Bank-bank BUMN hanya memiliki sedikit waktu tersisa untuk berubah dan segera melakukan aksi iklim yang lebih nyata dalam kebijakan pendanaan mereka. Mereka harus membuat komitmen baru untuk proyek energi batubara.
Oleh
FIRDAUS CAHYADI
·4 menit baca
Bencana ekologi akibat perubahan iklim telah menghampiri bumi ini secara bertubi-tubi. Banjir, tanah longsor, dan kekeringan makin sering terjadi di bumi dalam beberapa tahun terakhir ini. Bencana-bencana ekologis itu tak jarang menyebabkan korban jiwa yang tidak sedikit.
Di Indonesia, bencana ekologis akibat perubahan iklim sudah sering terjadi dan diprediksi akan semakin sering terjadi. Ibu kota Jakarta dan 112 kota dan kabupaten diprediksi tenggelam. Akibat perubahan iklim, kopi legendaris dari Gayo, Aceh, juga diprediksi akan menghilang dari pasaran.
Center for International Forestry Research (Cifor), sebuah lembaga penelitian lingkungan hidup, memprediksi pada 2050 jumlah lahan untuk tanaman kopi arabica akan berkurang hingga 80 persen.
Celakanya, semua prediksi mengerikan akibat perubahan iklim itu—seperti diungkapkan dalam laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel Climate Change/IPCC) di bawah PBB tahun ini—datang lebih cepat dari perkiraan.
Ancaman krisis iklim itu membuat berbagai pihak mengubah kebijakan bisnisnya, salah satunya sektor perbankan. Kelompok tujuh negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar di dunia atau G-7 sepakat menghentikan pendanaan internasional untuk proyek-proyek energi batubara pada akhir tahun ini.
Ancaman krisis iklim itu membuat berbagai pihak mengubah kebijakan bisnisnya, salah satunya sektor perbankan.
Kebijakan itu dilakukan demi mengejar target pencegahan perubahan iklim. Batubara adalah salah satu energi fosil yang tidak hanya menyebabkan perubahan iklim, tetapi juga berbahaya bagi kesehatan warga sekitar. Seperti gayung bersambut, di depan Majelis Umum PBB, Presiden China Xi Jinping mengatakan, China akan menghentikan pendanaan proyek batubara di luar negeri.
Bank BUMN dominasi pendanaan energi kotor
Pertanyaannya kemudian adalah jika negara-negara maju mulai menghentikan pendanaannya untuk batubara, bagaimana dengan bank-bank BUMN di Indonesia?
Sektor perbankan seperti jantung pada organ manusia. Fungsi jantung ini dalam organ tubuh adalah memompa darah sehingga organ-organ tubuh lain berfungsi dengan baik.
Dalam sistem ekonomi, sektor perbankan inilah yang mengalirkan pendanaan ke berbagai perusahaan. Dapat dibayangkan betapa besarnya daya rusak bumi apabila pendanaan dari perbankan dialirkan ke perusahaan-perusahaan kotor penyebab krisis iklim.
Laporan lembaga Urgewald yang berbasis di Jerman menunjukkan, enam bank nasional Indonesia tercatat masih memberikan pinjaman kepada perusahaan batubara selama periode Oktober 2018 hingga Oktober 2020. Keenam bank itu ialah Bank Mandiri, BNI, BRI, BCA, BTN, dan Indonesia Eximbank.
Laporan itu menunjukkan bahwa bank-bank milik BUMN mendominasi pendanaan di proyek-proyek energi kotor batubara. Sebagai bank milik negara, bank-bank itu sama sekali tidak mencerminkan keselarasan dengan kewajiban negara untuk melindungi keselamatan semua warganya, termasuk dari ancaman perubahan iklim.
Kebijakan pendanaan bank-bank BUMN yang masih terus mendanai energi kotor batubara membuat geram ekonom senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri. Melalui akun media sosialnya, ia mengajak publik untuk memboikot bank-bank yang masih dan akan terus membiayai proyek-proyek energi kotor batubara yang tidak ramah lingkungan.
Faisal bahkan mengaku telah mulai menarik semua saldo simpanannya di satu bank BUMN. ”Dua bank BUMN lagi menyusul,” ungkap Faisal Basri di akun Twitternya.
Ironisnya lagi, bank-bank BUMN tersebut saat ini gencar menjaring nasabah dari kalangan anak muda, tetapi di sisi lain justru kebijakan pendanaannya membahayakan masa depan anak-anak muda. Jika bank-bank BUMN itu terus mempertahankan paradigma usang dengan terus mendanai energi kotor batubara, cepat atau lambat bank ini akan ditinggalkan nasabahnya.
Jika bumi ini rusak dan tak layak huni lagi akibat energi kotor yang didanai bank-bank BUMN itu, cepat atau lambat anak-anak muda yang kini menjadi nasabah bank tersebut akan hengkang. Mereka akan memilih menyimpan uangnya di bank-bank yang lebih ramah lingkungan hidup.
Saat ini kesadaran anak muda terhadap perubahan iklim kian meningkat. Penelitian Angga Ariestya, dosen Komunikasi di Universitas Multimedia Nusantara, menunjukkan kesadaran kognitif kaum muda sangat tinggi terhadap perubahan iklim. Merekalah nanti yang akan menjadi ujung tombak dalam mendesak bank-bank BUMN untuk segera melakukan aksi iklim dengan menghentikan pendanaan ke proyek-proyek batubara.
Bank-bank yang memilih tetap mendanai energi kotor batubara cepat atau lambat akan rontok.
Bank-bank yang memilih tetap mendanai energi kotor batubara cepat atau lambat akan rontok. Bank-bank itu hanya memiliki sedikit waktu tersisa untuk berubah dan segera melakukan aksi iklim yang lebih nyata dalam kebijakan pendanaan mereka.
Mereka harus mulai membuat komitmen hijau baru, dengan tidak akan mengucurkan pendanaan ke proyek-proyek energi kotor batubara. Dengan meninggalkan pendanaan untuk batubara dan mengalihkannya ke proyek-proyek hijau, mereka tidak hanya akan bisa tetap bertahan di tengah krisis iklim, tetapi juga akan mampu mengembangkan bisnisnya.
Pilihan mana yang akan dipilih bank-bank BUMN? Apakah mereka tetap mempertahankan kebijakan pendanaan yang tidak ramah lingkungan?