Perundungan pada dasarnya merupakan kejahatan kekerasan. Rasa terintimidasi dan ketakutan yang dialami korban merupakan ancaman terhadap keselamatan korban dan memenuhi prinsip dampak kerugian bagi korban kejahatan.
Oleh
EKA NUGRAHA PUTRA
·5 menit baca
Publik dikejutkan dengan berita dugaan perundungan dan pelecehan seksual yang terjadi di internal Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat. Peristiwa ini menjadi sorotan di tengah tuntutan integritas KPI sebagai lembaga pemerintah yang bertugas menjaga kualitas siaran pertelevisian.
Baik pihak pelaku maupun korban (berinisial MS) sama-sama mengajukan fakta yang dimiliki. Namun, dalam setiap peristiwa kejahatan selalu penting untuk berangkat dari fakta yang disampaikan oleh korban. Proses ini dilakukan untuk mengukur kerugian yang dialami korban, lalu menentukan kejahatan apa yang sedang terjadi.
Namun, pada kasus yang dialami MS di KPI, prosesnya menjadi lebih rumit, terutama karena perundungan belum diatur secara spesifik sebagai salah satu jenis kejahatan.
Perundungan belum diatur secara spesifik sebagai salah satu jenis kejahatan.
Mendefinisikan kejahatan perundungan
Baik perundungan maupun pelecehan seksual, keduanya memiliki ketimpangan antara pelaku dan korban. Sayangnya, terminologi perundungan dan perisakan juga tidak dikenali dan diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Konsep kejahatan tentu membutuhkan unsur pelaku, perbuatan, dan korban. Namun, diperlukan proses kriminalisasi yang bersumber dari perumusannya dalam peraturan perundang-undangan oleh negara. Peraturan perundang-undangan ini yang memerintahkan warga negara untuk tidak melakukan kejahatan tersebut dan dengan merumuskan hukuman dengan proporsional (AP Simester dan Andreas Von Hirsch, 2014).
Tantangan pengaturan perundungan sebagai kejahatan salah satunya karena pandangan bahwa perundungan adalah candaan. Padahal, lelucon seperti prank bertujuan untuk mempermalukan korban, tetapi tak ada risiko sakit fisik dan mental serta dalam taraf yang masih menghibur untuk ditonton oleh publik (Małgorzata Karpińska-Krakowiak dan Artur Modlinski, 2014). Sementara pada perundungan, meskipun ”menghibur”, hal itu hanya berlaku pada pelaku dan orang di sekitar yang terlibat secara tidak langsung, atau yang disebut sebagai the not so innocent by stander (Barbara Colorosso, 2002).
Perundungan dan kejahatan kekerasan
Untuk merumuskan perundungan sebagai salah satu kejahatan, terdapat beberapa alternatif untuk mengaturnya sebagai sebuah kejahatan. Pertama, mendefinisikan perundungan sebagai kejahatan tersendiri. Untuk itu diperlukan terminologi yang lebih umum dipakai oleh masyarakat agar tepat untuk merumuskan kejahatan perundungan.
Merujuk pada bentuk ketimpangan antara pelaku dan korban, yang bisa berbentuk kekuatan fisik, usia, status sosial, dan jabatan, perundungan yang berasal dari bahasa Inggris ’bullying’ sebetulnya lebih tepat diterjemahkan sebagai penindasan. Hal ini selaras dengan tiga bentuk dasar perundungan menurut Barbara Colorosso, yaitu fisik, verbal, dan relasional.
Penindasan juga menegaskan bahwa ada penyalahgunaan kekuatan atau kekuasaan dari pelaku kepada korban, yang dilakukan secara berulang kali. Perbuatan pelaku pun juga bertujuan untuk melukai baik fisik maupun emosional sehingga menimbulkan rasa takut dan terintimidasi oleh pelaku.
