Dilema Etik Vaksin Covid-19
Perjalanan vaksinasi Covid-19 belumlah mencapai separuh jalan, terutama jika diingat, durasi kekebalan relatif lebih pendek dari yang diinginkan. Juga ada beberapa isu yang menjadi dilema, terutama terkait aspek etik.
Hingga pertengahan Agustus 2021 sudah lebih dari 5,9 miliar dosis vaksin Covid-19 diberikan pada manusia. Sekitar sepertiga penduduk dunia telah menerima vaksin dalam dosis penuh. Ini jumlah yang mencengangkan mengingat vaksin pertama baru ditemukan November 2020.
Pencapaian terbaik didominasi oleh negara atau teritori yang berukuran kecil dengan penduduk sedikit, seperti Gibraltar, Uni Emirat Arab (UEA), Islandia dan Malta, namun beberapa negara berukuran menengah ikut melewati target 70 persen.
Di kalangan negara berpenduduk banyak, AS menempati urutan teratas. Secara absolut sebenarnya China sudah memberikan lebih dari dua miliar dosis namun pencatatan negara ini tak terang benderang. Sampai September ini, belum semua perusahaan utama dunia, terutama yang telah menerima order dalam jumlah sangat besar, menyelesaikan uji klinik.
Keberhasilan vaksinasi sampai saat ini masih menyisakan beberapa isu yang menjadi dilema, terutama dalam aspek etik.
Kelompok plasebo
Keberhasilan vaksinasi sampai saat ini masih menyisakan beberapa isu yang menjadi dilema, terutama dalam aspek etik. Pertama, sejauh ini sudah 23 vaksin mendapat lisensi, baik terbatas maupun penuh, dari banyak negara di dunia. Masih ada lebih dari 120 vaksin lain yang sedang menjalani uji klinik fase 1-2-3 ditambah sekitar 400 lain dalam tahap praklinis.
Dengan banyaknya orang yang sudah divaksin, akan jadi isu etik apakah layak membuat kelompok plasebo sebagai pembanding. Sesuai namanya, kelompok plasebo tak akan mendapat vaksin Covid-19. Yang diberikan berupa ajuvan atau vaksin penyakit lain. Itu berarti perlindungan subyek di kelompok plasebo terhadap Covid-19 tak berubah sampai mereka mendapat vaksin yang diteliti.
Membiarkan orang tidak terlindungi ketika perlindungan ada, mengundang penilaian pro dan kontra. Alternatif yang bisa diambil adalah tidak lagi menggunakan kelompok plasebo, tetapi membandingkannya dengan vaksin Covid-19 yang sudah lebih dulu beredar. Konsekuensinya, penilaian efikasi yang jadi parameter utama pada uji klinik fase 3 jadi bergeser.
Rapor vaksinasi
Hal kedua, rapor vaksinasi. Sejumlah negara mulai menggunakan kartu atau rapor vaksinasi untuk menyeleksi orang yang akan masuk ke negaranya. Di Indonesia, aturan pemerintah mewajibkan adanya kartu vaksinasi untuk beberapa kegiatan publik.
Sebagian pakar berpandangan, vaksinasi sebaiknya tak dipaksa, sehingga kewajiban mempunyai rapor vaksinasi dipertanyakan. Dilema ini kian meningkat dalam kondisi ketersediaan vaksin belum merata sehingga ada orang yang sangat ingin divaksin namun belum menerima. Mereka bukan menolak vaksin, tetapi kehilangan hak untuk kegiatan publik karena tak punya rapor vaksinasi.
Solusi untuk masalah ini adalah menunda pelaksanaan rapor vaksinasi hingga vaksinasi benar-benar telah merata, meskipun tentu saja banyak juga pihak yang akan berkeberatan.
Saat ini para ahli memahami bahwa kualitas ke-19 vaksin tak seragam. Tentu selain keuntungan kualitas ada pula kerugian efek samping dan satu dua hal lain yang melekat pada vaksin bersangkutan. Jika ada pihak yang menolak orang yang telah divaksin dengan merek tertentu karena alasan perbedaan kualitas, pastilah isu ini juga menjadi dilema etik, apalagi jika vaksin yang ditolak ini sudah diakui oleh WHO.
