Ekspektasi yang begitu tinggi atas merger Pelindo perlu pula memperhatikan aspek-aspek politik pelabuhan agar tujuan merger tersebut untuk menggerakkan perekonomian nasional dapat dijalankan dengan lancar.
Oleh
SISWANTO RUSDI
·4 menit baca
Intelektual papan atas Indonesia, Fachry Ali, menulis di harian Kompas edisi 16 September 2021 perihal merger PT Pelabuhan Indonesia atau Pelindo ditinjau dari sudut pandang politik-ekonomi. Tulisan Bang Fachry, begitu panggilan akrabnya di kalangan aktivis muda Tanah Air, sangat mencerahkan, terutama uraian sejarah yang beliau paparkan.
Sesuai dengan judul artikelnya, uraian tersebut dibalut dengan perspektif politik-ekonomi. Dengan demikian, pembaca dapat memahami arti penting keberadaan pelabuhan—sejatinya seluruh entitas bisnis kemaritiman—bagi suatu negara dikaitkan dengan aspek politik yang melatarbelakangi keberadaan atau awal pembangunannya.
Dikaitkan dengan proses merger Pelindo yang tengah berjalan, Bang Fachry menilai bahwa dalam konteks politik-ekonomi, kebijakan tersebut merupakan upaya mengonsolidasi kekayaan negara dan dapat memicu perkembangan ekonomi nasional. Ditambahkannya, pada masa penjajahan Belanda, pernah pula di Tanah Air ini dilakukan konsolidasi bisnis kemaritiman oleh penguasa kolonial. Hanya saja, orientasinya berbeda jauh, konsolidasi dimaksud hanya untuk kepentingan elite penguasa. Dengan uraiannya, beliau sepertinya ingin mengatakan bahwa sudah terjadi dua konsolidasi dalam ranah kemaritiman di Indonesia: masa penjajahan dan masa kemerdekaan.
Tulisan saya ini sepenuhnya setuju dengan pokok-pokok pikiran Bang Fachry yang disajikannya dalam tulisan di harian Kompas edisi 16 September tersebut. Kalaupun ada catatan, itu hanya untuk melengkapinya karena apa yang ditulis beliau berada pada tatanan makro. Saya mencoba melengkapinya dari sisi yang lebih mikro dan karena itu cenderung sedikit berbau teknis kepelabuhanan.
Politik pelabuhan
Pernyataan intelektual sekaligus Komisaris Utama Pelindo IV itu bahwa merger Pelindo dapat memicu perkembangan ekonomi nasional benar adanya. Bagaimana tidak. Dari sisi valuasi ekonomi, merger itu menaikkan nilai aset korporasi menjadi sekitar Rp 120 triliun.
Kendati demikian, publik masih menunggu penjelasan lebih lanjut seputar aset ini: berapa equity dan liability riilnya. Dengan begitu, bisa diketahui seberapa kuat Pelindo dalam menggerakkan roda ekonomi pascamerger.
Ekspektasi yang begitu tinggi atas merger Pelindo perlu pula memperhatikan aspek-aspek politik pelabuhan (port politics) agar tujuannya menggerakkan perekonomian nasional dapat dijalankan dengan lancar tanpa menghadapi kendala signifikan. Adapun politik pelabuhan yang saya maksudkan di sini secara umum adalah pengaturan yang dilakukan oleh negara/pemerintah terhadap jalannya bisnis kepelabuhanan nasional melalui aturan perundang-undangan. Pengaturan termaktub dalam UU Pelayaran Nomor 17 Tahun 2008 dan berbagai aturan pendukung lain, seperti peraturan pemerintah dan peraturan menteri.
Politik pelabuhan itu misalnya pemisahan antara regulator dan operator. Fungsi regulator diemban oleh Kementerian Perhubungan yang dalam praktiknya dijalankan oleh aparat Direktorat Jenderal Perhubungan Laut yang tersebar di semua pelabuhan di Tanah Air.
Sementara operator mencakup semua entitas bisnis yang bergerak dalam sektor pelabuhan. Undang-Undang Pelayaran menyebut kelompok ini badan usaha pelabuhan (BUP). Semua Pelindo sebelum bersatu/merger merupakan BUP.
Semua Pelindo sebelum bersatu/merger merupakan BUP.
Setelah Pelindo betul-betul bersatu nanti—direncanakan pada awal Oktober akan dikeluarkan peraturan pemerintah yang mengatur merger—apakah diperlukan izin BUP baru untuk perusahaan ini? Jelas ini hal sederhana dan dapat diselesaikan dengan cepat.
Akan tetapi, bagaimana dengan setoran konsesi? Berapa besar konsesi yang harus dibayarkan oleh Pelindo Bersatu? Lagi, kita tunggu penjelasan lebih lanjut, baik dari manajemen Pelindo Bersatu maupun dari Kementerian Perhubungan, karena ini menyangkut equity dan liability korporasi.
Politik pelabuhan lain, pelabuhan yang dikelola oleh semua Pelindo sebetulnya tidak banyak, tidak sampai 100. Mari kita lihat. Pelindo I memiliki 16 pelabuhan, Pelindo II sebanyak 12 pelabuhan, Pelindo III sebanyak 43 pelabuhan, dan Pelindo IV sebanyak 24 pelabuhan. Sisanya, sekitar 2.000 pelabuhan, merupakan pelabuhan yang dikelola Kementerian Perhubungan.
Lalu ada pula pelabuhan, tepatnya terminal, yang dikelola oleh swasta. Last but not least, ada juga pelabuhan/terminal yang dikelola oleh badan usaha pelabuhan independen alias tidak merupakan bagian dari perusahaan tertentu.
Semua itu merupakan bagian yang terpisahkan dan membentuk kesatuan (bahasa kekiniannya ekosistem) logistik nasional Indonesia. Apabila pelabuhan-pelabuhan Pelindo ditata ulang sedemikian rupa agar makin efisien dengan program merger,tetapi ”sejawatnya” tidak atau belum disentuh efisiensi sektor pelabuhan secara keseluruhan yang diniatkan oleh pemerintah, bisa saja tidak tercapai.
Mumpung merger tengah dipersiapkan, diperkirakan akan dieksekusi akhir tahun ini atau awal 2022 kata seorang teman di jajaran direksi sebuah Pelindo, ada baiknya Kementerian BUMN mengajak duduk Kemenhub selaku lurah pelabuhan UPT.
Siswanto Rusdi, Direktur The National Maritime Institute (Namarin): Sebuah Pusat Pengkajian Kemaritiman Independen di Jakarta