Pandemi Covid-19 mempercepat pemanfaatan layanan kesehatan digital. Teknologi kedokteran digital telah tersedia, saat ini diperlukan definisi ulang hubungan dokter dengan pasien secara digital.
Oleh
FX WIKAN INDRARTO
·5 menit baca
Setelah pandemi Covid-19 usai, para dokter akan lebih fokus pada layanan kesehatan digital atau telemedicine. Para dokter akan berusaha untuk membuat layanan inovasi untuk pencegahan, diagnosis, dan pengobatan penyakit secara digital, yang mulai saat ini dianggap lebih aspiratif dan futuristik. Apa yang menarik?
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kesehatan digital, atau penggunaan teknologi digital untuk kesehatan, sebagai bidang praktik dokter yang lebih banyak menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, secara rutin dan inovatif untuk memenuhi kebutuhan kesehatan. Kesehatan digital atau e-health adalah bidang yang baru muncul, penggabungan ilmu kedokteran dengan ilmu komputasi tingkat lanjut dalam data, genomik, dan kecerdasan buatan (artificial intelligence).
Banyak dokter, termasuk para dokter spesialis, telah memanfaatkan keunggulan layanan kesehatan digital selama pandemi Covid-19 dan krisis kesehatan ini, bahkan lebih sering dari sebelumnya. Bentuknya berupa konsultasi menggunakan video, telemonitoring, dan penggunaan kecerdasan buatan, karena kunjungan pasien ke rumah sakit dan klinik praktik dokter telah dibatasi di seluruh dunia.
Teknologi ini sangat membantu dalam memberikan layanan kesehatan penting bagi para pasien. Namun, ternyata ada banyak masalah baru, misalnya kesehatan digital dan virtual mungkin dapat memperparah ketidaksetaraan kesehatan (health inequalities), dan tidak semua orang di dunia memiliki ponsel cerdas atau sambungan internet secara memadai.
Kesehatan digital berpotensi membantu mengatasi masalah teknis layanan dokter, seperti jarak yang jauh dan akses yang sulit, tetapi tetap saja masih memiliki berbagai tantangan mendasar. Contoh kendala yang dihadapi dalam sistem kesehatan secara umum, misalnya tata kelola medis yang menurun, pelatihan dokter yang tidak memadai, dan keterbatasan infrastruktur teknologi informasi, misalnya akses internet yang buruk atau peralatan digital versi terdahulu yang masih digunakan.
Kendala tersebut perlu dipertimbangan dan diperhatikan. Selain karena persyaratan spesifik yang dibutuhkan untuk layanan kesehatan digital lebih rumit, juga seharusnya berada dalam sistem kesehatan yang lebih luas dan lingkungan pendukung yang memadai.
Untuk itu beberapa rekomendasi perlu dicermati, misalnya untuk para manajer sistem kesehatan, perlu rutin mengecek notifikasi digital yang bertujuan mendorong ketersediaan di berbagai titik layanan. Dari perspektif pasien, layanan ini akan membantu mengakses informasi dan layanan kesehatan dengan lebih cepat ke penyedia telemedicine. Begitu pula kebutuhan dan kompetensi tenaga dokter agar dapat terus ditingkatkan untuk memenuhi praktik yang berkualitas tinggi, melalui intervensi seperti pelatihan atau mLearning.
Implementasi kesehatan digital bergantung pada sejumlah faktor dan keberhasilannya sering kali dipengaruhi oleh faktor intrinsik berupa desain program digital, serta faktor eksternal, yaitu pendukung teknologi informasi. Keberhasilan implementasi intervensi kesehatan digital secara luas didasarkan pada komponen penting berikut.
Pertama, konten dan informasi kesehatan yang baik, menarik, dan akurat, misalnya pedoman layanan kesehatan atau praktik dokter berbasis bukti. Kedua, intervensi kesehatan digital sesuai kebutuhan pasien.
Ketiga, aplikasi digital lengkap yang memfasilitasi penyampaian intervensi medis secara digital. Dapat juga dikombinasikan dengan konten edukasi bidang kesehatan, misalnya pesan teks, atau aplikasi telepon pintar. Keempat, teknologi informasi dan lingkungan pendukung, misalnya tata kelola, infrastruktur, undang-undang dan kebijakan, tenaga kerja yang ahli, interoperabilitas, dan arsitektur digital.
Lebih efektif
Layanan digital oleh dokter akan membuat bangsal perawatan pasien di rumah sakit yang saat ini dipenuhi pasien dengan gangguan satu atau lebih sistem organ, kelak diprediksi justru hanya akan digunakan untuk proses diagnosis dan perawatan sementara saja. Sebuah perangkat pemindaian digital tunggal hasil dari kecerdasan buatan, kelak tentu akan mampu memberikan gambaran detail aspek metabolik, fungsional, dan struktural organ pasien, karena mampu menggabungkan fisika spektroskopi, resonansi magnetik, dan radiasi. Dengan demikian, kelak dokter hanya perlu satu tindakan pemindaian digital, dan tidak memerlukan sebuah tindakan invasif yang menyakitkan pasien, seperti operasi biopsi jaringan.
Kelak dokter hanya perlu satu tindakan pemindaian digital, dan tidak memerlukan sebuah tindakan invasif yang menyakitkan pasien, seperti operasi biopsi jaringan.
Kelak dokter juga tidak perlu lagi mempertimbangkan obat apa yang harus diresepkan untuk pasien dan kemudian apoteker yang memberikannya. Perangkat seluler dokter akan menerima informasi yang diperlukan untuk meramu obat, probiotik dan diet khusus, dari ruang penyimpanan data pasien. Selanjutnya, akan tersedia obat sesuai permintaan dokter, yang akan berlangsung bahkan dalam beberapa menit saja.
Sekarang rumah sakit dan dokter wajib memberikan layanan kepada pasien dengan memberikan informasi diagnostik yang paling akurat, intervensi yang paling tidak invasif, dan terapi teraman yang tersedia. Ke depan, pasien secara mandiri akan memiliki informasi yang serupa, sehingga cukup melakukan diskusi singkat dengan dokter secara sepadan.
Saat ini beban global penyakit sebagian besar dalam aspek pembuluh darah atau vaskular, dengan serangan jantung dan stroke menjadi penyebab kematian pasien yang terbesar di dunia. Padahal, keduanya sebentar lagi dapat dicegah dengan pemahaman pasien yang lebih baik, dengan melakukan koreksi atas faktor risiko dalam bimbingan dokter secara digital. Kejadian cidera traumatis juga turun dan akan terus menurun, saat tersedianya mobil tanpa pengemudi dan pekerja robot telah diciptakan untuk menggantikan tugas manusia yang berisiko.
Teknologi kedokteran digital telah tersedia sehingga sekarang diperlukan definisi ulang (reshape) hubungan dokter dengan pasien secara digital. Oleh sebab itu, sebaiknya para dokter melatih diri agar profesional secara digital, juga mengadvokasi organisasi profesi, pemerintah, penjamin biaya pasien seperti asuransi atau BPJS Kesehatan, dan kelompok lain untuk memulai penggunaan teknologi digital ini. Tentu agar lebih banyak pasien tetap dapat tinggal di rumah, dalam program jaga jarak atau social distancing, meskipun pemberantasan pandemi Covid-19 sudah akan terlewati.
Sudahkah para dokter siap menjadi dokter digital sesudah pandemi Covid-19?
FX Wikan Indrarto
Dokter spesialis anak di RS Panti Rapih, Lektor di FK UKDW Yogyakarta