Dalam putusan uji materi penyelenggaraan Tes Wawasan Kebangsaan pegawai KPK, empat hakim konstitusi melakukan ”concurring opinion” atau memberikan alasan yang berbeda. Proses alih status pegawai KPK harus sesuai UU KPK.
Oleh
IBNU SYAMSU HIDAYAT
·5 menit baca
Mahkamah Konstitusi telah memutus permohonan judicial review atau uji materi terkait penyelenggaraan Tes Wawasan Kebangsaan alih status pegawai KPK yang didalilkan atau dinilai melanggar konstitusi. Artinya, MK telah memberikan tafsir konstitusional yang sifatnya finaland binding terkait proses TWK alih status pegawai KPK yang pada awalnya mendapatkan gelombang penolakan besar-besaran oleh masyarakat sipil.
Sebelumnya, Ombudsman RI memberikan koreksi terhadap proses penyelenggaraan TWK alih status pegawai KPK yang dilaksanakan oleh KPK dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Ombudsman RI menemukan penyalahgunaan kewenangan dan malaadministrasi dalam proses alih status pegawai KPK melalui TWK. Dalam kesimpulannya, Ombudsman memerintahkan KPK agar pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos TWK diangkat sebagai aparatur sipil negara.
Hal yang sama juga ditemukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Dalam siaran resminya, Komnas HAM menyatakan bahwa proses alih status pegawai KPK menjadi ASN melalui TWK ini terdapat praktik pelanggaran HAM, meliputi pelanggaran hak atas keadilan dan kepastian hukum, pelanggaran hak atas perempuan, pelanggaran hak untuk tidak didiskriminasi, pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, pelanggaran hak atas pekerjaan, pelanggaran hak atas rasa aman, pelanggaran hak atas informasi, pelanggaran hak atas privasi, pelanggaran hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat, pelanggaran hak atas berpartisipasi dalam pemerintahan, dan pelanggaran hak atas kebebasan berpendapat.
Pada kesimpulannya, Komnas HAM merekomendasikan kepada KPK untuk mengangkat pegawai KPK sebagai ASN dan merekomendasikan kepada presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan dan selaku pejabat pembina kepegawaian tertinggi untuk mengambil alih seluruh proses penyelenggaraan asesmen TWK pegawai KPK.
Pertimbangan empat hakim MK
Dari sembilan hakim MK, empat hakim menyatakan bahwa pegawai KPK secara hukum menjadi ASN pasca berlakunya UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Artinya, seluruh pegawai KPK, baik penyelidik, penyidik, pegawai tetap, maupun tidak tetap harus diangkat sebagai ASN. Selain itu, pegawai KPK menjadi ASN ini juga merupakan suatu hal yang berbeda dengan mekanisme seleksi menjadi ASN.
Misalkan apa yang menjadi pandangan yang mulia Hakim Saldi dalam putusan uji materi UU 19 Tahun 2019, secara hukum, apabila diletakkan dalam konstruksi Pasal 69B dan 69C UU Nomor 19 Tahun 2019, proses peralihan tersebut harus ditunaikan terlebih dahulu. Kemudian setelah penyelidik, penyidik, dan pegawai KPK mendapatkan status pegawai ASN, institusi KPK dapat melakukan berbagai bentuk tes untuk menempatkan mereka dalam struktur organisasi KPK sesuai dengan desain baru KPK. Adapun alasan hakim MK tentang status pegawai KPK langsung menjadi ASN karena para pegawai KPK selama ini telah mengabdi di KPK dan dedikasinya dalam upaya pemberantasan korupsi sudah tidak diragukan.
