Menurut Panglima Angkatan Bersenjata Australia Jenderal Angus Campbell, pengalihan kontrak pembuatan kapal selam berdasarkan kepentingan strategik Australia terkait perubahan lingkungan strategik di Laut China Selatan.
Oleh
AMARULLA OCTAVIAN
·3 menit baca
Australia kembali mengalihkan kontrak pembuatan kapal selamnya senilai 90 miliar dollar AS dari Perancis ke AS dan Inggris dalam bentuk Kesepakatan Aliansi yang baru, AUKUS. Semula kontrak pembuatan 12 kapal selam bertenaga diesel-elektrik menjadi delapan kapal selam bertenaga nuklir ditujukan sebagai regenerasi kapal selam kelas Collins. Rencananya kapal selam pertama akan diterima 2027, dan kemudian dibangun di Adelaide mulai 2040.
Menurut Panglima Angkatan Bersenjata Australia (Australian Defence Force/ADF) Jenderal Angus Campbell, pengalihan kontrak tersebut berdasarkan kepentingan strategik Australia terkait perubahan lingkungan strategik (dinamika di Laut China Selatan terkini) dan kenaikan anggaran militer menyebabkan perubahan rencana pemenuhan kebutuhan militer.
Hingga kini ada lima negara yang resmi punya kapal selam bertenaga nuklir, yakni AS, Inggris, Perancis, Rusia dan China. India punya kapal selam bertenaga nuklir sewa dari Rusia. Brasil sedang membangun kapal selam bertenaga nuklir dengan bantuan teknologi Perancis.
Pengalihan ini merupakan kali kedua. Tahun 2016 Australia juga membatalkan kontrak pembuatan kapal selam dengan Jepang. Padahal Jepang sudah punya kapal selam dengan teknologi mesin baru menggunakan baterai lithium-ion yakni kelas Soryu. Jepang juga menyatakan kekecewaan namun tak bereaksi keras seperti Perancis yang menarik duta besarnya dari AS dan Australia.
Pengalihan kontrak dalam dunia industri pertahanan sebenarnya biasa terjadi berdasarkan dalil-dalil ekonomi atau pertimbangan politik.
Pengalihan kontrak dalam dunia industri pertahanan sebenarnya biasa terjadi berdasarkan dalil-dalil ekonomi atau pertimbangan politik. Namun, pengalihan kontrak dari Perancis tentu saja berbeda karena dipandang melanggar tradisi aliansi yang sudah berumur puluhan tahun sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua
Dari perspektif ilmu pertahanan, membangun dan mempertahankan sebuah aliansi strategik —sebagai sebuah langkah untuk membangun kepercayaan (confidence building measures) dan perimbangan kekuatan (balance of power) bisa jadi jauh lebih mahal dibandingkan sebuah kontrak pembelian peralatan militer.
Pada skala tertentu suatu kontrak pembelian senjata bisa sengaja dibuat agar negara penjual bersedia menjadi aliansi.
Pengalihan kontrak juga bisa berakibat menurunnya tingkat kepercayaan antar pemerintah atas kontrak-kontrak pada sektor ekonomi dan tingkat kepercayaan antar masyarakat kedua negara. Besar kemungkinan pada gilirannya malah AS dan Inggris berebut kontrak kapal selam itu karena Australia belum memilih membangun kapal selam dengan teknologi tenaga nuklir kelas Virginia dari AS atau kelas Astute dari Inggris.
Penurunan tingkat kepercayaan tersebut bisa memicu persoalan konstelasi geopolitik internasional baru bagi negara-negara yang berafiliasi kepada negara-negara yang sedang rebutan kontrak, seperti Jepang dan India yang tergabung ke dalam Quadrilateral Security, atau Kanada dan Selandia Baru yang tergabung ke dalam Five-Eyes Intelligence.
Selandia Baru jelas menilai Australia melanggar kesepakatan untuk mempertahankan perairan yang bebas nuklir. Negara-negara tetangga Australia yang lain di Asia Tenggara atau Pasifik Selatan secara resmi dapat menanyakan kepada Pemerintah Australia rencana pengoperasian kapal selam bertenaga nuklir tersebut nantinya, guna mencegah bahaya radiasi nuklir terhadap ekosistem maritim masing-masing.
Sekarang sudah jelas bahwa Indo-Pasifik berada pada era Hot Peace karena tinggal selangkah lagi bagi Australia untuk melengkapi kapal selamnya dengan senjata nuklir. Analisis intelijen bisa mengarah kepada tekanan AS kepada aliansinya bersiap-siap perang terbuka di Laut China Selatan.
Atau bisa dinilai rebutan kontrak terjadi justru akibat menurunnya kualitas kepemimpinan AS di bawah Joe Biden atas negara-negara aliansinya pasca-mundurnya AS dari Afghanistan. Atau, rebutan kontrak ini hanya sekadar drama satu babak untuk mengalihkan isu utama sesungguhnya bahwa militer Australia akan menggunakan teknologi nuklir.
Amarulla Octavian, Rektor Universitas Pertahanan RI