Reforma Agraria, Air Kayangan yang Tak Segera Turun ke Bumi
Keadilan agraria ibarat air dari kayangan yang sangat didamba petani. Namun, air itu tak segera menjadi hujan karena terhalang batu besar, yaitu peraturan-peraturan yang melawan arus jalan menuju keadilan.
Oleh
HARY PRABOWO
·4 menit baca
Dalam perjalanan berbangsa dan bernegara, setiap bulan September rakyat Indonesia memperingati Hari Tani Nasional yang bersejarah. Bapak pendiri bangsa, Presiden Soekarno, tentu tidak main-main menetapkan tanggal 24 September sebagai HTN melalui Keputusan Presiden Nomor 169 Tahun 1963.
Penetapan tersebut sebagai bentuk penghormatan atas perjuangan panjang rakyat tani Indonesia melahirkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960. Hari pengesahan UUPA 1960 inilah yang kita peringati, batu pal waktu yang menandai tamatnya UU kolonial (Agrarisch Wet 1870).
Harapan baru terbit seiring lahirnya semangat konstitusionalisme reforma agraria sebagai jaminan ideologis yang kokoh. Selanjutnya, tugas pokok negara membumikan keadilan agraria agar benar-benar dinikmati seluruh rakyat Indonesia.
Tahun ini kita memperingati HTN yang ke-58. Bagaimana nasib rakyat tani setelah setengah abad lebih merdeka dan memiliki undang-undang agraria sendiri?
Jawaban atas pertanyaan ini terletak pada bagaimana negara menjalankan program reforma agraria secara komprehensif. Suatu bukti yang menandai kehadiran negara apakah sungguh-sungguh mengawal keadilan agraria bagi rakyatnya atau membelakanginya.
Keruh dan mampat
Dalam dua tahun terakhir, terdapat tiga kebijakan pemerintah yang melawan arus jalan menuju keadilan agraria. Ketiga kebijakan itu meliputi terbitnya UU Cipta Kerja No 11/2020, turunannya PP No 64/2021 tentang Bank Tanah, dan Perpres No 66/2021 tentang Badan Pangan Nasional.
Sementara kebijakan pendukung tambahan reforma agraria hanya diputuskan oleh Kantor Staf Presiden (KSP). Organ pembantu presiden ini membuat SK Nomor 1B/T/2021 tentang Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan Penguatan Reforma Agraria tahun 2021 yang melibatkan sejumlah kementerian, lembaga, dan organisasi sipil.
Kebijakan pendukung tambahan reforma agraria hanya diputuskan oleh Kantor Staf Presiden.
Keputusan ini sangat lemah dan terlambat, di tengah pekerjaan rumah yang mahaberat dan menumpuk serta datangnya masalah baru yang memperburuk jalan menuju keadilan agraria. Dari total target 4,5 juta hektar tanah obyek reforma agraria sejak rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) dicanangkan, total realisasi redistribusi tanah kepada masyarakat baru mencapai 1.240.567 atau 27,57 persen (Kompas, 19/8/2021).
Masalah konflik agraria yang tercatat pengaduannya masuk ke istana dalam rentang 2015-2021 mencapai 1.191 kasus. Namun, hanya 137 konflik agraria yang diprioritaskan termasuk di kawasan hutan, bahkan ironisnya konflik juga terjadi di tanah obyek reforma agrarian (TORA). Tanah yang baru diredistribusi sudah berkonflik kembali.
Di tengah silang sengkarut konflik agraria dan lemahnya institusi pelaksana reforma agraria, dua tambahan perintang baru muncul setelah terbitnya UU Cipta Kerja.
Pertama, masalah Bank Tanah. Produk turunan UU Cipta Kerja ini hadir memperburuk ketimpangan tanah karena orientasinya memberi tanah cukup bagi pemodal besar. Sementara tanah cukup bagi petani penggarap masih di alam mimpi.
Bank Tanah sebagai badan khusus bentukan pemerintah pusat memiliki kewenangan mengelola tanah yang bersumber dari tanah negara, tanah masyarakat, tanah bekas HGU, tanah telantar, pelepasan kawasan hutan, hasil reklamasi, hingga pulau-pulau kecil. Tujuan pokok bank tanah adalah mendukung liberalisasi pasar tanah agar memudahkan masuknya investasi, utamanya aliran modal asing. Atas nama pembangunan dan investasi, lahan-lahan produktif rakyat yang sangat terbatas kembali terancam perampasan tanah.
Kedua, masalah Badan Pangan Nasional. Kehadiran badan baru ini sama sekali tidak terhubung dengan agenda pokok reforma agraria. Utamanya memperkuat masalah di hulu berupa percepatan aset tanah yang cukup bagi petani penggarap yang memproduksi pangan ataupun dukungan akses bagi peningkatan produksi pangan. Badan ini cenderung akan memperkuat kartel impor pangan karena menyangkut sembilan komoditas pangan yang ditetapkan langsung oleh presiden.
Atas nama keamanan pangan nasional, solusi mencari gampang dan instan dengan kebijakan meningkatkan kuota impor pangan hanya akan memperburuk ekonomi pacapanen petani karena jatuhnya harga-harga produk pertanian. Situasi yang sudah lama membuat petani frustrasi dan patah hati. Bahkan, tidak sedikit yang meninggalkan profesi petani karena suramnya dunia pertanian. Suatu ironi besar di negeri agraris yang kaya dan subur, tetapi petaninya miskin dan bergantung pada pangan asing.
Jalan masih panjang
Apabila kita kembali ke inti kebijakan reforma agraria tentang menyelesaikan ketimpangan kepemilikan dan penguasaan tanah di Bumi Pertiwi, agenda pokok pembaruan agraria telah keruh dan mampat.
Ibarat mata air kehidupan, ia gagal menggeser batu penindas yang sekian lama menyumbatnya. Sementara batu-batu perintang baru telah berdatangan. Para penggerak reforma agraria juga terus diperkecil kekuatannya karena tidak mendapat dukungan politik dari negara dan seluruh komponen bangsa.
Memang terdapat hasil pelaksanaan reforma agraria, tetapi rembesan airnya sangat kecil dan tidak signifikan. Inferioritas das sollen tak sanggup menghadapi superioritas das sein masalah di tengah masyarakat.
Menyitir lirik lagu ”Banyu Langit” ciptaan penyanyi kondang Didi Kempot, keadilan agraria ibarat air dari kayangan. Ia tidak segera datang menjadi hujan. Batu besar menjadi penghalang. Dinginnya gunung merapi purba, turut menjadi saksi bisu mendengar apa yang telah dijanjikan. Walaupun rintik gerimis, sangat berarti bagi kaum tani yang sekian lama kering mendekap janji. Mereka telah ratusan tahun mendambakan air kayangan keadilan agraria turun di muka bumi.
Hary Prabowo, Peneliti Masalah Perdesaan dan Agraria pada The Institute for National and Democratic Studies (INDIES)