Eksperimen Kedokteran dengan Tumbal Achmad Mochtar
Achmad Mochtar seorang pahlawan. Dia orang pertama Indonesia sebagai Direktur Lembaga Eijkman, juga pribadi yang rela mengorbankan diri demi keselamatan sejawatnya dari penyiksaan dan tebasan samurai.
Nama Prof Dr Achmad Mochtar (1891-1945) nyaris tenggelam, padahal dia orang Indonesia pertama yang menjabat sebagai Direktur Lembaga Eijkman, sebuah Lembaga Biologi Molekuler yang diakui dunia, warisan kolonial Belanda yang diakui dunia sebagai pusat riset untuk aneka rupa penyakit tropis. Sejak 1981, namanya diabadikan sebagai nama RSUD di Bukittinggi, Mochtar juga pernah menjadi perbincangan dunia dengan disertasi doktornya di Universitas Amsterdam pada 1927.
Tesis Mochtar menggugurkan hipotesis Dr Hideyo Noguchi—ilmuwan terkemuka Jepang yang sangat dihormati di negaranya dan berkali-kali dinominasikan sebagai peraih Hadiah Nobel Bidang Kedokteran—tentang leptospira sebagai penyebab penyakit demam kuning. Achmad Mochtar adalah ilmuwan kelas dunia.
Sampai sekarang, di aula Lembaga Eijkman yang berdiri kokoh, anggun, berwibawa, dan berusia lebih dari 80 tahun itu terpancang foto berukuran besar tiga legenda Lembaga Eijkman. Mereka adalah Christiaan Eijkman pemenang Hadiah Nobel Bidang Kedokteran tahun 1929, Gerrit Grijns, dan Achmad Mochtar.
Mereka masing-masing adalah direktur pertama lembaga yang berdiri tahun 1938 itu, direktur kedua yang memindahkan gedung Lembaga Eijkman dari RSPAD ke gedung baru di Salemba. Dan, Achmad Mochtar, orang Indonesia pertama yang menduduki jabatan direktur lembaga itu sejak Jepang masuk pada 1942 sampai dibunuh pada 3 Juli 1945 di Ancol dan dimakamkan di Ereveld, Ancol.
Narasi itu, seperti kasus serupa yang terjadi di Surabaya sebelumnya, adalah eksperimen keji kedokteran dengan menggunakan manusia sebagai kelinci percobaan.
Adalah Sangkot Marzuki, pengagum dan Direktur Lembaga Eijkman 1992-2014, bersama J Kevin Baird yang melakukan penelitian mendalam selama bertahun-tahun sekitar ”misteri” kematian Achmad Mochtar. Berkat usaha mereka, Peristiwa Mochtar—menurut istilah Theodore Friend dalam bukunya The Blue-Eyed Enemy: Japan againsts the West in Java and Luzon, 1942-1945, yang terbit pada 1988—atau Tragedi Mochtar atau Tragedi Klender atau Tragedi Eijkman memperoleh narasi yang benar didasarkan atas pengungkapan dokumen, saksi, dan penjelasan rasional.
Narasi itu, seperti kasus serupa yang terjadi di Surabaya sebelumnya, adalah eksperimen keji kedokteran dengan menggunakan manusia sebagai kelinci percobaan. Hasil penelitian mereka dibukukan dengan judul War Crimes in Japan-Occopied Indonesia yang diterbitkan oleh Unversitas Nebraska, AS, pada 2015. Baru pada 2020, buku yang memberikan penjelasan dan kepastian dugaan-dugaan tentang Tragedi Mochtar diindonesiakan dengan judul Eksperimen Keji Kedokteran Penjajahan Jepang. Tragedi Lembaga Eijkman & Vaksin Maut Romusha 1944-1945.
Achmad Mochtar menjadi kambing hitam eksperimen kedokteran gagal yang mengancam kekuasaan Jepang. Ia dipaksa mengaku bertanggung jawab atas kematian 900 romusha di Klender pada awal Agustus 1944. Baird dan Sangkot menulis bahwa kematian para romusha bukan kesalahan Mochtar dan lembaga yang dipimpinnya, melainkan usaha Jepang menjadikan para romusha sebagai kelinci percobaan dengan vaksinasi toksin tetanus.
Ia dituduh memimpin sabotase terhadap Jepang dengan mencemari vaksin tifus-kolera-disentri dengan bakteri dan toksin tetanus (Pengantar Kevin Baird & Sangkot Marzuki dalam Eksperimen Keji, hlm xxi). Sesuai judul buku, Achmad Mochtar adalah tumbal vaksin maut Jepang.
