Keberhasilan PPKM
Kita patut bersyukur dan berterima kasih kepada Presiden Joko Widodo dan jajarannya, kepada seluruh masyarakat Indonesia yang telah menaati protokol kesehatan, dan pengorbanan setiap orang atas kebijakan ini.
Paling tidak sampai akhir Agustus 2021, upaya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM mulai membuahkan hasil. Ini bisa dilihat, antara lain, dari penurunan jumlah kasus harian, pasien yang dirawat di layanan kesehatan, ataupun kasus kematian.
Perbandingan jumlah kasus positif dengan yang dites (positive rate) juga menurun sekalipun masih di atas batas ketentuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 5 persen. Tentu ini dibarengi dengan semakin masifnya vaksinasi.
Kondisi itu seiring pertumbuhan ekonomi 7 persen yang berhasil dicapai di tengah gencarnya kritik kepada pemerintah. Bahkan, para epidemiolog pun mempersoalkan istilah (PSBB mikro, PPKM darurat, PPKM level 1, 2, 3, 4) dan ketentuan yang juga berubah-ubah.
Beban berat ini masih ditambah maraknya hoaks dan tuntutan yang bukan-bukan. Indonesia memang sempat dinilai kalangan internasional buruk dalam penanganan pandemi Covid-19 meski kemudian terbukti berhasil.
Sebagai warga negara yang baik, kita perlu menghargai capaian dan kerja keras pemerintah di tengah berbagai pilihan kebijakan yang lebih menyusahkan masyarakat (misalnya lockdown/penguncian wilayah) dan tingginya ketidakpastian.
Kita patut bersyukur dan berterima kasih kepada Presiden Joko Widodo dan jajarannya, kepada seluruh masyarakat Indonesia yang telah menaati protokol kesehatan, dan pengorbanan setiap orang atas kebijakan ini.
Presiden Jokowi juga mengakui, betapa tidak mudah menyeimbangkan pilihan antara kesehatan dan ekonomi. Langkah pemerintah juga mendapat apresiasi dari para ketua umum partai politik koalisi pemerintah. Bahkan, Pak Prabowo, misalnya, mengapresiasi semua kebijakan dengan mengatakan, ”Sudah on the track.”
Namun, seperti diingatkan Presiden, pandemi masih belum selesai dan oleh karena itu kita harus berhati-hati dan tetap menaati protokol kesehatan.
Sekali lagi, apa pun itu, menurut saya, capaian keberhasilan ini patut kita syukuri sebagai langkah yang baik. Semoga pandemi segera berakhir.
Bharoto
Jalan Kelud Timur I, Semarang
Tanggapan BTN
Sehubungan dengan surat pembaca ”Beli Rumah” di harian Kompas (14/7/2021), dengan ini kami sampaikan penjelasan sebagai berikut.
1. Rumah yang dibeli Sdr Cindra Yulli (CY) ada di lokasi agunan kredit atas nama PT Putra Rantau Bersatu (PRB).
2. Sesuai perjanjian kredit antara Bank Tabungan Negara dan PT PRB, agunan kredit bisa diserahkan kepada debitor jika debitor (dalam hal ini PT PRB) melunasi kreditnya.
3. Transaksi jual beli antara Sdr CY dan PT PRB merupakan hubungan hukum kedua belah pihak yang tak terkait BTN. Jadi, masalah sebaiknya diselesaikan dengan PT PRB, antara lain meminta PT PRB membayarkan hasil jual beli Sdr CY dengan PT PRB kepada BTN.
4. BTN hanya dapat memberikan sertifikat kepada developer jika ada uang kompensasi pembayaran dari developer kepada bank.
Ari Kurniaman
Corporate Secretary PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk
Prihatin KPK
Saya, insan berusia lanjut yang independen, prihatin dengan berlarut-larutnya kasus pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan.
Ombudsman dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia merekomendasikan agar Presiden yang memberi keputusan akhir. Ironis memang, Presiden Joko Widodo yang sibuk masih harus menangani persoalan kepegawaian.
Terlepas dari polemik yang ada, seharusnya kita menghargai kinerja mereka yang telah ikut membantu memberantas korupsi di negeri ini.
Sedih saya melihat foto di harian Kompas (17/9/2021) tentang pegawai KPK yang telah berpuluh tahun mengabdi. Mereka seperti kalah perang, menjinjing ransel meninggalkan Gedung Merah Putih.
Ada usulan mereka disalurkan ke BUMN. Kalau solusinya demikian, sebaiknya diterima. Mereka bisa ditempatkan di divisi pengawasan agar BUMN tidak dikorupsi.
Ini profesi mulia juga karena mengabdi kepada negara tidak hanya di KPK. Komisioner KPK terdahulu pernah disalurkan ke Pertamina.
Kita doakan semoga drama pegawai KPK ini berakhir baik untuk semua pihak.
Deny Suhartono
Mantan Karyawan Pertamina, Pondok Ranji, Ciputat Timur, Tangerang Selatan
Nama Ejaan Lama
Di rubrik Bahasa Kompas (Selasa, 14/9/2021), Sdr Kasijanto Sastrodinomo merisaukan kesalahan menyebut nama diri yang ditulis dalam ejaan lama.
Kesalahan muncul pada generasi sekarang, seperti para petugas loket pembayaran listrik, kasir apotek, dan teller bank, yang terkesan ”tak pernah mengenal ejaan lama”, ”tak paham percikan ejaan lain dan cara baca berbeda pula”.
Apakah itu kesalahan mereka mengingat saat Ejaan yang Disempurnakan (EYD) diresmikan pada 1972, mereka masih anak balita atau malah belum lahir? Jangan-jangan dalam pelajaran Bahasa Indonesia juga tidak dijelaskan?
Bukankah seharusnya generasi tua yang lebih bijaksana dan mafhum bahwa kalau mereka menulis nama dalam ejaan lama, kemungkinan besar akan ada salah sebut karena dibaca dengan EYD?
Saya sendiri menulis nama saya dalam EYD walau lahir di zaman ejaan Van Ophuysen. Kebanyakan orang bertahan menulis nama dalam ejaan lama dengan alasan nama adalah hal sakral, sudah dikukuhkan dalam akta kelahiran. Perubahan bisa jadi implikasi.
Pastilah Sdr Kasijanto berharap huruf ”j” dari nama beliau dibaca ”y” seperti dalam EYD. Paham ini melahirkan ciri demokrasi asli Indonesia, yaitu orang boleh memilih nama apa pun dan menulisnya dengan ejaan apa pun. Segala macam nama: asing, tradisional, dipakai oleh anak Indonesia, ditulis dengan ejaan Van Ophuysen, ejaan Republik, EYD, atau ejaan asing.
Salah baca nama Rumah Sakit Chasbullah Abdulmadjid menjadi ”casbullah” oleh pranatacara televisi juga bukan kejutan. Menurut saya, hal itu lebih merupakan kekurangcermatan tim perumus EYD dalam membaca sejarah.
Generasi sekarang cenderung mengugemi bahasa Inggris sehingga patut diduga bahwa ”Chasbullah” akan dibaca seperti ”cha-cha”. Mengapa tidak sekalian membakukannya seperti bahasa Melayu di negara tetangga?
Satu lagi mengenai penulisan nama khas Indonesia. Jangan lupa menulis gelar akademik (dan gelar apa pun) di depan atau di belakang nama, baik untuk urusan resmi maupun sekadar pengurus RT.
Pernah saya ditegur seorang ajudan, ”Bapak salah membaca nama pak wali kota!” Saya merasa tidak salah, lalu dia menjelaskan, ”Nama pak wali kota bukan Fulan, tapi Doktorandes Fulan!”
Demikianlah, tak hanya penulisan ejaan nama, tetapi feodalisme zaman Van Ophuysen juga masih ”menitis”.
Sumantoro Martowijoyo
Bukan Lulusan FIB, Jalan Daksa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
Catatan Redaksi:
Mengenai penulisan nama orang yang masih hidup, mari kita serahkan kepada si penyandang nama itu sendiri.
Namun, ketika seorang tokoh publik wafat, baiklah cara penulisan nama sesuai dengan ejaan yang berlaku semasa.
”Soeharto”, misalnya, ditulis saja ”Suharto” untuk tidak membingungkan pelajar di sekolah dan publik pada umumnya. Bung Karno sudah mencontohkan, ia mengubah ”Soekarno” menjadi ”Sukarno” di masa kekuasaannya ketika Ejaan Suwandi berlaku.
Kita tidak mungkin mencari cara penulisan nama ”Gajah Mada” di zamannya, yang tentu tidak ditulis dengan huruf Yunani. Tulis saja ”Gajah Mada” alih-alih ”Gadjah Mada” yang juga tidak dikenal oleh yang bersangkutan.
Semoga Badan Bahasa tergugah memikirkan usulan cara penulisan nama diri ini.
Manusia Indonesia
Tulisan Alissa Wahid, pengisi kolom Udar Rasa, senantiasa menjadi bahan renungan menyegarkan untuk seorang tua seperti saya.
Tulisan Alissa di Kompas Minggu (5/9/2021) mencuplik buku Mochtar Lubis, Manusia Indonesia, yang ditulis jauh sebelum Alissa lahir.
Sesuai perkembangan zaman, Alissa menulis kajian yang dilatari acuan ilmiah yang lebih terukur dalam menilai individu ataupun keseluruhan bangsa. Ia merujuk studi berjudul ”Nenilai” bekerja sama dengan Bappenas, yang memetakan nilai-nilai kini Indonesia. Nilai pribadi dan nilai budaya bangsa diperbandingkan. Adanya disosiasi di antara kedua hal tersebut dipaparkan dengan baik.
Tulisan saya (Kompas, 1/9/2021) tentang kewajiban kita mendukung Presiden Jokowi menjalani sisa pemerintahan mendapat tanggapan beragam. Mengacu pepatah lama: Berilah kail, jangan ikan, untuk membangkitkan kemampuan seseorang.
Kita patut bangga dengan kinerja Presiden membangun infrastruktur melebihi para pendahulunya. Namun, hasil yang dicapai amat tergantung faktor utamanya, yaitu manusia Indonesia. Di sinilah tulisan Alissa jadi penting untuk introspeksi sebagai bangsa.
Sebagai tambahan bahan renungan, saya mengingatkan bahwa PISA (indikator untuk mengukur potensi siswa) Indonesia 2018 turun skornya dibandingkan pada 2015. Termasuk di dalamnya tingkat literasi masyarakat Indonesia.
Dari sisi watak, endemiknya korupsi tidak hanya berwujud penyelewengan material. Sikap batin pun mencerminkan rasukan jiwa koruptif, termasuk pemutarbalikan fakta, kebohongan publik, ketidakadilan sistem peradilan, dan pengabaian data yang sahih.
Mochtar Pabottingi (Kompas, 18/8/2021) mengemukakan istilah kemerdekaan pengkhianatan. Semua hal negatif ini dapat dengan mudah kita raba-rasakan dalam kehidupan sehari-hari.
Menuju 2024, saya cuplik tulisan Daron Acemoglu dan James A Robinson dalam buku Why Nations Fail. Ada sinergi antara institusi ekonomi dan politik. Institusi politik ekstraktif memusatkan kekuasaan pada segelintir elite. Inilah salah satu akar penyalahgunaan kekuasaan dalam bentuk korupsi.
Tata nilai bangsa yang rusak selama 32 tahun di masa Orde Baru sulit diperbaiki segera. Perlu waktu dan kemauan kuat untuk memperbaikinya.
Sekali lagi, di saat inilah kita memerlukan lebih banyak negarawan dan bukan politikus petualang. Tulisan Alissa patut menjadi pemicu kita bersama untuk meningkatkan kualitas bangsa Indonesia.
Hadisudjono Sastrosatomo
Jalan Pariaman, Pasar Manggis, Jakarta Selatan 12970