Afghanistan, Ujian Penting bagi China di Mata Dunia
Bagaimana China dengan kekuatannya kelak tidak tergoda menjadi sebuah kekuatan hegemoni yang agresif seperti AS.
Setelah Amerika Serikat keluar dari Afghanistan, masalah bukan lagi soal siapa yang akan mengisi kekosongan. China sangat berminat masuk dan paling berkepentingan untuk memajukan Afghanistan. Bisakah China mewujudkan itu? Bagaimana Afghanistan bersimbiosis mutualisme dengan kepentingan China tersebut?
China ingin menjadikan Afghanistan sebagai etalase pameran tentang bagaimana ”Negara Tirai Bambu” ”menata” negara lain. China sekaligus ingin menunjukkan keteladanan tentang kebijakan luar negeri, lewat Afghanistan. China ingin menunjukkan bagaimana negara itu memperlakukan tetangga-tetangga dengan baik, seperti sering dijanjikan di panggung-panggung internasonal.
Dikutip Time, 30 Agustus, Samina Yasmeen, Direktur Centre for Muslim States and Societies di University of Western Australia, mengatakan, China ingin menunjukkan kepada Barat, bahwa model yang ditawarkan lebih baik dari model Barat, seandainya China bisa memajukan Afghanistan. Will China Fare Any Better Than the US in Afghanistan? (Time).
Isu Afghanistan juga sekaligus telah dijadikan oleh China sebagai contoh nyata tentang keburukan perlakuan AS terhadap negara lain. ”Penarikan pasukan asing seharusnya mendorong refleksi dan koreksi,” kata Utusan Khusus China di Dewan Keamanan PBB (New York) Geng Shuang, seperti diberitakan harian China Daily, 31 Agustus 2021.
Hal serupa disampaikan Misi China di Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Geneva Jiang Duan, 15 September 2021. ”AS dan sekutunya telah melakukan intervensi selama 20 tahun di Afghanistan, yang merusak secara parah kedaulatan dan keutuhan teritotial, merusak pembangunan sosial dan ekonomi, serta melanggar hak asasi warga Afghanistan,” kata Jiang. ”…Negara-negara yang dipertanyakan harus dimintai tanggung jawab atas pelakukan selama 20 tahun di Afghanistan..,” lanjut Jiang.
Dengan menyudutkan AS dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) soal Afghanistan, logikanya China pasti ingin menghindari kegagalan serupa. Bahkan, jika bisa, China harus berbuat jauh lebih baik.
Pandangan kaum realis
Dari pandangan kubu realisme struktural (structural realism) dalam teori hubungan internasional, pernyataan-pernyataan dan niat China tentang Afghanistan itu tidak lepas dari hakikat persaingan dengan AS dalam konteks geopolitik. Persaingan ini termasuk tentang adu nilai-nilai dan cara berelasi dengan negara-negara.
Persaingan dalam aneka bentuknya adalah hakikat dari keberadaan negara-negara kuat seiring dengan berakhirnya kekuatan unipolar, yang dinikmati AS sejak awal 1990-an. Dan, tentu China berkesempatan membalas segala tuduhan dan aksi-aksi AS tentang China terkait dengan Provinsi Xinjiang, Hong Kong, Taiwan, dan lainnya.
Persaingan meningkat sejak China menguat secara ekonomi. China juga ingin menunjukan keunggulan nilai-nilai dengan karakteristik sosialnya. Walau hal itu, dalam istilah salah satu teknokrat kebijakan luar negeri China, Fu Ying, bukan dalam konteks mengekspor nilai dan ideologi. Hanya saja, dunia, kata Fu Ying yang juga mantan Wakil Menteri Luar Negeri China, perlu memiliki nilai-nilai alternatif karena nilai-nilai yang berlaku tidak mengakomodasi kepentingan semua pihak. Beijing’s plans for a globalization that is more open, inclusive, and beneficial for all - The Security Times (the-security-times.com).
Pelebaran wilayah kekuasaan
Alasan lain di balik keinginan China akan sukses di Afghanistan adalah memuluskan program One Belt One Road (OBOR), pengembangan ekonomi Jalur Sutra, salah satunya lewat pembangunan infrastruktur. ”Sebuah kekuatan global ingin melebarkan pengaruh lebih jauh hingga di luar wilayahnya,” kata Dr John Mearsheimer dari University of Chicago, AS. ThinkFest 2021: Why a Cold War between China and the United States is Inevitable - Youtube.
Ada insentif bagi kekuatan besar untuk tampil lebih elegan, bahkan mendorong musuh atau pesaing keluar dari wilayahnya. China tidak terkecuali dari fenomena itu, kata Mearsheimer.
Afghanistan, seperti juga Pakistan, sama-sama menjadi jalur cantik bagi China untuk mengakses Teluk, sumber utama impor migas. Dengan demikian, jalur menuju Teluk juga harus diamankan. ”Perebutan” Afghanistan merupakan perpanjangan atau kelanjutan dari program penguatan posisi China di Asia Timur dan Laut China Selatan.
Akankah berhasil?
Bisakah China mewujudkan misi memajukan Afghanistan dengan segala kesempatan yang dimiliknya? Qua misi, seperti dituliskan pakar dari Peking University, Profesor Zha Daojiong, dorongan geopolitik memberi dasar kuat bagi China untuk berjaya di Afghanistan. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, dia tuliskan lagi, tidak ada jaminan bahwa itu akan mulus. Ada kesempatan sekaligus ketidakpastian. Opportunity in Afghanistan? - Zha Daojiong - China US Focus.