Penangkapan, penahanan, dan penyiksaan keji staf Lembaga Eijkman dilakukan untuk memperoleh pengakuan atas tuduhan itu. Tidak ada pengakuan satu pun sebab Mochtar memang tidak melakukan. Mochtar sadar, tanpa pengakuannya, siksaan akan terus berjalan dan pasti berakhir dengan ditebasnya leher rekan dan stafnya.
Mochtar memilih jalan satu-satunya: mengorbankan nyawa sendiri dan reputasinya asal sejawatnya bebas. Mark Harrison dalam Pengantar Eksperimen Keji, hlm xii-xiii, menggarisbawahi hasil penelitian Baird dan Sangkot. Peristiwa Mochtar terjadi terkait dengan uji coba vaksin hasil improvisasi yang lemah.
Mochtar memilih jalan satu-satunya: mengorbankan nyawa sendiri dan reputasinya asal sejawatnya bebas.
Salah satu yang mengherankan, tidak ada upaya membawa pelaku kejahatan kemanusiaan ini ke pengadilan. Kebenaran peristiwanya tidak hanya mencederai Jepang, tetapi juga nama baik para politisi Indonesia yang terpaksa melakukan kompromi dengan penjajah.
Setelah staf Lembaga Eijkman tahu dengan pasti tempat pemakaman Mochtar di Ereveld Ancol, Sangkot Marzuki dan Herawati Sudoyo—masing-masing sebagai direktur dan wakil direktur lembaga saat itu—merencanakan dan menyiapkan upacara peringatan di hari 65 tahun kematian Achmad Mochtar, Sabtu 3 Juli 2010 (Eksperimen Keji, hlm 63).
Acara sederhana yang dihadiri 50 orang, termasuk hampir semua keluarga Achmad Mochtar dan kerabat, dimulai pukul 06.00. Di bawah hujan gerimis, acara berlangsung singkat dan khidmat, ditutup dengan kuartet gesek para ilmuwan Eijkman yang memainkan lagu patriotik ”Tanah Airku” (ibidem, hlm 265).
Hingga kini, di makam Evereld Ancol, di bawah kerindangan suasana pinggiran pantai, dilestarikan sebuah pohon kering yang disemen sebagai penanda lokasi eksekusi kilat (pembunuhan dengan tebasan samurai) mereka yang dinyatakan bersalah, termasuk seorang pelopor ilmuwan Indonesia yang rela ditebas demi keselamatan dan kebebasan teman-temannya yang ditahan Jepang karena dituduh meracuni 900 romusha (Tumbal Vaksin Maut Jepang. Biografi Prof Dr Achmad Mochtar, hlm 232).
Saling melengkapi
Achmad Mochtar lahir di Bonjol, Pasaman, 17 November 1891, nomor empat dari enam saudara, lulus STOVIA tahun 1916. Ia seangkatan Sardjito, rektor UGM yang pertama, pahlawan nasional, dan Mohammad Sjaaf, rektor Universitas Andalas yang pertama.
Bersama Soesilo—yang bersama istrinya, dan disaksikan anak-anak mereka, ditebas Jepang di Pontianak tahun 1944—dan Sardjito, Mochtar memang bukan dokter-dokter tingkat doktoral dari Belanda generasi pertama. Akan tetapi, mereka bertiga itu yang terus menekuni dunia ilmu kedokteran dan ketiganya pernah bekerja di Lembaga Eijkman.
STOVIA tidak hanya melahirkan tokoh-tokoh pergerakan dan perintis semangat nasionalisme Indonesia dengan Boedi Oetomo, tetapi juga menghasilkan tokoh-tokoh bidang pengembangan ilmu kedokteran.
Buku Tumbal Vaksin Maut Jepang sebelumnya sudah terbit untuk kalangan terbatas, dengan beberapa perubahan diterbitkan kembali sebagai cetakan kedua pada 2021. Buku ini melengkapi narasi yang didasarkan atas bukti, saksi, dan penelitian kasus Peristiwa Mochtar yang terbit tahun 2015 (versi bahasa Inggris) yang berjudul War Crimes in Japan-Occupied Indonesia.
Dengan kata Pengantar Mark Harrison dan Aiko Kurasawa, terjawab banyak pertanyaan mengapa terbit dalam bahasa Inggris.
Dengan kata Pengantar Mark Harrison dan Aiko Kurasawa, terjawab banyak pertanyaan mengapa terbit dalam bahasa Inggris. Di antaranya, Peristiwa Mochtar bukan hanya insiden kekejaman yang terjadi di Jakarta. Peristiwa Mochtar justru menyoroti banyak kekejaman Jepang pada masa perang yang hingga kini belum mendapat penjelasan, pengakuan, dan keadilan (Pengantar Eksperimen Keji… hlm ix-xx). Kekejaman Jepang relatif kurang diungkap dibandingkan dengan holocaust yang dilakukan Hitler dan NAZI (bdk Memori Genosida, Baskara T Wardaya SJ (editor), 2021.
