Bersiap dari Pandemi Menuju Endemi
Para ahli memproyeksikan bahwa nanti akan berangsur menjadi endemi. Maka sejak dini kita siapkan peta jalannya agar nanti bisa kita hadapi endemi dengan lebih mulus tanpa gejolak.
Langkah berikutnya setelah Covid-19 gelombang kedua mereda ialah tetap wajib mengutamakan kesehatan (healthy oriented).
Pelajaran dari pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) layak menjadi batu pijak peta jalan menuju endemi. Bahwa ternyata ”pembatasan kegiatan” yang ketat terukur bisa meredakan amuk korona, dan dengan ini membuka peluang, terutama membangkitkan ekonomi.
Ini tak lepas dari sikap pemerintah yang lebih terbuka menerima saran dan kritik. PPKM jelas merupakan kebijakan yang lebih berorientasi kesehatan. Berbeda ketimbang kebijakan salah kaprah berorientasi ekonomi yang diterapkan pada awal pandemi.
Saat itu pemerintah tidak menutup pintu kedatangan dari luar negeri, nekat mengundang wisatawan asing, membiayai buzzer, respons tak acuh dan lamban otoritas kesehatan, minimnya pelacakan dan pengetesan, serta kurang peduli pada beban berat tenaga kesehatan (nakes)/fasilitas kesehatan (faskes).
Dengan menggeser pendulum ke arah yang mengutamakan kesehatan, meskipun terasa berat, terbukti menunjukkan hasil baik. Ditambah lagi dengan vaksinasi massal dan meluas yang digencarkan, situasi semakin membaik.
Pelajaran dari pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) layak menjadi batu pijak peta jalan menuju endemi.
Ledakan gelombang kedua yang mencapai puncaknya dengan penambahan 56.000 kasus positif harian pada pertengahan Juli lalu makin hari makin mereda. Sekarang relatif stabil di angka 3.000-an, dengan rata-rata seminggu terakhir 3.230 dan bahkan pada 20 September 1.932 kasus. Penurunan itu berlangsung gradual selama sekitar dua bulan sejak 2 Juli.
Dengan demikian, layak untuk membicarakan bagaimana merancang peta jalan penanganan selanjutnya.
Perluas Lautan Kekebalan
Ada dua fase yang bisa kita bahas. Fase pertama, bagaimana menjaga agar tren penurunan ini terus berlanjut sehingga bisa ke level yang aman secara epidemiologis. Misalnya, vaksinasi dosis lengkap sudah menjangkau lebih dari 80 persen penduduk, penambahan kasus baru di bawah 1.000 kasus baru per hari, positivity rate di bawah 5 persen, serta angka kematian di bawah 2-3.
Caranya tentu dengan terus menggenjot vaksinasi massal, menjaga dan meningkatkan jumlah pelacakan, pemeriksaan spesimen, serta menegakkan ketaatan pada protokol kesehatan dan menjaga kebugaran tubuh.
Berbagai kebijakan lain, seperti menurunkan tarif tes antigen dan PCR, memperlancar pembayaran tagihan rumah sakit dan insentif kepada nakes, menjaga kontrol atas pintu masuk kedatangan dari luar negeri, dan sebagainya, sangat membantu pencapaian target di atas.
Jika vaksinasi makin digencarkan, bukan tidak mungkin target kekebalan kelompok bisa dicapai sebelum tahun 2021 berakhir. Menyusul kemudian secara bertahap aktivitas perekonomian bisa semakin dilonggarkan, dengan skala prioritas yang terukur.
Dengan kebijakan yang lebih berorientasi kesehatan, setiap tahap keberhasilannya akan mendorong pada pelonggaran aktivitas ekonomi dan sosial sehingga kondisinya akan semakin membaik dan perekonomian perlahan pulih kembali. Pada tahap ini, pandemi bisa dikatakan terkendali meskipun bukan berarti Covid-19 hilang sama sekali.
Selanjutnya adalah fase kedua, bagaimana kita merancang peta jalan seperti yang diminta Presiden Jokowi tempo hari, hidup berdampingan dengan Covid-19. Aktivitas dan mobilitas di semua sektor kehidupan disesuaikan dan beradaptasi dengan era baru, berdampingan dengan Covid-19 yang diprediksi nanti tidak lagi berupa pandemi, tetapi turun level menjadi endemi.
