Kita dan AUKUS
Indonesia tidak dapat menjamin bahwa AS dan China tidak akan berperang, karena peperangan bisa timbul karena pilihan politik atau karena provokasi, mispersepsi, dan miskalkulasi seperti PD I.
Sebenarnya pembentukan AUKUS (Australia, United Kingdom and United States) 15 September lalu bukan sesuatu hal yang mengejutkan.
Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden, dalam pidato peluncuran AUKUS telah memberikan pertanda dengan jelas. Biden menyampaikan, ”Our nations and our brave fighting forces have stood shoulder-to-shoulder for literally more than 100 years: through the trench fighting in World War I, the island hopping of World War II, during the frigid winters in Korea, and the scorching heat of the Persian Gulf. The United States, Australia, and the United Kingdom have long been faithful and capable partners, and we’re even closer today.”
Aliansi militer Barat yang berakar pada aliansi Anglo-Saxon yang berada di Eropa dan juga Asia telah lama ada. Bentuknya bermutasi dan berevolusi sesuai dinamika strategis dan keamanan yang ada.
Pembentukan aliansi militer merupakan strategi utama AS di Asia karena AS tidak ingin lagi terkejut seperti dalam kasus Pearl Harbor. Selain itu, aliansi militer yang dibangun sejak berakhirnya Perang Dunia (PD) II di Asia diperlukan untuk menghadapi munculnya komunisme di China, Vietnam, Korea Utara, Uni Soviet, dan Perang Korea. Kunci kepentingannya adalah melindungi kepentingan AS dengan melindungi kepentingan negara-negara kawasan.
SEATO menjadi pelajaran bagi AS bahwa model kerja sama seperti NATO di Asia sulit bertahan lama.
Aliansi politico-legal
Aliansi militer AS ini juga diperkokoh dengan instrumen hukum internasional berupa perjanjian keamanan antara AS dengan Jepang (1952 dan 1960), AS dengan Korsel (1953), AS dengan Filipina (1951), AS dengan Thailand (1951), AS dengan Australia dan Selandia Baru (1951), dan AS dengan Palau, Marshal Island dan Micronesia (1947). AS juga telah memiliki perjanjian bilateral di bidang pengadaan dan penyediaan jasa di bidang alutsista atau (acquisition and cross-servicing agreements/ACSA) dengan sejumlah negara di kawasan Asia-Pasifik.
Kita juga ingat bahwa AS pernah berinisiatif membentuk semacam NATO di Asia Tenggara, yaitu SEATO (Southeast Asian Treaty Organization) pada tahun 1954 dengan anggota AS, Perancis, Inggris, Selandia Baru, Australia, Filipina dan Pakistan. Tujuan utamanya adalah membendung komunisme di Asia Tenggara.
SEATO bubar pada 1977 karena dinilai sebagai bentuk imperialisme baru, ditinggalkan Pakistan pada 1973 dan tahun 1975 AS dikalahkan oleh Vietnam. SEATO menjadi pelajaran bagi AS bahwa model kerja sama seperti NATO di Asia sulit bertahan lama.
Aliansi lain yang dibentuk oleh AS di kawasan dalam konteks Perang Dingin adalah UK-USA Communication Intelligence Act (UKUSA) yang mendasari diciptakannya Five Eyes intelligence alliance. Di aliansi Five Eyes ini terdapat lembaga intelijen AS (NSA), Inggris (GCHQ), Australia (ASD), Kanada (CSEC), dan Selandia Baru (GCSB) yang bertujuan saling tukar informasi intelijen untuk memonitor Uni Soviet.
Dengan bubarnya Uni Soviet, Five Eyes memperluas wilayah kerjanya, tidak hanya intelijen dan keamanan, tetapi juga HAM dan demokrasi pada Mei 2020. Arah perhatian Five Eyes jelas ke Asia Timur.
Perubahan dinamika geopolitik dan geostrategis di kawasan Asia Timur dan Tenggara setelah berakhirnya Perang Dingin di Eropa tidak berarti bahwa aliansi militer, intelijen, dan penyediaan alutsista akan berakhir. Di Asia Timur masih ada tersisa satu kasus Perang Dingin, yaitu Korea Utara.
