Cerpen ”Sumur” karya Eka Kurniawan menghadirkan absurditas lakon hidup manusia, diwarnai dengan tiga peristiwa absurd kematian. Kehidupan ini absurd, dan selubung absurditas manusia terjadi karena kematian.
Oleh
S PRASETYO UTOMO
·5 menit baca
Diterjemahkan dari ”The Well” yang dimuat dalam antologi Tales of Two Planets terbitan Penguin Books 2020, cerpen Sumur (PT Gramedia Pustaka Utama, 2021) karya Eka Kurniawan menghadirkan absurditas lakon hidup manusia. Saya tak dapat menafsir cerpen ini dari struktur narasi yang sederhana tentang kasih tak sampai, berlatar perdesaan miskin pada musim kemarau panjang sebagaimana trilogi Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk.
Tidak ada kebodohan, kecabulan, dan atmosfer dunia kebatinan dalam kemiskinan desa tandus dalam cerpen Sumur. Yang dikembangkan Eka Kurniawan adalah selubung absurditas hidup manusia, kelam, berhadapan dengan kenistaan nasib dan maut yang tak terduga. Tokoh Toyib dan Siti dalam sepanjang struktur narasi cerpen ini menghadirkan kegigihan manusia menghadapi tantangan hidup yang kejam, penuh tragedi, dan kuasa alam yang memiskinkan desa mereka melalui kemarau panjang.
Keberadaan sumur di desa yang tandus dan miskin itu tidak semata-mata sebagai sebuah berkah mata air yang membawa rahmat kehidupan orang-orang desa. Sumur itu menjadi motif tentang harapan cinta, kelangsungan hidup manusia, dan sekaligus tragedi kematian.
Saya teringat cerpen Budi Darma yang termuat dalam antologi Horison Sastra Indonesia 2: Kitab Cerpen, berjudul ”Potret Itu, Gelas Itu, Pakaian Itu” yang berobsesi pada sumur sebagai motif misteri kematian. Eka Kurniawan, penerima Prince Claus Laureate 2018, menghadirkan kematian tokoh secara tak terduga. Sumur menjadi teka-teki absurditas kematian.
Absurditas cerpen Sumur ini sudah tampak sejak bagian pembuka. Eka Kurniawan membentangkan konflik batin yang sangat meruncing mengenai dua tokoh yang yang saling mencinta, Toyib dan Siti.
”Lalu satu malam, ayah Toyib berduel dengan ayah Siti. Duel itu berakhir dengan ayah Toyib menyabetkan parang ke perut ayah Siti, membuatnya terkapar dengan usus terburai dan darah menggenang di rerumputan, di dekat pintu air. Ayah Siti tak tertolong, ayah Toyib melarikan diri ke tengah hutan selama dua harmal, tapi tak sulit bagi polisi untuk mengejar dan menangkapnya”.
Cerpen Sumur diwarnai dengan tiga peristiwa absurd kematian. Senantiasa berulang dalam cerpen ini, kematian menjelma dinding-dinding absurd yang dialami para tokoh. Kematian-kematian itu dikemas dalam irasionalitas struktur narasi.
Pertama, kematian ayah Siti akibat perkelahian dengan ayah Toyib karena sengketa air di sawah. Kematian ayah Siti ini sungguh tak pernah terlintas dalam pikiran ayah Toyib. Tak ada dendam. Tak ada permusuhan. Mereka bersahabat sejak kecil. Hanya karena persoalan mengalirkan air ke sawah pada musim kemarau panjang, mereka berkelahi, dan matilah ayah Siti terkena parang ayah Toyib.
Kedua, kematian ayah Toyib saat melintasi jembatan gantung sungai yang meluap, saat melakukan perjalanan ke kota. Berhari-hari hujan turun deras, angin berpusar, sungai yang meluap, dan jembatan gantung yang rapuh, tetaplah dilewati Toyib dan ayahnya, hanya untuk memenuhi pertarungan nasib melakukan perjalanan ke kota untuk mencari pekerjaan.
Eka Kurniawan telah mengalirkan struktur narasi yang mempertegas pandangan bahwa kehidupan ini absurd, dan selubung absurditas manusia terjadi karena kematian.
