Berakhirnya rezim batubara tak harus jadi bencana, sebaliknya justru peluang membangun industri yang tidak hanya lebih ramah lingkungan, tetapi juga bernilai tambah tinggi.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Masa keemasan batubara sebagai komoditas ekspor primer nasional Indonesia dalam bentuk mentah mungkin segera berakhir, jauh lebih cepat dari perkiraan.
Merespons tekanan internasional dalam rangka meredam pemanasan global, China sebagai emiten terbesar gas rumah kaca (GRK) dunia, selain Amerika Serikat, memutuskan menghentikan investasi pembangkit listrik tenaga batubara baru di luar negaranya. China juga mendorong pengembangan energi hijau dan rendah karbon di negara berkembang.
Komitmen serupa ditempuh Korea Selatan dan Jepang, dua negara yang bersama China menyumbang 95 persen pendanaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) global. Langkah China ini dilihat praktisi dan ahli sebagai alarm bagi Indonesia yang selama ini mengandalkan batubara sebagai sumber penting devisa ekspor dan pemenuhan 60-65 persen energi listrik nasional saat ini.
Indonesia tak punya pilihan lain, selain bertransformasi segera, dengan mengurangi ketergantungan pada ekspor/industri batubara, beralih ke energi baru terbarukan (EBT). Kita semua sepakat, energi fosil harus segera diakhiri. Cepat atau lambat, listrik batubara akan ditinggalkan semua negara.
Dalam jangka pendek, tekanan akibat kebijakan batubara China pada ekonomi Indonesia mungkin tak terhindarkan. Namun, pada saat yang sama, ini harus jadi momentum dan bahan bakar pemacu untuk mempercepat transformasi Indonesia menuju ekonomi hijau dan Indonesia Bersih 2060.
Dari 563,73 juta ton produksi batubara Indonesia pada 2020, menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), 70 persen diekspor, dan dari jumlah itu, 32 persen tertuju ke China. China mungkin tak akan menghentikan sepenuhnya impor dari Indonesia sebab ada kebutuhan untuk PLTU dalam negerinya. Namun, penghentian pembangunan PLTU oleh China di luar negeri, khususnya Asia Pasifik, pasti berdampak pada ekspor batubara Indonesia, karena sebagian besar batubara kita untuk proyek PLTU di kawasan ini.
Di dalam negeri, dalam proyeksi Bappenas, kontribusi batubara dalam bauran energi nasional masih mencapai 40 persen pada 2030. Namun, bertahap, sesuai target pengurangan emisi, akan terus ditekan dengan target definitif emisi GRK nol persen pada 2060. Per April 2021, dari 72.888 MW kapasitas energi listrik nasional, 86,45 persen masih energi fosil, dengan 13,55 persen sisanya EBT. Porsi EBT ditargetkan naik jadi 23 persen pada 2025 dan 50 persen pada 2050.
Dalam proyeksi Bappenas, kontribusi batubara dalam bauran energi nasional masih mencapai 40 persen pada 2030.
Lalu akan dikemanakan 150 miliar ton cadangan potensial dan 40 miliar ton cadangan terbukti batubara Indonesia yang diperkirakan masih cukup untuk 100 tahun ke depan dengan tingkat produksi yang sekarang? Dalam jangka pendek, diversifikasi tujuan ekspor mungkin bisa menyerap batubara eks China. Namun, secara bertahap, semua negara pengimpor batubara juga akan dipaksa mengurangi konsumsinya.
Jalan keluarnya ialah percepatan hilirisasi, antara lain dengan mengembangkan industri kimia berbasis batubara, seperti dimulai dengan proyek gasifikasi yang menghasilkan metanol, baik untuk kebutuhan domestik maupun ekspor. Berakhirnya rezim batubara tak harus jadi bencana, sebaliknya justru peluang membangun industri yang tidak hanya lebih ramah lingkungan, tetapi juga bernilai tambah tinggi.