Pamor Liga 2 menanjak seiring dimilikinya sejumlah klub oleh pesohor. Fenomena positif yang harus disikapi dengan pembenahan manajemen liga.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Kehadiran investor baru yang sebagian di antaranya pesohor itu tak hanya berdampak positif bagi tim yang dimilikinya, tetapi juga menggeliatkan industri sepak bola nasional yang sempat mati suri akibat pandemi Covid-19.
Fenomena akuisisi klub Liga 2 oleh para selebritas dan pengusaha muda itu dimulai dari keputusan Kaesang Pangarep, yang ingin mengembalikan nama besar Persis Surakarta, dengan mengakuisisi saham mayoritas klub itu pada akhir Maret 2021. Untuk mengelola Persis, putra bungsu Presiden Joko Widodo itu dibantu Menteri BUMN Erick Thohir, yang kenyang pengalaman mengelola klub sepak bola, seperti Inter Milan (Italia), DC United (Amerika Serikat), dan klub bola basket Indonesia, Satria Muda.
Gebrakan Kaesang, yang juga pengusaha kuliner, lantas diikuti dua pesohor, Raffi Ahmad dan Atta Halilintar. Raffi membeli saham mayoritas Cilegon United yang diubah namanya menjadi RANS Cilegon FC, sedangkan Atta mengakuisisi Putra Safin Group (PSG) Pati FC.
Fenomena selebritas menjadi pemilik klub olahraga bukan hanya muncul sekarang. Ada penyanyi tenar Elton John yang menjadi ketua klub sekaligus Direktur Watford, klub sepak bola Inggris, setelah menjadi fans Watford sejak usia muda.
Di masa kepemimpinannya, ia menunjuk Graham Taylor sebagai pelatih dan menginvestasikan banyak dana. Tak heran, ketika itu Watford merangkak dari Divisi Tiga ke kasta tertinggi Liga Inggris. Pencapaian berikutnya, Watford menjadi runner-up Liga Inggris 1983 (di bawah Liverpool) dan lolos ke final Piala FA 1984, sebelum kalah dari Everton.
Ada juga Robert Plant, vokalis grup rock Led Zeppelin, yang pendukung abadi Wolverhampton Wanderers (Wolves) dan pernah menjadi Wakil Presiden Wolves pada 2009. Selama 11 tahun menjadi wakil presiden, Wolves dua kali terdegradasi dan dua kali promosi ke kasta tertinggi, Liga Primer Inggris.
Di era kompetisi Galatama, dasawarsa 1970-1980, sejumlah pengusaha juga menjadi investor klub. Sebut saja Sigit Harjojudanto di klub Arseto, Probosutedjo di Mercu Buana, Benny Mulyono sebagai pemilik klub Warna Agung, dan TD Pardede mendirikan Pardedetex sekaligus mengoperasikannya.
Investasi artis, pengusaha, ataupun kalangan berduit lainnya di klub sepak bola salah satunya dilandasi pemahaman bahwa sepak bola sudah menjadi industri. Salah satu basisnya, tak lain penggemar sepak bola yang meluas di seantero dunia.
Data https://topmediadvertising.co.uk menunjukkan, laga final Piala Dunia Rusia 2018 disaksikan 1,1 miliar penonton dari berbagai belahan dunia. Adapun menurut Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional (FIFA), penonton Piala Dunia Rusia 2018 mencapai 3.572 miliar.
Potensi itu diperkuat data keuntungan klub-klub Eropa, benua kiblat sepak bola dunia, yang tiap tahun dibuat peringkatnya oleh Deloitte. Sesuai data Januari 2021, Barcelona tercatat sebagai klub terkaya musim 2019-2020, dengan total penghasilan 715,1 juta euro (sekitar Rp 11,9 triliun).
Kehadiran kembali selebritas ke sepak bola jangan sampai berakhir dengan perasaan gondok para pemodal tenar itu gara-gara intrik di kompetisi yang kerap menodai sportivitas. Sudah saatnya manajemen liga membenahi karut-marut persoalan yang berurat berakar di kompetisi kita. Dugaan pengaturan pertandingan yang kerap menjadi desas-desus harus sepenuhnya dihapus dengan kerja nyata manajemen liga mengoperasikan kompetisi secara profesional.