Perang Tak Kunjung Usai dan Peran Penguasa Lokal di Afghanistan
Penarikan diri Amerika dari Afghanistan dan tampilnya pemerintahan Taliban jilid II belum tentu mengakhiri perang yang tak kunjung usai di Afghanistan. Ada potensi perang saudara antara pemerintah dan penguasa lokal.
Ambillah setangkai daun, letakkan di atas alas dengan tangkai menghadap ke arah timur laut, maka jadilah peta Afghanistan, yang dikenal sebagai negeri ”Setangkai Daun”. Negeri indah empat musim yang kaya dengan kebeberagaman penduduknya, yang pernah dikuasai 25 dinasti pemerintahan monarki dan pada 17 Juli 1973 menjadi republik melalui kudeta militer, kini berubah total. Ironisnya, sejak saat itu negeri damai ini menjadi ajang perang saudara dan pertarungan dominasi asing dalam lebih dari 40 tahun perang yang tak kunjung usai (endless war).
Penarikan pasukan
Reperkusi penarikan pasukan Amerika Serikat (AS) dari Afghanistan pada 31 Agustus 2021 (sesuai Perjanjian Doha, 29 Februari 2020) cenderung menjadi ”bola liar” (loose cannon). Memang terdapat perbedaan sekaligus kesamaan dampak reperkusi AS ini dengan saat Uni Soviet menarik diri pada 15 Februari 1989 (berdasarkan Perjanjian Geneva, 14 April 1988).
Pertama, penarikan pasukan Soviet meninggalkan lebih dampak lokal di dalam negeri Afghanistan, dengan terjadinya perang saudara antara pemerintah dan penguasa lokal (warlords), dan bahkan di antara mereka sendiri, dan tampilnya kelompok milisi Taliban pada 1995 sebagai penguasa negeri ini. Penarikan tentara Soviet telah membebaskannya dari beban ekonomi dan politik, mengingat ketika itu dunia mengecam dukungan negera Tirai Besi itu terhadap rezim otoriter Presiden Najibullah.
Penarikan pasukan AS meninggalkan dampak kawasan, mengingat Taliban kini sudah menjadi entitas yang diakui.
Kedua, penarikan pasukan AS meninggalkan dampak kawasan, mengingat Taliban kini sudah menjadi entitas yang diakui, antara lain dengan adanya kantor resmi di Doha dan mitra berunding AS, yang kini kembali menguasai Afghanistan. Sementara penarikan pasukan AS adalah menyelamatkan dan mengamankan posisinya di kawasan, mengingat dalam Perjanjian Doha Taliban berjanji untuk tidak mengancam dan membahayakan kepentingan negeri Paman Sam di Timur Tengah.
Baca juga : Kecerobohan dan Kekalahan Amerika di Afghanistan
Menteri Luar Negeri Hillary Clinton dalam wawancaranya di Fox News pada 18 Juli 2010 mengatakan, AS turut dengan mendukung pembentukan Taliban. Padahal ketika Taliban berkuasa (1996-2001), yang terjadi adalah pemerintahan yang sarat dengan kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity) yang masif, yang membawa Afghanistan kembali ke keterbelakangan. Penderitaan rakyat Afghanistan dan perlindungan kepada kelompok teroris Al Qaeda inilah yang pada akhirnya menyebabkan koalisi internasional pimpinan AS memerangi dan menjatuhkan pemerintahan teokrasi Taliban pada 2001.
Presiden Trump dalam State of the Union Address pada 2019 memang mengatakan ”Great nations do not fight endless wars”, kemudian yang menjadi kebijakan Presiden Biden. Padahal sudah sejak 2003 Hillary Clinton, ketika berbicara tentang Irak dan Afghanistan, mengingatkan bahwa diperlukan 10 tahun untuk mendukung terciptanya pemerintahan yang berdaulat dan stabil di Jerman. Namun hingga kini AS tetap menempatkan pasukannya, seperti juga di Jepang, Korea Selatan, dan Kosovo.
Presiden Obama berusaha mengakhiri perang di Irak, misalnya, dengan menarik seluruh pasukan AS pada 2011, dan perang ternyata terus berlanjut dan bahkan mendorong munculnya ISIS, sehingga memaksa AS kembali pada 2014. Presiden Obama juga berniat untuk menarik 90 persen pasukan AS dari Afghanistan, pada akhirnya membatalkannya ketika pada 2015 kota strategis Kunduz jatuh ke tangan Taliban.
Peran ”warlords”
Lalu, apakah penarikan diri AS dari Afghanistan dan tampilnya pemerintahan Taliban jilid II akan mengakhiri endless war ini? Dalam buku The Pathans (1980), Sir Olaf Caroe, pakar strategi Asia Selatan, sudah menyatakan bahwa ”... the Pathans are tied to Afghanistan by bonds of race, religion and language, and any disturbance of this balance will have an effect both on the North-West Frontier itself and in the partitioned subcontinent as a whole”.