Meski demikian, ambisi China untuk mewujudkan itu sebagai program sukses sangat terbuka. China misalnya berkepentingan agar Afghanistan memiliki pemerintahan kuat. Keharmonisan di antara suku-suku dan kelompok-kelompok di Afghanistan, sebagai syarat pembangunan, telah diserukan oleh Menlu Wang Yi. Mengutip ungkapan lama China, ”Jika keluarga hidup harmoni, semua urusan akan berkembang baik”. Wang berkata adalah warga Afghanistan yang menentukan takdirnya. Maka dari itu adalah sebuah keharusan untuk bersatu.
Dan, China juga bukan negara yang tidak memahami negara-negara lain. Dengan Taliban dan Afghanistan, China memiliki pendekatan yang sudah berlangsung lama.
Namun, untuk itu, langkah pertama adalah pemberian dukungan kepada Taliban, yang diasumsikan paling kuat dan bisa mengarahkan persatuan. Hal itu juga bersambut baik dari pihak Taliban. Mawlawi Abdul Salam Hanafi, Wakil Ketua Kantor Politik Taliban di Qatar, menyatakan, China adalah sahabat. Dia katakan juga, Taliban tidak akan pernah menggunakan wilayahnya untuk mengganggu kepentingan China di Afghanistan. ”Program pembangunan OBOR, yang diprakarsai China, kondusif untuk kemakmuran Afghanistan dan kawasan,” katanya seperti dikutip China Daily, 3 September 2021.
Tentu tidak sulit bagi China untuk mendorong investasi yang akan mendorong kemajuan Afghanistan. Juga relatif tidak sulit bagi China mewujudkan impiannya lewat kolaborasi dengan unsur-unsur di Afghanistan dan negara-negara tetangga Afghanistan. Kebetulan semua elemen ini tidak memiliki kedekatan mendalam dengan AS. Semua elemen itu, malah bisa dikatakan, tidak mendukung keberadaan AS di kawasan, khususnya Iran dan China itu sendiri.
China juga memiliki kerangka untuk memuluskan program di Afghanistan. Negara-negara tetangga Afghanistan adalah anggota Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO), India, Kazakhstan, China, Kirgistan, Pakistan, Rusia, Tajikistan, dan Uzbekistan. Pada pertemuan virtual SCO, 17 September, Presiden Xi Jinping mengatakan, SCO memerlukan peningkatan koordinasi, memanfaatkan kerangka SCO-Afghanistan Contact Group, dan memfasilitasi transisi mulus di Afghanistan.
Mendukung itu, Presiden Xi Jinping telah sepakat mendiskusikan masa depan Afghanistan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Ini adalah dua negara yang dianggap sebagai kekuatan besar dan siap menandingi AS.
AS yang berpihak kepada Israel membuat Arab dan Asia Tengah gemas. China relatif tidak memiliki beban ini. China dipersepsikan relatif bisa bertindak tegas terhadap Israel, dalam konteks Palestina. Ini dituliskan Mercy A Kuo, 23 Agustus 2021, di situs The Diplomat, sebagai hasil percakapannya dengan Dr Gedaliah Afterman, Kepala Asia Policy Program di Abba Eban Institute for International Diplomacy, Interdisciplinary Center Herzliya. The China Challenge in Israel-US Relations - The Diplomat.
China memang memiliki eksternalitas yang baik soal Afghanistan. Bahkan, Biden mengatakan, ”Tentu China sangat paham tentang penanganan Afganistan.”
Presiden Afghanistan Mohammad Ashraf Ghani berjanji akan mencegah ketidakstabilan di negaranya. ”Menjamin keharmonisan adalah prioritas saya,” kata Ghani. ”Afghanistan telah menderita akibat perang yang dipicu asing dan menjamin Anda soal pencegahan penderitaan lain dan ini adalah tanggung jawab sejarah untuk saya,” katanya seperti dikutip Xinhua, 14 Agustus 2021.
Para pejabat China juga sudah mencanangkan pendekatan ekonomi, sosial, politik ketimbang militer di Afghanistan.
Gangguan dan godaan
Namun, tidak serta-merta program China tentang Afghanistan berlangsung mulus. Tetap ada potensi pembendungan China oleh AS. Dan, pada akhirnya adalah soal struktur kekuatan negara adidaya, dalam hal ini China. Bagaimana China dengan kekuatannya kelak tidak tergoda menjadi sebuah kekuatan hegemoni yang agresif seperti AS. China telah memperlihatkan indikasi sikap agresif di Laut China Timur, demikian juga soal isu Taiwan dan Laut China Selatan.
Tetap ada risiko, kehadiran China bisa memperburuk korupsi, melemahkan pemerintahan di Afghanistan. Dan, dalam kasus Afghanistan tidak berkembang serta susah diatur, ada godaan bagi kekuatan besar ini untuk lebih agresif dan memaksa. Dr Sean Roberts, pakar hubungan internasional dari George Washington University, melihat China bukan merupakan kekuatan agresif dalam perspektif sejarah. Meski demikian, kehadiran China di Afghanistan menarik untuk diamati.
”Aksi-aksinya di Afghanistan akan berbicara kepada kita tentang peran masa depan China secara global,” kata Roberts. Apakah China benar-benar sabar dengan pendekatan nilai-nilai, termasuk nilai konfusius yang kerap dikumandangkan. Atau China akan sama saja dengan AS, sebuah kekuatan pemaksa dan agresif, seperti terlihat di Irak dan banyak negara lainnya.”