Untuk memperoleh pengetahuan lebih lengkap dan kepastian narasi tentang Achmad Mochtar, utamanya dalam kaitan fakta historis Peristiwa Mochtar, kedua buku ini menyajikannya secara utuh. Rujukan utama buku biografi, seperti diakui penerbitnya, diambil dari buku Eksperimen Keji…. Keduanya saling melengkapi, memperkaya, mutualisme simbiotik.
Mengenai kepeloporan Achmad Mochtar, kebangkitan ilmu pengetahuan Indonesia, penjelasan mendetail berikut setting historisnya sangat terbantu oleh buku Eksperimen Keji.... Maklum, buku ini ditulis dengan berbagai bahan pustaka, arsip, penelitian, blusukan, dan kedekatan hati dua pakar ilmu kedokteran, Kevin Baird dan Sangkot Marzuki.
Mereka bukan sejarawan, melainkan bagi pembaca awam yang hanya dimodali keingintahuan, kedua penulisnya mampu membuat narasi sejarah sebagai mozaik dengan Achmad Mochtar sebagai pusat. Kevin Baird adalah Direktur Eijkman Oxford Clinical Research Unit di Jakarta dan Pusat Kedokteran Tropis di Universitas Oxford, mantan tentara Angkatan Laut Sekutu; Sangkot Marzuki, ilmuwan kedokteran, Direktur Lembaga Eijkman tahun 1992-2014 setelah ditutup sejak 1965, dan Ketua AIPI tahun 2008-2018.
Eksperimen keji kedokteran
Tragedi Klender yang diketahui pertama kali tanggal 6 Agustus 1944 perlu ditempatkan dalam konteks situasi kemenangan Jepang berturut-turut di awal tahun 1940-an. Dengan slogan Asia Timur Raya, Jepang ingin menjadi penguasa Asia. Mengambil hati dengan sebutan ”saudara tua”, sesama bangsa Asia, awalnya Jepang berhasil mengambil hati bangsa-bangsa Asia, termasuk Indonesia.
Walaupun di kemudian hari keadaan berbalik. Jepang menggunakan kekerasan dalam menjajah Indonesia dan menuntut kepatuhan tunggal karena takut. Konteks sejarah yang sudah banyak diketahui itu dengan menarik dan detail dikisahkan kembali dalam Eksperimen Keji yang kemudian banyak dikutip dalam Tumbal Vaksin Maut.
Kamp Klender, konon lokasinya sekitar Stasiun KA Klender, Jakarta, adalah kamp-kamp tempat penampungan calon romusha yang berasal dari berbagai daerah sebelum ditempatkan di luar Jawa. Di sana mereka mendapat imunisasi antikolera, disentri, dan imunisasi lainnya, termasuk baris-berbaris bukan untuk keperluan militer, melainkan untuk membina kerja sama dan memudahkan pengawasan.
Ratusan romusha kemudian bergejala sama, meninggal dalam sakratul yang menyakitkan.
Tragedi pertama kali diketahui tanggal 6 Agustus 1944 ketika ada seorang romusha dengan gejala demam dan kejang-kejang serius. Pasien dibawa ke RSUP (sekarang RSCM) untuk diperiksa. Anehnya, Markas Besar AD ke-16 justru memerintahkan imunisasi dilanjutkan. Tanggal 7 dan 8 Agustus 1967 dilakukan imunisasi lanjutan. Ratusan romusha kemudian bergejala sama, meninggal dalam sakratul yang menyakitkan. Kamp Klender ditutup. Dokter-dokter sipil dilarang menangani, kasusnya diserahkan ke Bagian Medis AD ke-16/Pasukan Osamu.
Beberapa bulan kemudian muncul cerita dan kesimpulan terjadinya sabotase oleh ahli medis Lembaga Eijkman yang dipimpin Achmad Mochtar. Aiko Kurasawa, sejarawan Jepang yang mendalami sejarah penjajahan Jepang di Asia, termasuk Indonesia, menemukan dua dokumen rahasia (Aiko Kurasawa dalam Pengantar Eksperimen Keji) yang kemudian dimuat kembali di Tumbal Vaksin Maut).
Dokumen pertama berisi empat laporan tertanggal 8, 27 Oktober, 27 November dan 15 Februari 1945. Sangat rinci dilaporkan keadan pasien, perkembangan sakit, dan hasil pemeriksaan para dokter. Banyak tenaga medis Indonesia diperiksa dengan ancaman dan siksaan serta pengakuannya dicatat secara detail.
