Runyam Permasalahan Narkoba di Balik Sesak Penjara
Pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika seharusnya direhabilitasi. Namun jumlah pusat rehabilitasi terbatas, rehabilitasi juga menghadapi dualisme program terapi. Jika ini tidak dibenahi, penjara akan makin penuh.
Oleh
MUHAMMAD HATTA
·4 menit baca
“It is said that no one truly knows a nation until one has been inside its jails. A nation should not be judged by how it treats its highest citizens, but its lowest ones.”
Sedang terjadi krisis kapasitas di penjara kita. Per Agustus 2021, lembaga pemasyarakatan (lapas)/rumah tahanan (rutan) yang total berkapasitas 135.561 disesaki 211.215 Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP). Artinya terjadi kelebihan kapasitas 64 persen secara nasional. Lebih dari setengah (55 persen) WBP adalah kasus terkait penyalahgunaan narkotika (SDP Ditjenpas, 2021). Penuh sesaknya penjara dapat berakibat menurunnya kualitas layanan kesehatan, peningkatan penularan penyakit infeksius seperti Tuberkulosis serta gagal menjaga keselamatan narapidana(Penal Reform International, 2019).
Ironi tersebut makin terlihat jelas pada tragedi kebakaran Lapas Kelas 1 Tangerang beberapa waktu lalu yang menewaskan 46 orang, hanya beberapa bulan setelah pemerintah menyatakan niat akan memindahkan ribuan WBP kasus narkotika ke pusat-pusat rehabilitasi (CNN, 28/7/2021).
Padahal mengutip laporan Badan Narkotika Nasional (BNN) tiga tahun terakhir, hanya 18.236 (2018), 21.345 (2019), dan 18.253 (2020) pecandu yang telah direhabilitasi pada fasilitas milik BNN, Kementerian Kesehatan (Kemkes) dan Kementerian Sosial (Kemsos). Ini berarti masih harus dilakukan pembenahan-pembenahan terlebih sebelum melaksanakan niat baik Ditjen Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Hukum dan HAM tersebut. Pembenahan dapat berupa pengurangan arus masuk ke dalam penjara (di “hulu”) maupun pengurangan jumlah WBP yang tengah berada di dalam penjara (di "hilir”).
Undang Undang (UU) Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 Pasal 54 menyebutkan pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi di tempat-tempat yang ditunjuk oleh negara, di mana Kemkes bersama Kemsos merupakan penanggung jawab utama, masing-masing di bidang rehabilitasi medis dan sosial. Pasal tersebut menyiratkan negara kita condong mengambil pendekatan rehabilitative ketimbang segi keamanan (security approach).
Namun kenyataan di lapangan masih "jauh panggang dari api” sebab aparat penegak hukum masih menggunakan Pasal 111 dan 112 UU yang sama dalam menjerat pecandu. Proses di “hulu” permasalahan yang nyaris tak membedakan status penyalahguna, bandar, dan pengedar narkotika tersebut mengakibatkan penjara semakin sesak. Riset ICJR pada Pengadilan Negeri Surabaya tahun 2016 mengungkap 61 persen kasus terkait narkotika diarahkan ke dalam penjara akibat ketidakjelasan status bandar dan pengguna (Sinar Keadilan, 28/4/2017).
Pentingnya tim asesmen terpadu
Idealnya tiap tersangka kasus narkotika menjalani proses asesmen oleh Tim Asesmen Terpadu yang berkedudukan di BNN propinsi dan kabupaten/kota (BNNK). Merujuk Peraturan Bersama Tujuh Institusi (Mahkamah Agung, Kemenhum HAM, Kemenkes, Kemsos, Kejaksaan Agung, Polri, dan BNN) Nomor 465 Tahun 2014, Tim Asesmen Terpadu berwenang memberi rekomendasi pemenjaraan atau rehabilitasi.
Namun disebabkan keterbatasan anggaran, tim yang beranggotakan unsur kedokteran (dokter dan psikolog) serta unsur hukum (Polri dan Kejaksaan) belum berfungsi maksimal. Pada 2018 misalnya, hanya terlaksana 2.750 Tim Asesmen Terpadu di 112 lokasi bagi 44.675 tersangka yang dibekuk Polri dan BNN. Jomplangnya jumlah asesmen tersebut ditengarai menambah deras arus WBP ke dalam penjara kita (ICJR, 2019).
Di “hilir” selain masih terbatasnya jumlah pusat rehabilitasi narkotika di Indonesia, rehabilitasi pecandu narkotika menghadapi dualisme program terapi medis dan sosial, alih alih program yang bersifat integral selain komprehensif. Pusat rehabilitasi di bawah naungan Kemkes hanya memberi layanan rehabilitasi medis, demikian pula layanan rehabilitasi sosial milik Kemsos.
Dikotomi tersebut disebabkan salah satu pasal UU Narkotika yang memberi wewenang pada dua kementerian tersebut. Padahal hanya menggunakan detoksifikasi serta terapi medis lainnya semata tak mampu mengatasi problem psikologis, sosial, dan perilaku pecandu (Kleber,1996). Standarisasi nasional rehabilitasi narkotika yang diinisiasi Kemenko PMK (SNI 8807:2019) pun tak mampu mengatasi problem di atas sebab problem tersebut diatur perundang-undangan yang lebih tinggi.
Ada dua solusi yang dapat ditawarkan pada kondisi di atas. Pertama, pembahasan Prolegnas Revisi UU Narkotika oleh DPR harus dipercepat, sebab mayoritas masalah berakar dari aturan tersebut. Kedua, dasar aturan yang mengatur Tim Asesmen Terpadu idealnya ditingkatkan ke aras peraturan pemerintah, mengingat tim tersebut melibatkan banyak institusi hukum yang berbeda-beda. Penganggaran operasional tim asesmen terpadu pun mestinya akan menjadi lebih baik.
Runyam permasalahan narkotika di balik krisis kapasitas penjara harus diurai dan ditangani secara multidimensi sebab menyiratkan hadir tidaknya negara dalam melayani rakyatnya. Bukan tidak mungkin tragedi Lapas Kelas 1 Tangerang akan berulang, dan kita pun dicap sebagai negara gagal (failure state) berdasar kriteria Nelson Mandela di atas.
Muhammad Hatta, Dokter pada Balai Rehabilitasi BNN Baddoka Makassar