Pendidikan tidak hanya bertujuan agar siswa tumbuh secara akademis, tetapi juga tumbuh secara emosional, sosial, dan fisik. Ini membutuhkan pendidikan menyeluruh yang tidak dapat dievaluasi dengan tes standar.
Oleh
R MUSTOFA
·5 menit baca
Kompas
Supriyanto
Hingga detik ini percakapan pendidik dan sekolah masih didominasi percakapan tentang tes dan nilai. Pembelajaran yang berorientasi pada tes dan nilai masih mendominasi dalam model pendidikan kita apa pun kurikulumnya, sekolah masih terkooptasi oleh standar tes.
Tidak banyak guru yang secara kreatif mendorong siswa untuk aktif belajar selain hanya dengan memberikan reward atau nilai. Pun demikian juga tak banyak guru yang mampu menciptakan pembelajaran yang cerdas dan menarik, kecuali melakukan tes standar.
Padahal, mengingat sifat proses belajar mengajar yang sangat relasional, para guru terbaik tahu bahwa penilaian bukanlah spreadsheet dan reward tidaklah otentik. Proses belajar itu adalah percakapan.
Mereka juga tahu bahwa tidak ada pengganti untuk apa yang guru amati saat siswa mereka aktif belajar dan inilah mengapa penilaian terbaik meminta siswa untuk benar-benar melakukan sesuatu yang ada dalam konteks dan untuk suatu tujuan. Kemudian motivasi yang baik adalah menggugah kesadaran.
Tidak seperti tes standar, yang tidak dapat memberikan apa pun selain potret siswa yang tidak lengkap dalam satu hari. Namun, kumpulan penilaian kinerja yang dikumpulkan dalam portofolio pembelajaran dapat menginformasikan proses belajar mengajar secara tepat waktu, sekaligus meyakinkan publik bahwa siswa sedang menerima pendidikan berkualitas tinggi. Adapun stimulus untuk menggugah keasadaran adalah cara yang paling jujur dan jangka panjang.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Lembar soal dan lembar jawaban ujian tengah semester (UTS) saat dikerjakan Ramli, siswa kelas VI SD Negeri Sempur Kidul yang tinggal di RW 007, Kelurahan Sempur, Kota Bogor, Jawa Barat, dari teras rumahnya, Senin (21/9/2020).
Jebakan yang mematikan
Mungkin banyak yang meyakini bahwa reward adalah cara yang baik untuk memotivasi dan mengepresiasi siswa. Padahal, ini adalah jebakan yang ’mematikan’. Reward adalah ’tipu daya’ pada diri sendiri karena ia hanya menunda untuk menjadi malas. Siswa berubah tidak sedang menjadi dirinya sendiri bukanlah dari kesadaran untuk berubah dan melakukan suatu hal, itu hanya ransangan sementara yang terbatas oleh ruang dan waktu.
Reward menciptakan subyek yang rentan, yang mendorong dengan imbalan dan menciptakan jenis identitas institusional disfungsional yang mendambakan kredensial daripada pembelajaran otentik. Oleh karena itu, reward harus ditempatkan pada konteks dan momen yang tepat, bukan sebagai rangsangan.
Guru harus mencari metode yang kreatif untuk memotivasi siswa dengan menggugah kesadarannya. Masalah kita hari ini adalah tentang kesadaran (awareness), begitu banyak pelanggaran di ruang publik karena rendahnya kesadaran kita mulai dari level rendah hingga di level tinggi.
Padahal, jika kita melihat negara-negara maju di dunia, kesadaran adalah hal yang paling esensial dalam kehidupan sehari-hari. Kesadaran itu otentik. Oleh karena itu, pendidikan harus menjadi solusi terhadap permasalahan sosial masyarakat, bukan malah sebaliknya konformitas dan tidak otentik.
