tidak dapat digunakan berkomunikasi di seluruh dunia.
Whatsapp, aplikasi kesukaan jutaan orang Indonesia, hanya memperlihatkan sinyal berputar-putar. Mula-mula kecurigaan dijatuhkan pada tidak berfungsinya internet di rumah.
Pikiran langsung melayang pada beberapa rapat yang harus dilakukan daring sepanjang Selasa pagi hingga siang. Terbayang kerepotan harus mengetikkan kode login dan password di laman pertemuan daring, entah itu Zoom, Google Meet, atau yang lain. Melalui pesan di Whatsapp yang sudah mencantumkan link langsung ke situs pertemuan, umumnya tersedia jalan pendek dan mudah.
Tanpa disadari ketergantung pada internet dan media sosial ternyata sangat besar. Banyak orang marah dan jengkel pada media sosial karena mengambil data pribadi dan memberikan kepada pihak ketiga tanpa persetujuan pemilik data.
Banyak orang marah dan jengkel pada media sosial karena mengambil data pribadi.
Masih ingat skandal data antara perusahaan konsultan politik Cambridge Analytica dan Facebook? Data pribadi yang dikumpulkan tersebut digunakan untuk iklan politik untuk pihak yang membayar. Dalam hal ini mendorong warga Inggris menyetujui perpisahan dari Uni Eropa dan membantu kampanye pemilihan presiden untuk memenangi Donald Trump.
Mesin pencari dan media sosial juga menjual data penggunanya untuk para pengiklan. Tujuannya agar iklan dapat mencapai calon konsumen yang ditarget produk secara lebih akurat. Cara ini dianggap lebih efektif menggaet konsumen daripada sekadar pengenalan umum, terutama jika tujuannya adalah menjual produk.
Meskipun ada hubungan antara suka dan curiga, ada juga rasa ingin menjauh, tetapi tak berdaya. Gambar yang paling pas diceritakan seorang petinggi partai yang juga pengusaha global dalam perbincangan di tengah sebuah acara pernikahan di Jakarta, pekan lalu.
Dia tidak suka dengan Whatsapp dan berusaha tidak menggunakan. Bahkan telepon genggamnya ada dua, satu yang biasa dan yang satu lagi telepon pintar. Sampai suatu titik dia mengaku menyerah, mengunggah juga aplikasi Whatsapp. ”Saya sulit menghubungi Pak (ketua partai). Semua anak buahnya memakai Whatsapp,” katanya menjelaskan.
Ketergantung pada media sosial benar-benar baru terasa ketika fungsinya berhenti. Para UMKM di Instagram kelabakan, mereka yang biasa bekerja menggunakan Facebook sempat panik.
Komentar paling sengit tentang tidak berfungsinya Facebook, IG dan WA salah satunya datang dari Edward Snowden, sosok kontroversial yang kini menjadi Presiden Freedom of Press. Di Twitter dia menulis: Facebook and Instagram go mysteriously offline and, for one shining day, the world becomes a healthier place. #facebookdown.
Benarkah dunia menjadi lebih sehat? Twitter langsung menjadi tujuan orang untuk berkomunikasi. Topik Whatsapp langsung menjadi topik yang dibicarakan dengan 3,21 juta twit. Dan, Twitter menjadi salah satu penyebar kabar bohong selain isu yang membelah. Termasuk informasi seputar Covid-19 dan vaksin.
Dunia yang lebih sehat seperti yang disebutkan Snowden terasa naif karena ada banyak media sosial lain yang tetap berfungsi, meskipun ketiga media sosial di bawah Facebook memiliki pengguna yang jumlahnya hampir separuh penduduk dunia. Hanya melihat sisi buruk media sosial akan terasa sinis. Banyak ide baik bisa berjalan karena adanya media sosial. Hidup menjadi lebih mudah saat pendemi mengharuskan orang tinggal di rumah. Jutaan pelaku usaha, terutama UMKM, terbantu karena tiga media sosial itu.
Apakah cukup adil apabila mengatakan, tidak ada makan siang gratis di dunia ini? Ketika pengguna memanfaatkan media sosial semaksimal mungkin, ada yang harus dia serahkan sebagai imbalan, yaitu data pribadinya. Data pribadi adalah kekayaan yang nilainya melebihi nilai bisnis minyak bumi dan emas.
Facebook menjadi salah satu perusahaan terkaya di muka Bumi dan semakin bertambah kaya meskipun menghadapi banyak kritik dan berhadapan dengan kontrol negara karena melakukan pelanggaran data pribadi.
Sebagai manusia berakal budi, seharusnya kontrol ada di tangan kita, bukan pada media sosial. Menjadi manusia dewasa yang bertanggung jawab pada era media sosial adalah godaan yang nyata pada esksistensi diri.
Nilai diri, self esteem, mestinya tidak ditentukan dari berapa banyak pengikut di media sosial. Apalagi menjadi pendengung dan menyebarkan kabar bohong atau kontroversial demi mendapat pengikut. Seseorang tetap dapat kesepian di tengah riuhnya informasi media sosial. Namun, kita juga dapat membuat jarak, memilih hening, dalam keramaian.