Ketakutan akan PKI akibat peristiwa “G30S” di masa lalu masih tetap diawetkan. Patut dicatat dengan jeli, ketakutan ini merupakan bagian dari sejarah bangsa yang kelam dan belum juga terpecahkan hingga kini.
Oleh
A WINDARTO
·5 menit baca
Pernyataan mantan Panglima TNI, Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo bahwa saat ini ada indikasi penyusupan PKI ke tubuh TNI menarik untuk dikaji. Indikasi itu ditunjukkan melalui dugaan penghilangan tokoh-tokoh penting dalam penumpasan ”G30S”, seperti Jenderal Soeharto, Letnan Jenderal TNI Sarwo Edhie, dan Jenderal AH Nasution, dari salah satu diorama di Museum Dharma Bhakti, Markas Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat di kawasan Gambir, Jakarta Pusat. Meski sudah ada klarifikasi dari pihak Kostrad, tetapi pernyataan itu sempat menjadi viral di sejumlah media sosial di Indonesia.
Pertanyaannya, apa yang membuat ”G30S” tampak begitu fenomenal dalam konteks historis di Indonesia? Sejarah siapa yang sesungguhnya direpresentasikan di sana? Dan, yang tak kalah menarik, pelajaran sejarah macam apa yang dapat diambil dari padanya?
Dalam salah satu esainya yang berjudul ”Impunity and Reenactment: Reflections on the 1965 Massacre in Indonesia and its Legacy” (The Asia-Pacific Journal Vol. 11, Issue 15, Nomor 4, April 15, 2013), Benedict Anderson menjelaskan bahwa pembunuhan massal yang dilakukan selama tahun 1965-1966, khususnya di Sumatera Utara, sesungguhnya adalah cermin dari rekayasa politik pihak-pihak yang sedang berkuasa untuk mengontrol rakyatnya. Rakyat yang selama ini suara dan kepentingannya selalu diabaikan, bahkan dihilangkan dari pikiran, diposisikan sebagai musuh yang berbahaya dan mengancam sesamanya sehingga layak dan perlu untuk diberi pelajaran. Karena itu, melalui kajian atas dua film dokumenter karya Joshua Oppenheimer, yaitu Jagal (The Act of Killing - 2012) dan Senyap (The Look of Silence - 2014), ditunjukkan betapa sesama rakyat dapat dan dilegalkan untuk saling membunuh tanpa rasa bersalah agar tidak terulang lagi peristiwa yang sama dan mengurangi jatuhnya korban yang lebih besar.
Hanya masalahnya, pembunuhan itu dikerjakan secara ilegal. Dengan kata lain, tidak ada payung hukum yang menaunginya, bahkan dibiarkan begitu saja tanpa ada yang menggugatnya. Maka tak heran jika para pelaku pembunuhan itu hingga kini masih dapat menghirup udara bebas dan merdeka seperti rakyat kebanyakan. Meski ada juga yang diketahui mengalami gangguan kejiwaan, namun sebagian besar tetap hidup damai dan tenteram, bahkan ada beberapa yang mencalonkan diri dan mampu menduduki jabatan dalam pemerintahan setempat. Itulah mengapa beberapa nama, seperti Anwar Congo yang meninggal pada 25 Oktober 2019, masih menjadi sosok yang disegani dan ditakuti, khususnya bagi siapa pun yang pernah terkait atau dikait-kaitkan dengan PKI (Partai Komunis Indonesia).
Ketakutan yang direkayasa
Ketakutan akan PKI akibat peristiwa ”G30S” di masa lalu itu agaknya masih tetap diawetkan dengan menjadikannya mirip seperti ”hantu”. Maka bukan kebetulan jika hingga kini ketakutan yang diintensikan melalui sosok ”jadi-jadian” itu tidak pernah absen dalam kehidupan sehari-hari demi membuahkan pretensi yang diharapkan. Namun, sosok seperti itu tampaknya hanya "numpang lewat" seperti layaknya sebuah iklan di televisi. Tak ada yang menggagasnya dengan penuh perhatian, bahkan tak jarang diabaikan dengan mencari penampilan lain yang lebih seru dan mengasyikkan.
Hanya, patut dicatat dengan jeli dan waspada bahwa ketakutan yang selalu dipertontonkan di depan publik itu adalah bagian dari sejarah bangsa yang kelam dan belum juga terpecahkan sampai saat ini. Ketakutan yang direkayasakan sejak Orde Baru berkuasa itu telah banyak dikaji, tetapi selalu steril dari eksekusi meski telah ada sejumlah upaya rekonsiliasi.
