Diri yang Terbeli
Mural “404: Not Found” adalah kritik seni jalanan terhadap pokok soal yang juga sering diperkarakan dalam keseharian publik, bukan kritik terhadap tokoh. Karya itu seakan sedang bertanya: Di mana Anda (kita)?
Sebagaimana diketahui, beberapa waktu lalu sebuah mural bertajuk “404: Not Found” viral. Karya seni jalanan (street art) itu diperbincangkan berbagai kalangan. Bukan mural itu benar yang membuat heboh. Bukan juga karena ia dihapus polisi.
Di mana-mana, di seluruh dunia, sudah lumrah mural dihapus. Seniman mural pun tidak mempersoalkannya. Bukankah besok lusa ia bisa membuatnya lagi, lagi, dan lagi. Itu perkara biasa, semacam bermain kucing-kucingan.
Mural bertajuk “404: Not Found” menjadi luar biasa sebab reaksi aparat melewati batas permainan. Ia bahkan mengejar pemainnya ke luar lapangan. Konon seniman mural tersebut diburu.
Baca juga: Moralitas Mural dan Daulat Rakyat
Respons aparat yang “offside” sedemikian dimotivasi oleh pemahaman kuasa-normatif bahwa karya mural tersebut juga telah melampaui batas etika. Karya itu telah mendeskreditkan, melecehkan, menghina (atau apa,pun sebutannya yang sejenis) tokoh yang digambar, yang telanjur juga dipahami sebagai kepala negara. Argumennya kemudian diideologisasi: mural “404: Not Found” telah menghina “lambang” (baca saja: simbol) negara.
Telah disepakati sejarah, karya seni jalanan umumnya memang bersifat mengkritik, lebih jauh bahkan sebagai cara melawan (Smith dalam Awad dan Wagoner, 2017). Namun, pada level kritik, umumnya yang dikritik adalah pokok, bukan tokoh. Kritik kepada pokok berarti memperkarakan sebuah tema, baik yang terkait dengan fenomena, perilaku, obyek, karya seni, maupun pemikiran dalam berbagai bidang. Sedangkan kritik terhadap tokoh adalah membincangkan tokoh, yang acap menjadi bersifat personal dan emosional. Lantas, bagaimana dengan “404: Not Found”?
Tubuh semiosis
Tampak secara kasat mata, untuk ukuran mural, karya itu dibuat dengan sapuan kuas yang cukup rapih—setidaknya yang tertangkap pada image-nya yang viral. Warna hitam menjadi latar belakang dominan menutupi tembok. Di atas itu diterakan gambar menyerupai konfigurasi huruf (grafiti) dengan variasi warna merah putih, mengapit gambar tokoh yang menempati posisi sentral karya. Mata tokoh tersebut ditutup dengan tulisan yang kemudian dipahami publik sebagai tajuk karya ini, “404: Not Found”.
Dibaca dengan perspektif semiotika Peirce (Merrell, 1997), karya tersebut sebenarnya sedang membidik pokok soal yang juga sering diperkarakan dalam keseharian publik. Warna hitam sebagai latar belakang adalah tanda indeksikal, sebuah deiksis yang menunjuk pada kesuraman (jika tidak mau dibaca kegelapan). Sedangkan warnah merah putih, meskipun tidak ditampilkan dalam wujud bendera, dengan mudah dapat ditafsir sebagai warna kebangsaan, keperkasaan nasionalisme (berani karena benar: merah darahku putih tulangku).
Konfigurasi grafiti yang tidak jelas memang sebuah enigma, semacam identitas yang tidak pasti. Hal ini kiranya dapat dibaca sebagai trik untuk membangun efek ketegangan dari ketidakpastian. Jika direlasikan dengan elemen gambar lainnya, konfigurasi ini menciptakan semacam kesemerawutan visual, menandai karakternya sebagai karya seni jalanan.
Baca juga: Mengelola ”Tembok Keresahan”
Lantas, bagaimana dengan sosok tokoh yang menjadi sentral gambar? Perhatikan, sang tokoh divisualisasi dengan rapih. Rambutnya disisir ciamik, ditarik meminggir, dan berkesan memakai minyak rambut. Kepadanya juga dipakaikan kemeja putih, jaket, dan sekilas tampak tersembul dasi. Jelas, tubuh tokoh ini tidak dimainkan, tidak dibuat jelek, apalagi dirusak. Jadi, secara semiotik, siapa pun tokoh yang digambar, ia tidak sedang dilecehkan. Hal ini berarti pula bahwa tokoh dihadirkan bukan sebagai “tubuh individu secara harafiah”, tetapi sebagai elemen tanda visual semiosis.