Perumusan ini juga bisa menjadi solusi bagi aturan cyberbullying (perundungan siber) yang saat ini melekat pada Pasal 29 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Terutama karena UU ITE merupakan aturan hukum khusus (lex specialis) yang normanya masih merujuk pada aturan hukum umum (lex generalis) yaitu KUHP.
Pengaturan cyberbullying di dalam UU ITE kurang lengkap, karena dalam perbuatan ”ancaman kekerasan”, rasa takut itu muncul karena ancaman serangan fisik pada korban (Adami Chazawi dan Ardi Ferdian, 2011). Sementara ”menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi” tidak berbentuk fisik, tetapi ketakutan secara mental sehingga menerjemahkan perundungan dengan ”penindasan” lebih sesuai.
Kedua, melekatkan definisi perundungan dengan memperluas definisi kejahatan lainnya, khususnya kejahatan kekerasan. Perluasan rumusan pasal ancaman kekerasan (368 KUHP) dan perbuatan tidak menyenangkan (335 KUHP) bisa dilakukan dengan memasukkan unsur-unsur perundungan di dalamnya.
Pada pasal ancaman kekerasan, misalnya, yang diatur saat ini adalah ancaman kekerasan terkait pemberian barang, pemberian utang atau penghapusan piutang saja. Dalam rangka menentukan unsur kesalahan di dalam pasal tersebut, memasukkan unsur adanya dampak terintimidasi bisa memberikan unsur yang utuh untuk kejahatan perundungan.
Rasa terintimidasi dan ketakutan yang dialami korban merupakan ancaman terhadap keselamatan korban dan memenuhi prinsip dampak kerugian bagi korban kejahatan. Bentuk perluasan perundungan ini juga dilakukan oleh negara lain, contohnya Australia melalui Brodie’s Law. Lewat aturan ini, Australia memperluas definisi penguntitan sebagai bagian dari kejahatan perundungan ke dalam amendemen the Victorian Crimes Act 1958.
Rasa terintimidasi dan ketakutan yang dialami korban merupakan ancaman terhadap keselamatan korban dan memenuhi prinsip dampak kerugian bagi korban kejahatan.
Aturan anti-perundungan ini disahkan pada tahun 2011 atas kasus Brodie Panlock, yang bunuh diri akibat tindakan perundungan yang dilakukan oleh rekan kerjanya. Brodie’s Law mempertegas sanksi pidana bagi tindakan perundungan yang berulang dan berdampak pada mental korban, termasuk melukai diri sendiri.
Pengaturan perundungan sebagai kejahatan juga masih terhambat oleh belum teredukasinya masyarakat Indonesia tentang bahaya perundungan. Sekilas, perundungan hanya memberikan efek ketidaknyamanan semata, tetapi bentuk ketidaknyamanan juga bisa terjadi sebagai akibat kejahatan, yang berbentuk rasa sakit fisik atau rasa sakit mental (Joel Feinberg, 1987).
Aspek kerugian korban perundungan, khususnya untuk rasa sakit mental yang perlu untuk diatur secara spesifik. Pasal 90 KUHP sudah mengatur pengertian luka berat, seperti trauma berkepanjangan sehingga tidak bisa bekerja dan luka yang mengancam nyawa korban. Unsur-unsur ini bisa dilekatkan pada perluasan definisi perundungan.
Pengaturan kejahatan perundungan secara spesifik diperlukan karena perumusan kejahatan tidak hanya dilihat dari realitas politik, sosial, dan budaya, tetapi juga dari penilaian kolektif masyarakat yang melibatkan nilai-nilai kebaikan (Charles Nemeth, 2011). Reaksi keras publik pada kasus-kasus perundungan yang terjadi menunjukkan bahwa tindakan tersebut telah melanggar norma yang berlaku di masyarakat serta menjadi realitas sosial. Kali ini, tinggal menunggu langkah konkret dari para pembuat undang-undang.
Eka Nugraha Putra,Dosen Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang dan Legal Advisor di Bullyid Indonesia