Selain itu, rivalitas strategis antara AS dan China sebagai suatu natural progression peningkatan kekuatan militer dan ekonomi China di kawasan telah menjadi faktor utama penguatan aliansi AS di kawasan dengan dinamika ancaman baru.
Rivalitas AS-China pun bukan suatu hal yang mengejutkan. Sejarah telah membuktikan bahwa hadirnya kekuatan baru di suatu kawasan akan dinilai sebagai ancaman kekuatan lama. Menteri Pertahanan AS Robert Gates secara jelas mengatakan bahwa AS adalah a resident power in East Asia.
Hasil studi Prof Graham Allison dari Harvard Kennedy School menunjukkan, sejak 500 tahun yang lalu, 12 dari 16 kasus rivalitas antara resident power dengan rising power berakhir dalam suatu peperangan.
Rivalitas AS-China pun bukan suatu hal yang mengejutkan.
AUKUS, FPDA, dan Quad
AUKUS, menurut hemat saya, adalah salah satu bentuk materialisasi dari aliansi militer, intelijen, dan strategis yang diprakarsai AS sejak berakhirnya PD II di Asia. Bukan merupakan suatu hal yang mengejutkan apabila pemain inti (core players) dari aliansi AS di kawasan, yaitu AS, Inggris, Australia, English-speaking Anglo-Saxon, membentuk AUKUS atau inisiatif lain sejenisnya saat ini atau pun di masa datang.
Bahkan penambahan alutsista kapal selam oleh Australia pada 2016 pun tidak menimbulkan komentar kekhawatiran pacuan senjata di kawasan. Kemarahan Perancis tidak disebabkan karena substansi aliansi nya, tetapi lebih kepada Perancis gagal menjual produk kebanggaan nasionalnya menjelang musim Pilpres 2022. Perancis adalah anggota NATO bersama AS dan Inggris.
Selain AS, Inggris dan Australia pun memiliki inisiatif membentuk suatu aliansi konsultasi bernama Five Power Defence Arrangements (FPDA) pada April 1971, beranggotakan Inggris, Australia, Selandia Baru, Malaysia, dan Singapura.
FPDA memang bukan seperti NATO, melainkan merupakan forum konsultasi untuk mengambil sikap bersama apabila Malaysia dan Singapura diserang. FPDA dibentuk dalam konteks Perang Dingin dan ”situasi bergejolak di Asia Tenggara (volatile situation in Southeast Asia)”, suatu bahasa halus yang sebenarnya merujuk pada politik konfrontasi Indonesia.
Dengan dinamika ancaman yang berubah, FPDA yang tetap bertemu setiap Juni telah meluncurkan FPDA Exercise Concept Directive 2021 guna beradaptasi terhadap evolving security challenges (tantangan keamanan yang berkembang) di kawasan. Dengan kata lain, FPDA tak lagi menghadapi situasi Perang Dingin atau ketidakpastian di Asia Tenggara, tetapi lebih kepada tantangan keamanan kawasan yang tentunya diwarnai rivalitas AS-China.
Sebagai suatu kerja sama maritim Samudra Hindia yang dibentuk pada 2007, pasca-tsunami 2004, Quad yang dibentuk oleh AS, Australia, India, dan Jepang adalah forum dialog yang ”hidup segan mati tak mau”. Namun, pascainsiden perbatasan India-China, peningkatan ketegangan Jepang-China, dan juga rivalitas AS-China, Quad memiliki fokus baru dan kepentingan yang sama. Sebagaimana dengan FPDA, Quad bersifat longgar dan bukan merupakan suatu pakta pertahanan regional.
Arsitektur keamanan ini menunjukkan bahwa AUKUS bukan merupakan perwujudan Quad atau FPDA, melainkan perwujudan dari inisiatif aliansi militer AS di kawasan Asia. The writing is on the wall kata peribahasa Inggris atau meminjam filsafat Jawa: ojo gumunan, ojo kagetan.
Indonesia memiliki kesepakatan strategis di bidang maritim dengan AS, Jepang, Korsel, dan Australia.