Mata tokoh tersebut memang ditutup. Fakta visual ini kian menegaskan bahwa tubuh yang digambar adalah tubuh semiosis. Mata adalah pusat identitas. Inilah indera manusia yang oleh Synnott (1993) diposisikan pada derajat tertinggi dalam tubuh, yang hanya bisa disejajarkan dengan rasio.
Barangkali berkait dengan hal ini pula, jauh sebelumnya, Berger (1977), mengatakan bahwa apa yang dilihat adalah apa yang dipikirkan. Walhasil, mata yang ditutup pada gambar itu dapat dibaca sebagai identitas tubuh yang dihilangkan. Dengan kata lain, ia bukan seseorang, melainkan bisa siapa saja, diri yang berkerumun, dan kerumunan itu sendiri bisa menjadi tempat hilangnya subyek diri.
Mata yang ditutup pada gambar itu dapat dibaca sebagai identitas tubuh yang dihilangkan.
Beranalogi pada Jung (2002), ia adalah “diri yang tidak ditemukan”, raib dalam gemerlap panorama modernitas. Dan itu bisa jadi kita semua. Dengan kata lain, sosok yang digambar tersebut, seturut perspektif semiotika, adalah sinekdoke pars pro toto, sebagian mewakili keseluruhan; satu untuk semua.
Bukankah gambar setengah badan itu mirip dengan Presiden Jokowi? Baiklah, jika kita harus sepakat dengan tafsir persepsional aparat kepolisan sedemikian. Tapi, jika ini benar, nilai simboliknya justeru menjadi semakin tegas. Jokowi, sebagai kepala negara (bukan sebagai individu) adalah representasi paling tepat dari bangsa, dari rakyatnya. Lebih jauh, kepala negara adalah simbol negara itu sendiri. Dalam semiotika Peirce, posisi tanda ini telah final sebagai simbol (legisign).
Diri yang hilang
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik semacam proposisi bahwa “404: Not Found” adalah kritik seni jalanan terhadap pokok, bukan tokoh. Sekali lagi, karya ini sedang mengangkat persoalan yang sehari-hari dibincangkan banyak orang, tentang bangsa yang terus-menerus centang perenang dalam berbagai masalah: kekacauan politik, kerusakan lingkungan, ketakberadaban koruptor, kemandulan hukum, dan seterusnya. Dalam situasi demikian, karya tersebut seakan sedang bertanya: Di mana Anda (kita)?
Jelas di situ, kritik tersebut tidak serta-merta ditujukan secara vertikal kepada penguasa, melainkan ke berbagai arah, menyebar horisontal. Di ranah politik praktis tingkat elite, misalnya, ketika nyaris semua partai politik berkoalisi mendukung dan mengusung pemerintah, saat itu “subyek politik” hilang, debat politik nonsense, demokrasi hanya menyisakan retorika. Di ranah akademik, ketika para pakar dan ilmuan hanya disibukkan oleh ilmu dan kepakarannya masing-masing, kepakaran berakhir (Nichols, 2017). Di ranah agama, ketika semua orang bisa mudah dan memudahkan persoalan agama, nilai-nilai agama lesap, demikian seterusnya.
Bahkan bisa dikatakan bahwa kritik yang telak dari “404: Not Found” justru tertuju kepada dunia seni (termasuk di dalamnya sastra) itu sendiri.
Begitu juga halnya dalam ranah seni dan kebudayaan secara umum. Bahkan bisa dikatakan bahwa kritik yang telak dari “404: Not Found” justru tertuju kepada dunia seni (termasuk di dalamnya sastra) itu sendiri. Coba periksa, dalam dasawarsa terakhir ini nyaris tidak pernah terdengar “dialektika seni” dalam kaitannya dengan kekuasaan.
Tidak ada suara kritis dari seniman terhadap pemerintah. Kesenian seakan telah selesai. Seni telah terputus dari sejarahnya, yakni narasi perlawanan terhadap kekuasaan dan pihak-pihak dominan lain seperti pemilik modal dan para cukong. Seni telah menjadi protagonis yang manis. Apakah seni telah terbeli?
Baca juga: Mural, Socrates, dan Suara Hati bagi Kebenaran
Saya kira bukan hanya seni. Seperti yang telah diidentifikasi di atas, kita semua nyaris telah terbeli. Tentu, pada sesuatu yang telah terbeli, tidak bisa ditawarkan lagi harga. Semua hak hanya di tangan pemilik, di tangan kuasa (politik, modal, dan seterusnya). Di situlah “404: Not Found” sedang mengingatkan agar kita keluar dari jerat kuasa dan sedusi pembeli. Mungkin ia juga sedang menegur supaya kita siuman, dan melawan. Tentu, tanpa kekerasan!
Acep Iwan Saidi, Ketua Forum Studi Kebudayaan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB