Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang beragam. Untuk menjaga dan mempertahankan pluralisme perlu dikembangkan pendidikan multikulturalisme di semua jenjang pendidikan.
Oleh
BUDI RAJAB
·4 menit baca
Sebagai negara-bangsa (nation-state), Indonesia dihuni oleh penduduk yang plural (beragam) dan kepluralan ini sudah dikenal oleh berbagai negara di dunia. Memang penduduk Indonesia ini dalam pengelompokannya sangat beragam (majemuk), umpamanya dari segi etnik (suku bangsa), jumlahnya ada sekitar 700 suku bangsa.
Selain itu, keragaman etnik ini merefleksikan juga corak dan sistem kebudayaan dan kesenian sehingga kebudayaan dan kesenian yang tumbuh juga sangat beragam. Agama yang dianut penduduk Indonesia juga berbeda-beda, heterogen, ada yang memeluk Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu, dan agama-agama asli hasil dari ciptaan dan pengembangan penduduk etnik Indonesia (pada penduduk etnik Sunda dikenal Sunda Wiwitan). Bahkan, yang menganut satu agama pun, umpamanya Islam, aliran Islam yang dianutnnya juga berbeda-beda sehingga para penganut Islam di Indonesia pun beranekaragam, tidak monolitik, ada penganut Suni, penganut Syiah, dan penganut Ahmadiyah.
Kemudian, dari dimensi bahasa, juga sangat beraneka ragam, malah ada yang berasal dari satu etnik berbeda bahasanya. Bahasa saja jumlahnya hampir sama dengan kelompok etnik, ratusan bahasa.
Itulah pluralisme negara-bangsa Indonesia, dan itu suatu kenyataan! Keragamannya sangat luas dan kuantitasnya banyak. Dan, keragaman ini telah mendahului terbentuknya dan keberadaan negara-bangsa Indonesia.
Memang, secara historis keragaman ini sudah ada sejak dulu, masa pra-kolonial, masa kolonial, sampai ke masa pasca-reformasi sekarang ini, tidak banyak mengalami perubahan, sepertinya telah given. Dan, bagaimanapun, kita harus menerima kemajemukan yang sudah lama ini, apa adanya.
Tetapi, kemajemukan apa adanya ini bukan sesuatu yang tidak memunculkan masalah dalam perjalanan negara-bangsa Indonesia. Memang dalam relasi-relasinya satu sama lain terkadang muncul distorsi, gangguan, ada perbedaan persepsi, makna dan penafsiran (meaning), dan kepentingan dalam hal sosial-politik dan sosial ekonomi. Distorsi dalam relasi-relasi tersebut telah juga menimbulkan hubungan disosiasi, seperti antagonisme, pertengkaran, sampai konflik yang terbuka.
Apabila kita membuka lembaran sejarah, pertengkaran dan konflik laten (covert conflict) maupaun konflik yang terbuka dan keras (overt conflict), pernah mengalami dan terjadi, umpamanya konflik antaretnik, pertengkaran antar-aliran agama yang sama, dan antaragama yang berbeda, dan konflik kepentingan sosisal-ekonomi. Dengan demikian, kemajemukan ini bukan tanpa masalah, malah juga menjadi beban-masalah.
Karena itu, bagaimana agar kemajemukan ini tidak menjadi beban-masalah bagi perjalanan nation-state Indonesia? Perlu dikelola, yakni bagaimana kemajemukan itu jangan sampai terdistorsi, mencederai perjalanan integrasi negara-bangsa.
Pendidikan multikulturalisme
Pluralisme adalah suatu konsep deskriptif, gambaran tentang apa adanya, tentang apa realitasnya. Pada sekitar awal tahun 1970 dikehendaki pluralitas ini dapat diterima, dipahami, dan direspons atau disikapi secara positif. Terutama bagaimana cara mengelola realitas keberagaman ini jangan sampai menjadi beban-masalah yang berlarut-larut, jangan menjadi distorsi kehidupan masyarakat dan negara-bangsa.
Maka, dikembangkanlah konsep yang dikenal multikulturalisme, yang tidak sekadar konsep normatif, tetapi suatu konsep yang lebih terprogram. Dalam konteks ini, multikulturalisme mesti diterima dan diihat bahwa hakikat keberagaman masyarakat itu, meskipun sebagai beban atau rintangan bagi integrasi masyakat, juga mesti dlilihat sebagai kakayaan, suatu mozaik, yang bisa memperindah kehidupan serta bisa mendinamisasi relasi-relasi sosial yang kreatif.
Juga multikulturalisme menghendaki agar tidak ada dan terjadi superioritas atau hegemoni dan dominasi dari satu kelompok dan tidak adanya pemaksaan untuk menerima nilai-nilai kultural dan kepercayaan pada kelompok lain. Sebaliknya, multikulturalisme menghendaki agar kita dapat menerima bahwa masyarakat itu beragam dari berbagai dimensinya: adanya tindakan atau program keadilan bagi seluruh anggota masyarakat; adanya respons atau penyikapan positif atas keberagaman itu dan adanya hak dan kontribusi yang diakomodir dari dan oleh semua anggota atau kelompok masyarakat.
Nah, untuk itu, multikulturalisme kemudian mencoba mengembangkan dan mengartikulasikannya dalam bidang pendidikan di berbagai tingkat, baik formal atau non-formal, yang bertujuan agar kamajemukan masyarakat ini bisa diterima, dipahami, dan disikapi atau direspons secara positif.
Merujuk pada pemikiran Homi K Bhabha, pendidikan itu, khususnya yang formal, dari tingkat sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi, harus menyusun dan memuat kurikulum pelajaran yang materi-materinya mencakup: pertama, menggambarkan cara-cara penerimaan, pemahaman, penghargaan terhadap keragaman di berbagai bidang, seperti di bidang budaya dan kesenian, etnis, ras, agama, dan pandangan hidup (world view), dan sebagainya; cara-cara pengenalan dan penghargaan atas keberagaman ini tidak hanya diajarkan di ruang-ruang kelas, tetapi juga dalam praktik di luar kelas.
Kedua, menggambarkan cara menghindari pandangan-pandanngan yang menganggap bahwa kelompok yang satu lebih unggul dari kelompok yang lain. Ini dilakukan, terutama untuk mencegah munculnya gambaran dan pandangan stereotipe-stereotipe buruk atau negatif dan cara pandang yang parokial (sempit dan linier) dalam melihat perbedaan itu; dan ini sekaligus berarti pula, dunia pendidikan harus mengembangkan sikap dan pandangan yang egalistarinisme dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan.
Ketiga, mengembangkan cara untuk membiasakan sikap dialogis dalam bersikap dan mengatasi apabila muncul persoalan dalam relasi sosial. Karena itu, belajar cara pembiasaan berdialog amat dibutuhkan di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang plural. Dialog adalah tindakan-tindakan untuk menjembatani bagi relasi dan interaksi kelompok-kelompok yang berbeda.
Itulah, cara (metode) dan materi pelajaran yang harus dan telah dikembangkan multikulturalisme dalam menjaga dan mempertahankan pluralisme.
Budi Rajab, Staf Pengajar Program Studi Antropologi FISIP Unpad