Saat tercapai kekebalan kelompok dengan angka vaksinasi 80 persen atau lebih, secara psikologis kita merasa lebih aman.
Saat tercapai kekebalan kelompok dengan angka vaksinasi 80 persen atau lebih, secara psikologis kita merasa lebih aman. Vaksinasi yang dilakukan secara masif dan cepat di awal pandemi akan memperkecil peluang virus untuk berevolusi.
Jika diilustrasikan, vaksinasi yang masif akan menghasilkan lautan antibodi imunoglobulin yang akan mengepung daratan virus sehingga virus tidak leluasa berevolusi dan bermutasi.
Dengan demikian, peluang terjadinya mutasi menjadi varian baru yang lebih ganas makin mengecil, meskipun bukan berarti sama sekali tertutup. Varian baru tetap akan muncul karena ini adalah proses evolusi alamiah.
Virus yang semakin terdesak oleh lautan antibodi hasil vaksinasi massif tadi akan terus berusaha untuk bertahan hidup dan berkembang biak. Hanya, ruang geraknya semakin menyempit, dihalangi oleh makin solidnya kekebalan kelompok.
Maka, kurvanya makin melandai, penambahan kasus harian dan angka kematian juga semakin menurun. Pada titik tertentu, pandemi (wabah yang menular secara global dengan kecepatan eksponensial) akan turun level menjadi endemi (jangkauan penularannya regional, dan kecepatan menularnya linier, tidak eksponensial).
Tetap bisa muncul varian mutasi baru, baik yang lebih lunak maupun lebih ganas. Namun, dengan terbentuknya kekebalan kelompok, level ancamannya menjadi lebih kecil.
Jika riset vaksin terus berlanjut, akan muncul generasi baru vaksin yang lebih ampuh, sanggup menghadang munculnya varian baru yang lebih ganas. Dan jika nanti riset obat Covid-19 sudah berhasil menemukan formulasi yang manjur, bisa jadi nanti Covid-19 akan berstatus seperti flu biasa.
Tentu saja hal ini tidak bisa dicapai dalam waktu singkat. Perlu usaha keras dan penegakan protokol kesehatan yang konsisten.
Di sinilah perlunya merancang peta jalan yang akan mengatur pergerakan sosial, politik, ekonomi, dan keagamaan dan lain-lain, menyesuaikan pada situasi wabah yang sudah turun level menjadi endemi tadi. Tentukan parameternya seperti apa, kemudian tetapkan bagaimana aturannya.
Contohnya zona hijau. Diperketat saja apa yang sudah ditentukan BNPB selama ini, yakni zona ini tidak terdampak karena risiko penyebaran virus yang ada, tetapi protokol kesehatan, program 3T, dan program vaksinasi yang sudah berjalan tetap saja dilaksanakan dulu sesuai kondisinya.
Perlu usaha keras dan penegakan protokol kesehatan yang konsisten.
Maka, di wilayah ini, seluruh aktivitas berbasis kerumunan boleh dilakukan dengan kapasitas 100 persen, termasuk belajar mengajar, transportasi, bisnis, dan keagamaan. Bedanya, ketika fase endemi, pengunjung harus sudah vaksinasi dosis lengkap. Pada zona kuning, beda lagi, perlu lebih ketat. Begitu seterusnya.
Merespons varian baru
Meski merencanakan menuju endemi, kita harus tetap waspada terhadap munculnya varian baru. Kini ramai dikabarkan muncul varian baru Mu yang oleh WHO diberi kode B.1.621, dan dikategorikan sebagai variant of interest (VOI) atau yang harus diwaspadai.
Memang klasifikasi mutasinya belum segenting varian Delta yang termasuk variant of concern (VoC). Varian Mu ini pertama kali diidentifikasi muncul di Kolombia, Januari 2021, dan masuk sebagai VOI sejak akhir Agustus ini.
Seperti diketahui, WHO menamakan varian virus dari Wuhan, China, itu dengan urutan abjad Yunani, seperti Alpha (A/α), Beta (B/β), Gamma (Γ/γ), Delta(Δ/δ), dan seterusnya. Mu (M/μ) merupakan abjad ke-13.
Varian Mu disebut memiliki konstelasi mutasi yang menunjukkan sifat potensial untuk lolos dari hadangan sistem kekebalan yang dibentuk dari vaksinasi. Informasi awal, varian Mu mungkin bisa menembus pertahanan sistem kekebalan dengan cara yang mirip varian Beta.