Dari sembilan hakim MK, empat hakim menyatakan bahwa pegawai KPK secara hukum menjadi ASN pasca berlakunya UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
Hakim Konstitusi Daniel Yusmic memberikan penegasan bahwa frasa ”Tidak merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN” dengan alasan apa pun di luar desain yang telah dituangkan dalam putusan MK Nomor 70/PUU-XVII/2019, makna ”tidak boleh merugikan” memberikan arti bahwa pegawai KPK mempunyai kesempatan yang sama dalam proses peralihan status sesuai ketentuan perundang-undangan, harus mendapatkan sumber daya pegawai KPK yang bukan hanya profesional tetapi harus berintegritas dan bebas dari intervensi politik. Selain itu, Hakim Daniel Yusmic memaknai bahwa ”tidak boleh merugikan” dalam konteks lembaga, berisi tentang arti bahwa tidak boleh merugikan bagi lembaga KPK sendiri.
Alih status pegawai KPK menjadi ASN harus dimaknai seperti seleksi pegawai baru, tetapi merupakan peralihan status kepegawaian dari pegawai KPK menjadi ASN sebagaimana tertuang dalam Pasal 69B dan 69 C. Artinya, KPK seharusnya melakukan peralihan terlebih dahulu, dan setelah hak tersebut dipenuhi baru dapat dilakukan dengan menyelesaikan masalah lainnya, misalkan memetakan pegawai untuk promosi jabatan, dan lain-lain.
Alasan yang berbeda
Pasca putusan MK ini, KPK dalam beberapa kesempatan di media menyatakan bahwa putusan MK soal TWK ini memberikan kepastian hukum dan membuktikan bahwa proses TWK dalam proses alih status pegawai KPK tersebut konstitusional.
Pemaknaan KPK tersebut perlu diuji, apakah pernyataan itu benar atau menyesatkan? Perlu dipahami kembali bagaimana substansi dari putusan MK tersebut. KPK melalui Komisioner KPK maupun Jubir KPK harus mengetahui definisi antara pendapat yang berbeda (disenting opinion) dan alasan yang berbeda (concurring opinion).
KPK melalui Komisioner KPK maupun Jubir KPK harus mengetahui definisi antara pendapat yang berbeda (disenting opinion) dan alasan yang berbeda (concurring opinion).
Jika dipahami secara detail, MK dalam putusannya berusaha untuk tetap sesuai dengan putusan sebelumnya, yakni putusan Nomor 70/PUU-XVII/2019, yang isinya menyatakan bahwa alih status pegawai KPK tidak boleh merugikan seluruh pegawai KPK.
Mahkamah Konstitusi dalam putusan terbarunya, melalui empat hakim konstitusi melakukan concurring opinion. Concurring opinion ialah apabila pendapat seorang hakim mengikuti/sependapat dengan pendapat hakim yang mayoritas tentang amar putusan. Misalnya, dalam TWK ini, empat hakim MK setuju dengan TWK, tetapi empat hakim ini menyatakan berbeda dalam pertimbangan hukum (legal reasoning)-nya. Artinya, pendapat empat hakim MK tersebut merupakan satu kesatuan dengan lima hakim MK yang tidak melakukan concurring opinion. Oleh karena itu, alasan-alasan hukum atau legal reasoning empat hakim yang melakukan concurring opinion merupakan satu kesatuan dengan pertimbangan hukum hakim MK lainnya.
Oleh karena itu, narasi TWK konstitusional yang dibangun oleh KPK tidak bisa dipisahkan dengan legal reasoning empat hakim yang melakukan concurring opinion, yang secara substansi menjelaskan bahwa dalam proses alih status pegawai KPK harus sesuai dengan Pasal 69 B dan Pasal 69 C UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Pasal tersebut menyebutkan bahwa proses peralihan pegawai KPK harus dilakukan terlebih dahulu, serta proses tersebut tidak boleh merugikan hak pegawai untuk diangkat sebagai ASN dengan alasan apa pun di luar desain yang telah diatur dalam ketentuan baru UU KPK hasil revisi.
Ibnu Syamsu Hidayat, Pengacara di Themis Indonesia Law Firm