Bagaimana kita
Indonesia memiliki kewajiban hukum dan politik untuk ”ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Hal ini telah diwujudkan dalam berbagai inisiatif Indonesia seperti pembentukan Konferensi Asia Afrika (KAA) dan Gerakan Non-Blok (GNB), ASEAN, Piagam ASEAN, penyelesaian konflik Indochina, konflik Filipina-Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF), mekanisme keamanan dan keselamatan di Selat Malaka dan Selat Singapura, Bali Democracy Forum, dan bahkan organisasi baru pada abad 21 yaitu Archipelagic and Island States (AIS) yang dibentuk karena ancaman lingkungan laut.
Dalam konteks AUKUS atau lebih tepatnya rivalitas antara AS sebagai resident power dengan China sebagai rising power, Indonesia berada dalam posisi yang unik. Indonesia bukan anggota aliansi militer AS, atau Inggris, ataupun Australia.
Namun, Indonesia memiliki perjanjian keamanan komprehensif dengan Australia, dalam Lombok Treaty 2008, dan bekerja erat dengan Australia dalam kontra-terorisme (counter-terrorism) yang antara lain terwujud dalam JCLEC di Semarang. Indonesia memiliki kesepakatan strategis di bidang maritim dengan AS, Jepang, Korsel, dan Australia.
Baca juga : AS Terus Perluas Aliansi Anti-China
Indonesia bahkan memiliki kesepakatan strategis di bidang maritim dengan kekuatan Eropa, yaitu Jerman yang baru saja mengirimkan kunjungan fregat ke Asia. Indonesia memiliki kegiatan latihan militer rutin dengan AS dan Australia. Bahkan Agustus lalu, Indonesia dan AS menyelenggarakan latihan militer terbesar dalam sejarah hubungan pertahanan kedua negara. Indonesia adalah mitra strategis AS, Australia, dan Jepang.
Pada saat yang sama, Indonesia juga jadi mitra strategis China dengan berbagai kerja sama yang luas di bidang ekonomi, sosial, budaya dan lainnya.
Selain posisi unik Indonesia dalam arsitektur kerja sama yang kompleks di kawasan Asia, Indonesia satu-satunya negara yang memiliki perairan yang berdekatan dengan kemungkinan teater konflik langsung AS-China, yaitu di Laut China Selatan, Pasifik Barat di utara Papua dan Samudera Hindia.
Sejarah masih jelas mencatat bahwa teater perang maritim PD II di Asia Tenggara adalah di Laut Jawa, the battle of Java Sea, di mana sejumlah kapal perang sekutu AS ditenggelamkan destroyer Jepang.
Baca juga : Indonesia Diminta Lebih Tegas soal Aliansi Militer AUKUS
Indonesia dapat memainkan peran sentral melalui sejumlah instrumen kebijakan luar negeri dan keamanan secara trilateral antara Indonesia-AS-China dalam bidang iklim dan keamanan, terorisme siber (cyber-terrorism), kontra-terorisme, penyelundupan senjata, perdagangan orang, penyelundupan narkoba, latihan bersama pasukan penjaga pantai (coast guard) Indonesia-AS-China, perundingan penjagaan perdamaian (peace-keeping talks) antara Indonesia-AS-China, atau dialog keamanan trilateral antara think tank Indonesia-AS-China.
Indonesia memang tidak dapat menjamin bahwa AS dan China tidak akan berperang, karena peperangan bisa timbul karena pilihan politik atau karena provokasi, mispersepsi dan miskalkulasi seperti PD I.
Namun, Indonesia dapat berupaya mengurangi kemungkinan perang, ataupun membatasi konflik fisik AS-China dalam skala yang terbatas dan apabila dimungkinkan di teater yang tidak berdekatan dengan wilayah Indonesia.
Sulit memang, tetapi fakta bahwa Pendiri Bangsa menegaskan peran Indonesia ”melaksanakan ketertiban dunia” dalam Pembukaan UUD 1945 tentunya memiliki motivasi dan makna tersendiri. Tanggung jawab kita sebagai anak bangsa untuk melaksanakannya.
Arif Havas Oegroseno
Duta Besar RI untuk Republik Federal Jerman