Selain langkah tegas diperlukan guna melindungi warga dan menyukseskan PON, pendekatan kultural perlu dilakukan untuk memenangkan hati warga Papua sebagai bagian dari Republik.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Rentetan kekerasan di Papua sepanjang 2021 memprihatinkan. Pada 2-15 Oktober 2021, Pekan Olahraga Nasional digelar di sana, dan Papua akan jadi perhatian.
PON dibayangi dengan meningkatnya kekerasan di Papua, yang diduga dilakukan kelompok kriminal bersenjata (KKB). Senin (13/9/2021), KKB membakar puskesmas, pasar, sekolah, dan kantor Bank Papua di Distrik Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang. Seorang tenaga kesehatan, Gabriella Meilani, meninggal dan empat orang lainnya luka-luka.
Pekan sebelumnya, empat anggota TNI gugur saat KKB menyerang Posramil Kisor di Distrik Aifat Selatan, Kabupaten Maybrat, Papua Barat. Awal April lalu, KKB menembak mati dua guru dan membakar sekolah di Kabupaten Puncak, Papua. Kepala Badan Intelijen Negara Daerah Papua Brigadir Jenderal (TNI) I Gusti Putu Danny Nugraha juga gugur ditembak teroris KKB.
Situasi itu memprihatinkan. Dalam situasi apa pun, perang atau konflik bersenjata, tenaga medis adalah sosok yang harus dilindungi.
Pembunuhan tenaga medis itu memancing reaksi keras. Ketua MPR Bambang Soesatyo mengatakan, saatnya negara melakukan tindakan tegas. Teror yang dilancarkan KKB tak hanya meresahkan warga, tetapi juga merenggut banyak nyawa. ”Sikat habis. Jangan ragu bertindak, utamakan keselamatan rakyat. Jangan lagi ada korban dari rakyat yang tidak bersalah. Negara harus hadir dengan kekuatan penuh,” kata mantan Ketua DPR itu.
Wakil Ketua Eksternal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Amiruddin Al Rahab melihat rentetan peristiwa yang terjadi di Papua dan Papua Barat bukan gangguan keamanan biasa. ”Kondisi ini merupakan krisis kenegaraan,” katanya.
Langkah tegas, tetapi tetap terukur perlu diambil. Negara harus menjamin dan melindungi warga negara. Namun, kearifan dan ketenangan berpikir perlu jadi acuan. Kenapa spiral kekerasan terus berulang? Akankah hal itu ikut dipengaruhi berbagai distorsi informasi di media sosial? Padahal, sejumlah regulasi ”kekhususan” dan anggaran mengalir ke Papua.
Rentetan peristiwa yang terjadi di Papua dan Papua Barat bukan gangguan keamanan biasa.
Kajian diperlukan. Pandangan Neles Tebay, pengajar Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Fajar Timur Abepura, perlu direnungkan, ”Tanpa mengenali harapan mereka, upaya pemerintah menata Papua dengan hati, meski dilakukan melalui program besar, belum tentu menjawab kebutuhan warga lokal.”
Presiden Joko Widodo punya modal sosial kuat untuk mewujudkan Papua damai. Pada Pemilu 2019, ia mendapatkan kepercayaan dari rakyat Papua. Dari 3.333.065 suara sah di Papua, pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin meraih 3.021.713 suara, atau lebih dari 90,6 persen.
Presiden Jokowi bisa memimpin dialog, sebab warga Papua menaruh kepercayaan kepadanya. Seperti yang dipahaminya, demokrasi adalah mendengarkan suara rakyat dan melaksanakannya. Selain langkah tegas diperlukan guna melindungi warga dan menyukseskan PON, pendekatan kultural perlu dilakukan untuk memenangkan hati warga Papua sebagai bagian dari Republik.