Public Health England (PHE) melaporkan, dari 32 kasus varian Mu yang ditemukan di Inggris, sebagian besar ditemukan pada orang berusia 20 tahunan. Penilaian risiko yang dirilis PHE Agustus lalu menunjukkan, varian Mu setidaknya sama dengan varian Beta yang resisten terhadap kekebalan yang timbul dari vaksinasi.Varian Mu sudah menyebar di 40 negara. Pemerintah perlu mewaspadai pintu masuk negara agar kebobolan varian Delta tak terulang.
Bagaimana cara kita memahami kemunculan berbagai varian mutasi baru ini? Seperti diketahui, virus adalah kumpulan protein yang baru dapat hidup berkembang apabila memiliki inang.
Selain itu, virus terus berevolusi untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya. Mungkin saja evolusi dan mutasi virus korona suatu saat bisa menjadikannya kebal atau resisten terhadap vaksinasi.
Paul Duprex, Direktur Pusat Riset Vaksin Universitas Pittsburgh, seperti dikutip The New York Times (20/1/2021), menyatakan, ”Keindahan, keanggunan, evolusi, dan kehebatan virus adalah setiap kali menginfeksi seseorang, dia menjelajahi ruang sekuensnya.”
Beberapa mutasi membuatnya lebih kuat dan lebih kebal vaksin. Namun, mutasi lain bisa melemahkan aslinya dan memudar.
Virus SARS-CoV-2 terdiri atas protein yang disusun dari beberapa asam amino. Setiap asam amino tersebut terbentuk oleh tiga basa nukleotida yang ditranskripsikan oleh sel tubuh manusia. Mutasi dari satu basa nukleotida virus akan merusak seluruh bagian virus yang menyebabkannya tidak bisa berkembang biak dan mati.
Ini bagaikan perang jangka panjang antara manusia dan virus corona.
Uniknya, mutasi virus korona terjadi bersamaan pada tiga basa nukleotida bersebelahan sehingga ia masih dapat bertahan tanpa mengalami kerusakan fungsional. Mutasi ini juga mampu menumbuhkan kekuatan tambahan bagi virus untuk tidak dikenali antibodi yang sebelumnya didapat dari vaksin atau infeksi sebelumnya.
Ini bagaikan perang jangka panjang antara manusia dan virus korona. Pada awalnya, invasi korona menjebol pertahanan manusia sehingga ratusan juta orang terpapar dan sekian juta orang meninggal.
Manusia meresponsnya dengan menjalankan protokol kesehatan, riset vaksin, isolasi untuk yang terpapar ringan, dan penanganan di rumah sakit untuk yang terpapar sedang atau berat. Setelah vaksinasi mulai menyebar dan pengobatan pasien Covid-19 mulai komprehensif, virus pun mengadakan perlawanan.
Virus bermutasi agar memiliki sifat baru yang lebih menakutkan, bisa lebih cepat menyebar, lebih mematikan, lebih resisten terhadap vaksin dan antibodi dari infeksi sebelumnya. Namun, manusia yang diwakili para ilmuwan pun mengadakan penelitian mengenai vaksin yang mampu melawan mutasi tersebut.
Baca juga : Gelombang Ketiga Pandemi, Ancaman atau Ilusi
Perang jangka panjang ini masih akan berlanjut dan semoga manusialah yang pada akhirnya menang dengan kekebalan kelompok walaupun sudah banyak korban yang berjatuhan dalam peperangan ini.
Setelah muncul sekian jenis vaksin yang lolos uji klinis, dilaksanakan vaksinasi massal. Hasilnya, pada titik tertentu tercapailah kekebalan kelompok yang secara umum bisa membentengi manusia dari invasi virus. Namun, di sini berlaku hukum alam, yaitu evolusi yang terus berjalan.
Virus korona bukanlah sembarang virus. Virus ini pejuang tangguh yang terus berevolusi, bermutasi, mencari celah untuk bisa menembus barikade pertahanan manusia yang dibangun dengan kombinasi vaksinasi, pengobatan, menjaga pola hidup kebugaran dan protokol kesehatan.
