Dalam situasi saat ini, ketika banyak negara mulai bangkit dari pandemi Covid-19, kita perlu menyadari bahwa ancaman pemanasan bumi dan perubahan iklim masih terus berlanjut.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Berbagai upaya ternyata belum cukup untuk menghambat laju pemanasan global. Bumi kian panas, mendekati titik kritis 1,5 derajat celsius di atas era pra-industri.
Perubahan bumi berlangsung begitu pesat seiring Revolusi Industri abad ke-18. Perkembangan teknologi membuat industri bergerak cepat sehingga di satu sisi bisa memenuhi kebutuhan populasi dunia yang meningkat. Namun, di sisi lain, Revolusi Industri membuat manusia mengekstraksi bahan bakar fosil secara masif, menghasilkan emisi karbon yang terjebak di atmosfer dan merusak keseimbangan.
Makin banyak emisi karbon, makin banyak sinar matahari yang tak bisa dipantulkan ke angkasa. Akibatnya, bumi makin panas, suhu meningkat, dan akhirnya memicu perubahan iklim dengan segala dampaknya.
Saat ini suhu bumi meningkat 1,06-1,26 derajat celsius dari rata-rata suhu sepanjang 1850-1900, era sebelum Revolusi Industri. Tanpa upaya intervensi yang berarti, kenaikan suhu diperkirakan melewati titik kritis dalam 5 tahun ke depan.
Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) pada 9 Agustus 2021 di Geneva melaporkan, perubahan iklim telah memicu intensitas dan frekuensi gelombang panas, musim dingin ekstrem, hujan badai, banjir bandang, hingga mencairnya es yang menaikkan tinggi permukaan laut, siap menenggelamkan pulau-pulau kecil dan dataran rendah. Perubahan iklim juga merusak pola tanam sehingga bisa mengancam cadangan pangan dunia. Oleh karena itu, pemanasan bumi harus ditahan agar tidak melewati titik kritis.
Ketergantungan manusia terhadap sumber energi fosil yang tidak terbarukan, terutama minyak bumi dan batubara, menjadi pokok persoalan. Karena itu, dalam upaya mengatasi dampak buruk—sejak KTT Stockholm 1972, KTT Bumi Rio de Janeiro 1992, Protokol Kyoto 1997, hingga Kesepakatan Paris 2015—inisiatif pembangunan rendah karbon jadi solusi.
Penurunan emisi karbon ditargetkan mencapai 40 persen tahun 2030. Selain mengakhiri penggunaan fosil dan berganti energi baru terbarukan sebagai energi bersih, pengurangan emisi karbon juga bisa dilakukan dengan menghapus kendaraan sumber polutan, membangun pertanian berkelanjutan, serta menghambat laju pembalakan hutan.
Ketergantungan manusia terhadap sumber energi fosil yang tidak terbarukan, terutama minyak bumi dan batubara, menjadi pokok persoalan.
Namun, tidak semua negara berkembang mampu melakukan semua upaya itu tanpa uluran tangan negara maju. Indonesia pun tidak akan mudah mencapai target penurunan emisi karbon 29 persen tahun 2030. Oleh karena itu, dalam Konferensi Para Pihak (COP) 26, yang akan berlangsung di Glasgow, Skotlandia, 31 Oktober-12 November 2021, mendengarkan suara negara berkembang dan menindaklanjuti kebutuhannya menjadi kunci.
Dalam situasi saat ini, ketika banyak negara mulai bangkit dari pandemi Covid-19, kita perlu menyadari bahwa ancaman pemanasan bumi dan perubahan iklim masih terus berlanjut. Dengan demikian, semua bangsa harus mau bergerak bersama demi menuju bumi yang lebih baik.