Dahulu, dalam menghadapi intervensi asing, perlawanan rakyat Afghanistan banyak dilakukan oleh penguasa-penguasa lokal; dan kembalinya pemerintahan Taliban telah membuat mereka ”bangun dari tidurnya”. Pada Juni 2021, Abdul Rashid Dostum, mantan wapres dan salah satu penguasa lokal di wilayah utara Afghanistan, misalnya, telah bersumpah akan kembali ke propinsinya (Jowzan) dan memimpin perjuangan melawan Taliban. Selama endless war ini sudah terbukti bahwa penguasa lokal tetap ada dalam situasi apa pun, termasuk Afghanistan pasca-AS.
Selama endless war ini sudah terbukti bahwa penguasa lokal tetap ada dalam situasi apa pun, termasuk Afghanistan pasca AS.
Dalam bukunya Warlord Survival: The Delusion of State Building in Afghanistan Roamin Malejacq menulis bahwa keberadaan penguasa-penguasa lokal diperlukan, baik sebelum dan sesudah perang, pada situasi politik yang berbeda, dengan memanfaatkan celah dan interaksi di antara mereka. Penguasa-penguasa lokal tetap survive karena adanya permintaan ”for people who can organise violence and provide trust, security and employment along the way, at these different levels”.
Dalam sejarah Afghanistan, peran penguasa-penguasa lokal sudah terbukti sejak pemerintahan pro-Soviet menghadapi perlawanan di seluruh negeri, sehinggga memaksa Kremlin melakukan invasi militer pada 1979. Namun, pertentangan di antara mereka pula yang kemudian menjadi konflik militer dan berganti-gantinya persekutuan mereka, di mana ada yang menguasai infrastruktur pemerintahan dan ada pula yang memperluas wilayah pengaruhnya di propinsi-propinsi.
Dampak dan prospek
Penarikan AS dari Afghanistan ini jelas memiliki ramifikasi dan dampak yang luas di kawasan Asia Selatan, Asia Tengah, dan Timur Tengah; dan negara-negara yang berbatasan (Iran, Turkmenistan, Uzbekistan, Tajikistan, China, dan Pakistan). Iran yang selama ini menampung sekitar 2 juta pengungsi Afghanistan akan meningkatkan pertahanan perbatasannya untuk mencegah masuknya tambahan pengungsi dan pengaruh Taliban.
Di masa lalu, pasukan Iran juga turut memerangi Taliban dan Al Qaeda di Afghanistan, bahkan dengan berkordinasi dengan pasukan AS. Sementara Uzbekistan dan Tajikistan adalah bekas pecahan Soviet yang bersama Rusia dan Cina bergabung dalam organisasi kerja sama militer Shanghai Cooperation Organization (SCO); sedangkan Turkmenistan memiliki hubungan erat dengan AS. Artinya, baik Rusia dan AS pasti tidak akan membiarkan pemerintahan Taliban mengusik negara-negara mitra tersebut.
Demikian pula China, yang tidak akan membiarkan reperkusi ini berdampak pada masyarakat muslim Uighur di kawasan Xinjiang, di ujung tangkai daun Afghanistan. Tambahan pula, ada kekhawatiran terhadap Pakistan yang merupakan tempat cikal bakal Taliban dan dinilai bersimpati pada Al Qaeda pada era Osama bin Laden. Dari aspek lain, di masa lalu (1996-2001) pemerintahan Taliban yang terkucil dan diembargo dikenal mengandalkan perekonomiannya, antara lain, dari bisnis opium dari ”Bulan Sabit Emas” (Red Crescent).
Hingga kini diberitakan pemerintahan Taliban belum solid karena pertentangan di antara faksi-faksinya; sementara di lapangan penerapan hukum Islam ketat seperti dulu sudah diterapkan kembali. Kalau ini berlangsung terus, dan mengingat dampaknya yang luas, ancaman perang saudara akan kembali mencancam Afghanistan.
Baca juga : Amerika Pergi, Taliban Bergerak
Dari awal banyak yang meragukan bahwa penarikan pasukan AS akan ending the war; sehingga kalau perang saudara kembali terjadi, campur tangan internasional yang lebih luas akan menjadi keniscayaan. Artinya koalisi AS, Rusia, dan China akan menentukan masa depan negeri Setangkai Daun ini. Atau mungkin apa yang dikhawatirkan Olaf Caroe bahwa ”Unlike other wars, Afghan wars become serious only when they are over”, benar adanya.
Dian Wirengjurit
Analis Geopolitik dan Hubungan Internasional