Dokumen kedua adalah laporan yang ditulis Letnan Hajima Nakamura, dokter dari Unit Pencegahan Epidemi dan Pemurnian Air, tertanggal 8 September 1944. Dr Mochtar dan kawan-kawan dituduh melakukan sabotase vaksin sebab beberapa saat vaksin ditempatkan di Lembaga Eijkman dari Lembaga Pasteur, Bandung, yang sejak Jepang masuk ditangani Bagian Medis AD Jepang. Menurut Aiko Kurasawa, tuduhan itu tidak masuk akal dan hanya bertujuan menutupi kesalahan dan percobaan kemanjuran vaksin yang dibuat Jepang (ibidem).
Dengan hipotesis Jepang bereksperimen di Klender, awalnya para perwira kesehatan di Jepang didesak mengembangkan vaksin toksoid tetanus (bedakan dengan vaksin tetanus) sebagai tuntutan situasi militer, dengan tidak mengabaikan etik untuk kemanjuran produknya memanfaatkan romusha sebagai kelinci percobaan.
Tentara Jepang melakukan tindakan untuk menyembunyikan kebenaran ini (Eksperimen Keji, hlm 229-231). Sangkot dan Baird menyimpulkan, dugaan-dugaan yang diperlukan untuk menetapkan eksperimen kedokteran sebagai dasar kejadian di Klender selaras dengan fakta yang mereka peroleh.
Membaca dua buku ini, pilihan Achmad Mochtar menunjukkan kemuliaan hatinya. Mendahulukan keselamatan orang lain dan keluar dari egoisme pribadi. Dia seorang pahlawan, selain sebagai pelopor kebangkitan ilmu pengetahuan Indonesia dengan 54 karya ilmiahnya tentang penyakit, orang pertama Indonesia sebagai Direktur Lembaga Eijkman, juga pribadi yang rela mengorbankan diri demi keselamatan rekan-rekan sejawatnya dari penahanan dan tebasan samurai.
Negara dan bangsa Indonesia niscaya berterima kasih atas kehadiran dan jasa Achmad Mochtar; kita berterima kasih kepada Kevin Baird dan Sangkot Marzuki dengan hadirnya buku Eksperimen Keji. Berterima kasih kepada ketiga penulis buku Tumbal Vaksin Maut yang melengkapi kisah sosok Achmad Mochtar. ”Kematiannya tidak sia-sia,” mengutip kata-kata Christiaan Eijkman, direktur pertama Lembaga Eijkman dan peraih Hadiah Nobel Bidang Kedokteran tahun 1929.
Tujuan buku adalah memberikan keadilan sejarah atas fakta masa lalu.
Tujuan buku adalah memberikan keadilan sejarah atas fakta masa lalu. Kebenaran yang sering dicampakkan sebab sejarah menjadi milik pemenang. Sebaliknya, dengan bukti faktual dan saksi-saksi, kebenaran perlu dikuakkan.
Achmad Mochtar sudah diakui berjasa bagi negara di bidang ilmu kedokteran, sudah diusahakan agar diampuni oleh Bung Hatta, Ki Hadjar Dewantara, KH Mansyur, dan Otto Iskandardinata (Tumbal Vaksin Maut, hlm 203), tetapi orang kedua di pucuk pimpinan pemerintahan Jepang, Mayor Jenderal Yamamoto Moichiro, menjawab, Kenpetai yang menangkap dan menahan Mochtar berada di luar komandonya.
Tidak ada maksud mengecilkan jasa dan peranan Bung Karno, semata-mata didasarkan atas data. Dalam biografi resminya, Bung Karno mengatakan, Mochtar dan seluruh staf Lembaga Eijkman bersalah dalam pembunuhan romusha di Klender (ibidem, hlm 248). Berbeda dengan Bung Karno, Bung Hatta menyatakan Mochtar telah dituduh dan dihukum secara tidak adil (ibidem, hlm 27), mengutip Sukarno: An Autobiography as Told to Cindy Adams, terbit 1965.
ST SULARTO, Wartawan Senior
Buku: Eksperimen Keji Kedokteran Penjajahan Jepang. Tragedi Lembaga Eijkman & Vaksin Maut Romusha 1944-1945 (terj. Gatot Triwira)
Penulis: J Kevin Baird & Sangkot Marzuki
Pengantar: Mark Harrison dan Aiko Kurasawa
Penerbit: Komunitas Bambu, 2020
Tebal: xxx + 290 halaman
ISBN 978-623-7357-12-4
Buku: Tumbal Vaksin Maut Jepang. Biografi Prof. Dr. Achmad Mochtar. Pelopor Kebangkitan Ilmu Pengetahuan Indonesia
Penulis: Hasril Chaniago, Azwil Nazir, Januarisdi
Pengantar: Prof Dr Sangkot Marzuki dan Dr Doddy Partomihardjo
Epilog: Prof Dr Amin Subandrio, PhD
Penerbit: PT Pustaka Obor Indonesia, 2021
Tebal: xxiv + 297 halam (cet. II)
ISBN 978-623-96629-8-1