Mutasi ”kandungan lokal”
Seberapa hebat kemampuan virus korona untuk terus bermutasi? Jika vaksinasi bisa dilakukan serentak massal pada awal pandemi, peluang virus untuk bermutasi lebih kecil. Masalahnya, korona adalah virus baru.
Riset pengembangan vaksin normalnya memerlukan waktu lama, di atas 5-10 tahun. Namun, ini situasinya darurat karena korona sudah menyebar ke puluhan negara dalam waktu singkat.
Maka, metode riset vaksinnya dimampatkan sehingga hanya dalam kurang dari dua tahun sudah muncul enam vaksin yang mengantongi izin penggunaan darurat dari WHO. Saat vaksinasi dimulai, virusnya sudah jauh menyebar ke seluruh penjuru dunia, berevolusi, dan bermutasi menjadi sekian banyak varian.
Proses ini terus berkembang sehingga bisa jadi suatu saat akan muncul varian baru yang resisten atau kebal terhadap salah satu dari enam vaksin yang sudah mendapat izin WHO ini (Sinovac, Sinopharm, Astra Zeneca, Moderna, Pfizer, Sputnik V), dan vaksin baru yang mungkin nanti muncul.
Akan tetapi, Dr David A Kennedy, pakar resistensi virus Pennsylvania, Amerika Serikat, baru-baru ini menyebutkan dalam PloS Biology, bahwa ada resistensi yang bukan diakibatkan oleh vaksinasi, tetapi disebabkan ada varian yang sejak kelahirannya memang sudah punya kekebalan terhadap vaksin.
Tes di laboratorium menunjukkan, beberapa jenis antibodi kurang efektif untuk melawan varian bandel yang berinang pada cerpelai ini.
Varian ampuh ini berinang pada hewan cerpelai (mink) disebut sebagai varian ”kluster 5”. Tes di laboratorium menunjukkan, beberapa jenis antibodi kurang efektif untuk melawan varian bandel yang berinang pada cerpelai ini.
Virus yang bolak-balik pindah dari hewan ke manusia, kemudian balik ke hewan lagi dan selanjutnya ke manusia lagi, berpeluang mengalami perubahan genetika yang membuatnya menjadi resisten terhadap vaksin tertentu, meskipun belum tentu resisten pada semua jenis vaksin.
Respons terhadap ”varian cerpelai” ini khas karena tidak semua negara punya kultur memelihara hewan sejenis musang yang bulunya jadi bahan pakaian mewah ini. Denmark yang mengetahui risiko ini langsung memusnahkan 4 juta cerpelai pada akhir tahun lalu. Maka, meredalah ancaman ”kluster 5” ini.
Ini memang kewaspadaan terus-menerus dan penuh kecermatan. Di satu sisi manusia terus meriset sehingga secara berkala akan muncul vaksin baru yang lebih efektif untuk virus korona varian baru. Demikian juga riset obat suatu saat akan menghasilkan obat yang mujarab.
Akan tetapi, di sisi sebaliknya, perlawanan dan daya juang korona juga akan terus memunculkan virus varian baru yang resisten terhadap vaksin edisi lama. Katakan muncul varian A, dan dihadang oleh vaksin 1, muncul lagi varian B dan dihadang oleh vaksin 2, demikian seterusnya.
Resultante dari pertarungan panjang ini adalah terciptanya kondisi mutasi virus di banyak negara dengan ”kandungan lokal” masing-masing. Respons orang-orang setempat juga spesifik karena sudah ”saling kenal” dengan perilaku virus.
Dr Michael Merson, ahli kesehatan global dari New York University dan mantan Direktur Program AIDS Global WHO, mengatakan, pandemi akan berangsur menjadi endemi, dan virusnya menjadi endemik dengan karakter ancaman yang lebih lemah. Dalam jangka panjang bisa saja nanti korona menjadi seperti flu biasa.
Para ahli memproyeksikan bahwa pandemi akan berangsur menjadi endemi. Maka, sejak dini kita siapkan peta jalannya agar nanti bisa menghadapi endemi dengan lebih mulus tanpa gejolak. Dengan demikian, roda perekonomian bisa berputar maksimal, aktivitas pendidikan dan aktivitas lainnya pulih kembali, dan kehidupan sosial bisa berlangsung dengan lebih normal.
Djoko Santoso, Guru besar FK Unair; Ketua Majelis Kesehatan MUI Jatim, Penyintas Covid-19