Hasrat untuk meninggalkan desa yang tengah diguyur hujan deras (padahal desa tempat tinggal mereka dikenal sering mengalami kemarau panjang sampai sebelas bulan) sungguh di luar kesadaran dan rasio manusia. Eka Kurniawan telah mengalirkan struktur narasi yang mempertegas pandangan bahwa kehidupan ini absurd, dan selubung absurditas manusia terjadi karena kematian.
Ketiga, kematian istri Toyib dan suami Siti dalam sumur yang sama, yang menyisakan misteri, tak diketahui sebab-sebabnya. Kematian mereka misterius karena mereka menghilang bersamaan dari rumah.
Apakah seseorang telah merencanakan kematian mereka dengan melakukan pembunuhan? Atau, mereka berdua memilih mati bunuh diri, sebagai sebuah ”kesia-siaan kesetiaan” terhadap pasangan hidup, karena Toyib dan Siti senantiasa melakukan pertemuan-pertemuan rahasia setiap subuh di sumur kering itu? Bukankah bunuh diri merupakan tantangan untuk menjawab absurditas?
Nilai kehidupan
Kompleksitas yang berkembang di balik selubung absurditas struktur narasi yang tampaknya sederhana ini menandai pencarian nilai kehidupan dan martabat manusia tokoh Toyib dan Siti. Mereka mengalami keterasingan komunikasi setelah peristiwa kematian ayah Siti ditebas parang ayah Toyib, sambil diam-diam memelihara cinta di dasar kesadaran.
Siti mengembara ke kota dan menikah dengan seorang sopir. Toyib menikah dengan seorang perempuan dari desa yang tak pernah dicintainya. Ketika Siti kembali ke desa, kembali tumbuh dan berkembang cinta lamanya terhadap Toyib yang terselubung dendam kematian itu.
Cerpen Sumur berakhir sebagaimana dikatakan Sartre bahwa keberadaan manusia di dunia ini tidak lebih sebagai useless passion, ”hasrat kesia-siaan”. Tokoh-tokoh yang bergerak dan bertindak untuk mempertanyakan martabat manusia dan meneguhkan makna kehidupan berhadapan dengan kesadaran betapa irasional kehidupan di dunia ini.
Cerpen Sumur berakhir sebagaimana dikatakan Sartre bahwa keberadaan manusia di dunia ini tidak lebih sebagai useless passion, ”hasrat kesia-siaan”.
Tokoh Toyib berusaha memenuhi perannya sebagai manusia yang memiliki moralitas yang diinginkan secara bebas. ”Tentu saja Toyib dan Siti tak pernah pergi ke sumur itu lagi. Lebih dari itu, didera rasa perih tak berkesudahan, Toyib akhirnya pergi mengikuti adiknya ke kota, dan tak pernah kembali ke kampung itu lagi”.
Tidak seperti dalam novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (PT Gramedia Pustaka Utama, 2014) yang kini mencapai cetak ulang keempat belas, Eka Kurniawan tak memunculkan bahasa satire yang mengolok-olok tokoh. Ia tidak mempermain-mainkan perasaan pembaca dengan ”hasrat kesia-siaan” hidup manusia. Ia tak mengembangkan struktur narasi dengan hasrat bermain-main secara cerdik dengan menghadirkan tokoh ”tidak normal”. Ia kehilangan kenakalan dalam mengekspresikan bahasa yang kocak dan meledek kehidupan.
Sebagai cerpen yang terbit pertama kali dalam bahasa Inggris dalam antologi Tales of Two Planets, tentu Eka Kurniawan sudah mempertimbangan style yang bisa diterima masyarakat pembacanya. Akan tetapi, sesungguhnya, semenjak kata pertama sampai kata terakhir diekspresikan dalam cerpen ini menyiratkan kesadaran untuk melakukan pembebasan terhadap kehidupan yang absurd, meskipun berakhir dengan kesia-siaan.
Secara keseluruhan, cerpen ini menghadirkan teks sastra dengan penafsiran plural, dengan kepaduan dan kompleksitas persoalan kehidupan manusia. Dalam pengamatan saya, cerpen ini tak kalah memikat dibandingkan dengan Kooong karya Iwan Simatupang, yang mengalirkan motif absurditas kematian sebagai pijakan untuk mengembangkan struktur narasi.
S Prasetyo Utomo, Sastrawan; Doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes