Pengendalian pandemi Covid-19 beberapa waktu terakhir menunjukkan bayang-bayang terbitnya tahun yang menggembirakan, "annus mirabilis". Akan tetapi, keberhasilan itu baru separuh jalan.
Oleh
J KRISTIADI (Peneliti Senior CSIS)
·3 menit baca
Alkisah, pada 1666, terjadi peristiwa mengerikan, kota London diserang wabah dan kebakaran besar sehingga puluhan ribu orang meninggal. Tahun 1967, John Dryden, politisi cum penyair, memperingati tragedi itu dengan membuat puisi berjudul Annus Mirabilis, tahun yang menggembirakan, karena ia yakin dan optimistis malapetaka besar dapat diatasi. Selain itu, judul puisi juga sengaja dibuat berlawanan dengan kondisi sebenarnya agar masyarakat tidak gelisah dan putus asa.
Pagebluk Covid-19 telah berjalan hampir dua tahun dan secara bertahap pemerintah mulai dapat mengendalikan berkat dukungan seluruh komponen masyarakat. Keberhasilan tersebut, walaupun masih di tingkat tengah perjalanan, menunjukkan bayang-bayang terbitnya tahun yang menggembirakan, annus mirabilis, samar-samar mulai tampak. Kebijakan PPKM beberapa bulan terakhir berhasil mengontrol virulensi sehingga mulai Rabu (22/9/2021) tidak terdapat lagi kabupaten/kota di Jawa-Bali yang masuk PPKM level 4.
Akan tetapi, keberhasilan itu baru separuh jalan. Diperlukan perjuangan keras agar masyarakat benar-benar mematuhi protokol kesehatan. Kesadaran publik merupakan faktor penting, mengingat banyak kajian medis menyatakan Covid-19 tidak dapat dihilangkan, manusia harus hidup bersahabat dengan penyakit itu.
Kesuksesan setengah jalan ibaratnya pedang bermata dua. Satu mata pisau membuat sektor ekonomi mulai menggeliat, optimisme publik kian meningkat. Bagian tajam lainnya, kegelisahan publik tentang masa depan konsistensi kepemimpinan nasional berkaitan dengan Pemilu 2024.
Masyarakat mendambakan kepemimpinan pasca-Pemilu 2024 mampu mengendalikan pandemi: tegas, konsisten, memiliki kompetensi dan stamina prima, tak membuat kebijakan dilematis serta ketidakpastian jangka panjang, sembari mereformasi birokrasi.
Kegamangan publik memicu beberapa kalangan menggagas perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo. Dalam perspektif pragmatisme politik, ide itu dapat dipahami.
Namun, pengalaman banyak negara yang mengalami krisis, pemimpin yang terpilih lewat jalan pintas dan mengabaikan suara rakyat justru terjerumus dalam kubangan nikmat kuasa tanpa batas. Dapat dipastikan proses akumulasi kekuasaan semakin membengkak dan kaum oportunis yang lapar kekuasaan akan mengepung sang penguasa. Tokoh yang semula dianggap ”juru selamat bangsa” menjadi juru mudi menuju kiamat rakyat.
Pengalaman Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto mesti jadi pelajaran. Soeharto, tokoh sentral yang mampu menumpas pemberontakan G30S/PKI, turun dari jabatan dengan ”tragis”. Tampaknya Jokowi, yang menyadari akibat buruk pragmatisme politik, secara tegas dan konsisten menolak keras gagasan tersebut.
Selain bayang-bayang terbitnya tahun yang menggembirakan, di bulan September perlu juga merenungi ”perang saudara” akibat G30S/PKI. Tragedi kemanusiaan akibat pertarungan keras ideologi membuat masyarakat tersekat-sekat fanatisme buta yang memancarkan energi gelap dengan daya rusak menakjubkan. Jumlah korban meninggal tidak diketahui dengan pasti, tetapi angka yang dianggap valid berkisar 300.000-500.000 jiwa. Tahun 1965 menjadi tahun yang sangat mengerikan, annus horribilis.
Memori kolektif tersebut perlu dikenang, bukan untuk mengingatkan kepedihan kelam masa lalu, melainkan untuk dipetik pelajarannya agar tragedi serupa tidak terjadi di masa depan.
Sebab, menjelang Pilpres 2019, para petualang politik mencoba membangkitkan kebencian terhadap kelompok tertentu dengan memutar film Pengkhianatan G30S/PKI; dibumbui retorika bernuansa kebencian dan menebarkan kegelisahan. Padahal, kekuatan politik Komunisme-Marxisme sudah luluh lantak.
Rezim politik yang pernah berjaya puluhan tahun, sejak akhir tahun 1980-an, kocar-kacir di Eropa Timur, Polandia, Bulgaria, Jerman Timur, Cekoslovakia, dan Romania, bahkan Pakta Warsawa bubar. Tahun 1991, Uni Soviet, negara adikuasa, porak poranda menjadi 14 negara.
Sebagai doktrin, Marxisme-Komunisme sudah apkir, lapuk, dan usai (cutel), tetapi sebagai filsafat pemikiran tetap eksis meskipun kehilangan relevansi dan validitasnya. Beberapa kalangan berpendapat gempuran jitu abad ke-20 yang mengakibatkan ajalnya komunisme internasional dipicu runtuhnya Partai Komunis Indonesia pada September 1965, dilanjutkan kemunduran kekuatan gerakan komunisme Vietnam tahun 1975.
Memorabilia, ingatan terhadap sesuatu, baik yang menyenangkan maupun yang menyedihkan, perlu dikenang agar dapat menuntun dalam meniti kehidupan ke depan yang lebih baik. Perjuangan politik sering diibaratkan sebagai perjuangan ingatan melawan lupa sebagaimana wanti-wanti Milan Kundera, ”The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting.”
Ingatan yang membuat pikiran waras disertai kerja keras, bangsa Indonesia pantas berharap menyongsong terbitnya tahun yang menggembirakan atau annus mirabilis dan annus horribilis segera menyingsing.