Mantra tes dan penilaian
Tes dan penilaian telah menjadi mantra untuk membuat standar dan justifikasi. Mengapa ini bermasalah? Karena penilaian mengajarkan kita untuk melihat nilai individu sebagai permainan zero sum, atau apa yang disebut Kohn (1992) ’pencapaian tujuan yang saling eksklusif’, di mana pasti ada ’pemenang dan pecundang’. Peserta didik tidak pernah benar-benar diberikan rasa akhir validasi. Ini adalah situasi di mana kita dituntun untuk percaya bahwa satu-satunya hasil yang mungkin adalah satu di mana ’keberhasilan saya membutuhkan kegagalan Anda’.
Tes dan penilaian telah menjadi mantra untuk membuat standar dan justifikasi.
Maka, tidak terlalu sulit untuk melihat bagaimana bentuk ekstrem dari ’persaingan struktural’ dapat menyebabkan hubungan yang sangat merusak yang terdistorsi oleh ego yang mendominasi, tetapi rapuh. Ketika seorang siswa menjadi terlalu terikat pada nilai, dia berisiko menyerupai narsisme yang memiliki ’perasaan diri yang terdistorsi yang mudah kempes dan sangat membutuhkan inflasi dari sumber luar’ (Hotchkiss, 2005).
Alih-alih mendorong rasa harga diri yang mendalam dan abadi, sistem penilaian mengharuskan subyek untuk terus membenarkan kelayakan mereka untuk mengamankan penerimaan sendiri melihat obsesi kinerja sekolah sebagai penyebab ’orientasi ego’ pada anak-anak yang pada dasarnya kontraproduktif.
Lalu apa itu narsisme? Sifat yang kompleks, tetapi pada dasarnya adalah orientasi kepribadian yang didominasi oleh fiksasi pada bentuk-bentuk cinta diri yang berbahaya yang mendahului penciptaan keterikatan yang bermakna dan aman dengan orang lain. Narsisme adalah kelemahan yang lahir dari keterikatan destruktif untuk mengisolasi bentuk-bentuk melukai diri sendiri yang menempatkan lapisan tipis kebesaran di atas dunia batin ketakutan dan penderitaan.
Tragedi narsis adalah bahwa terlepas dari semua upayanya untuk menunjukkan penguasaannya atas dunia, dia sangat membutuhkan validasi yang menghibur sehingga dia menganggap dirinya yang rapuh dan rapuh sebagai obyek cinta yang tidak dapat menolaknya.
Ini baru membahas dari sisi ’pemenang’ dalam penilaian, belum dari sisi ’pecundang’. Anda bisa bayangkan sendiri?
Mari dengan jujur kita tanyakan kepada orangtua mana pun apa kekhawatiran dan tujuan jangka panjang mereka untuk anak-anak mereka.
Mari dengan jujur kita tanyakan kepada orangtua mana pun apa kekhawatiran dan tujuan jangka panjang mereka untuk anak-anak mereka dan Anda jarang akan mendengar tentang nilai ujian dan peringkat dunia. Kekhawatiran mereka sangat menarik, eksistensial, dan sepenuh hati.
Orangtua ingin anaknya bahagia, pekerja keras, termotivasi, bertanggung jawab, jujur, empati, cerdas, kolaboratif, kreatif, dan berani. Tentu saja kami ingin anak-anak kami tumbuh secara akademis, tetapi kami juga ingin mereka tumbuh secara emosional, sosial, dan fisik, dan ini membutuhkan pendidikan menyeluruh yang tidak dapat dievaluasi dengan tes standar. Bahkan, dalam hal berhitung dan melek huruf, tes standar cenderung terbatas pada mengukur fakta yang dapat dilupakan sambil mengabaikan pemikiran kreatif dan kritis tingkat yang lebih tinggi.
Sangat masuk akal untuk mempertanyakan skor ketika Anda tahu bahwa tes adalah bentuk penilaian yang dibuat-buat dan tidak realistis yang mengukur apa yang paling tidak penting. Sudah saatnya kita beralih dari menilai apa yang kita ukur menjadi mengukur apa yang kita nilai.
R Mustofa, Dosen Ilmu Pendidikan Unusa, PhD Candidate Hua-Shih College of Education, NDHU, Taiwan Republic of China