Salah satunya, seperti telah dikerjakan Jess Melvin di Aceh dan dibukukan dengan judul The Army and The Indonesian Genocide - Mechanics of Mass Murder (London: Routledge, 2018). Sementara Pipit Rochijat juga sejak awal memperingatkan, lewat tulisannya yang berjudul ”Am I PKI or non-PKI” (Indonesia 40, Oktober 1985), bahwa pokok soalnya bukan masalah ”PKI atau bukan PKI”, tetapi politik ketakutan yang direkayasakan untuk menciptakan ingatan akan PKI, termasuk para preman yang menjadi korban dari ”Petrus” (penembak misterius) di tahun 1980-an, secara berlebih-lebihan.
Mengapa? Sebab ingatan semacam ini bukan hanya membuat para korbannya menjadi takut, melainkan membuat orang lain ikut-ikutan menjadi takut. Jadi, bukan saja mereka yang mengalami, bahkan menyaksikan, peristiwa 1965-1966 itu yang terdampak, akan tetapi yang sekadar membaca, mendengar, dan menonton dari beragam cerita tentang pembantaian itu menjadi mudah bisu dan kelu.
Tak heran jika bagi mereka yang terlibat di dalamnya, entah sebagai korban bahkan pelaku, tidak mudah untuk melupakan apa yang telah terjadi. Bahkan, hanya dari bunyi seperti ”kreg, kreg, kreg” saja, seseorang yang di tahun 1965-1966 mendengar hal itu dari truk-truk yang mengangkut orang-orang di desanya lantaran dituduh berkaitan dengan PKI, mudah menjadi trauma dan ketakutan sedemikian rupa. Usamah yang menulis di majalah Horison (Nomor 8, Tahun IV, Agustus 1969) dengan judul ”Perang dan Kemanusiaan” tetap tidak dapat melupakan apa yang telah dilakukannya meski hanya menjadi pelapor bagi orang-orang yang diduga berhubungan dengan PKI, termasuk kerabat dan tetangganya sendiri.
Jadi, jika ”G30S” selalu menjadi semacam ”mantra” atau ”guna-guna” yang ampuh dan mampu memperdayai masyarakat sampai sekarang, apakah hal itu sama saja dengan Monas (Monumen Nasional) di Jakarta yang hingga kini hanya menjadi kawasan wisata dan olahraga? Dibanding dengan monumen atau patung Pembebasan Irian Barat yang sama-sama berlokasi di Jakarta, Monas, sebagaimana dikaji oleh Benedict Anderson dalam bukunya yang berjudul Kuasa-Kata: Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia (Yogyakarta: MataBangsa, 2000), tidak lebih dari sekadar kartun ”Doyok” yang paling populer di koran Pos Kota pada era Orde Baru. Sebab, kartun itu hanya menggiring para pembacanya untuk menjadi ”konyol” seperti Doyok yang bertampang ”udik”, bahkan ”norak”, tetapi tidak perlu berbuat sama sekali.
Menarik bahwa ”G30S” yang sudah lebih dari 50 tahun berlalu masih saja ditampilkan setara dengan sebuah kartun. Padahal, kartun semacam itu hanya menjadi hiburan dan menina-bobokan imajinasi yang kritis dan kreatif. Maka, masuk akal jika banyak orang yang sudah tidak takut lagi pada hal dan masalah ”G30S” karena penampakannya bukan lagi menjadi sebuah ancaman atau tekanan, melainkan justru trik dan intrik untuk menyamarkan, bahkan menyembunyikan, apa yang sesungguhnya telah terjadi.
Inilah akibat dari pengabaian, bahkan pembelokan beragam masalah, yang ditunjukkan lewat rekayasa politik terhadap ”G30S”. Mulai dari istilah hingga data dan fakta, sama sekali tidak memperlihatkan stabilitas dalam berpendapat, tetapi justru malah membalikkan punggung terhadap ”G30S” yang sudah lebih dari setengah abad menjadi sejarah. Maka, pertanyaan yang segera perlu untuk ditanggapi adalah masih adakah pelajaran sejarah yang dapat dihadirkan untuk menggaungkan bahwa ”G30S” bukanlah merupakan jimat atau mantra penolak bala?
(A Windarto, Peneliti di Litbang Realino, Sanata Dharma Yogyakarta)