Inilah dilema etik ketiga. Hal ini menimpa para jemaah haji dan umrah. Pemerintah Arab Saudi hanya mengakui beberapa vaksin saja. Pendekatan dari dunia internasional masih dijalankan secara intens untuk mencari kompromi yang lebih realistis. Bagaimanapun, jumlah pengguna vaksin inaktif dari negara dengan penduduk mayoritas Muslim sangat banyak.
WHO telah memberikan pengakuan untuk vaksin inaktif Sinovac dan Sinopharm, namun keputusan negara yang menjadi tujuan adalah faktor penentu.
Dari 5,9 miliar dosis vaksin terpakai, lebih dari 80 persen berada di negara maju.
Ketimpangan distribusi
Aspek keempat menyangkut distribusi. Dari 5,9 miliar dosis vaksin terpakai, lebih dari 80 persen berada di negara maju. Ini sangat tak sehat. Pemerintah negara miskin dan menengah bukan saja belum melakukan vaksinasi dalam jumlah besar, tapi juga dihadapkan pada ketakpastian mendapat vaksin, dengan penduduk yang belum divaksin besar jumlahnya.
Padahal dalam pandemi berlaku prinsip “Tidak boleh ada orang yang merasa aman apabila masih ada orang yang tidak aman”. Meninggalkan sebagian negara tanpa vaksinasi memadai bukan opsi. Skema Covax yang dibentuk untuk membantu negara yang dalam kesulitan belum sepenuhnya berhasil mengatasi persoalan.
Untung sebagian negara maju dengan stok vaksin berlebih seperti Inggris, Kanada, dan AS rela membagi dengan negara lain. Indonesia ikut menikmati bantuan ini. Presiden Joe Biden memberikan delapan juta dosis Moderna untuk Indonesia. Pemerintah Perancis dan Australia juga menjadi contoh serupa. AS memiliki stok vaksin lebih dari dua kali lipat kebutuhan.
Vaksin "booster" dan vaksin untuk anak
Di tengah kelangkaan vaksin negara miskin dan menengah, upaya booster (vaksin ulangan) dan vaksinasi anak jadi sorotan. Lagi-lagi yang jadi tertuduh kelompok negara maju. WHO bahkan secara khusus meminta moratorium booster hingga akhir 2021. Memang tak tepat jika kita kekenyangan sementara tetangga dekat kelaparan.
Jangan karena kaya dan berpunya kita terus menambah vaksinasi ulangan dan vaksin anak, sementara kelompok paling membutuhkan seperti lansia dan tenaga kesehatan di sebagian besar negara Afrika sangat berkekurangan.
Inggris sejauh ini yang paling konsisten menyuarakan keberatan dengan vaksinasi usia di bawah 16 tahun. Vaksin mayoritas di sana, vaksin Oxford Astra Zeneca, memang juga sedang menjalani uji klinik pada anak, namun beberapa lembaga terkemuka Inggris sudah menyuarakan keberatan atas rencana vaksinasi pada anak.
Tentu inti persoalannya bukan manfaat vaksin bagi anak. Semua ahli di dunia sepakat bahwa vaksin sangat bermanfaat bagi anak dan pada suatu saat nanti, semua anak akan mendapat vaksinasi Covid-19. Beberapa negara bahkan sudah merancang vaksinasi ini sebagai bagian dari vaksinasi rutin.
Pokok masalahnya adalah keadilan distribusi dan skala prioritas.
Pokok masalahnya adalah keadilan distribusi dan skala prioritas. Inggris menyajikan data betapa vaksinasi kelompok dewasa yang memenuhi target bisa menahan juga kasus pada anak.
Dalam hal ini yang dihindari adalah kasus berat dan kematian pada anak karena semua vaksin Covid-19 memang awalnya tak dirancang untuk menahan transmisi (gejala ringan atau tanpa gejala bukan prioritas). Data lain menunjukkan, kegiatan publik seperti sekolah yang telah dimulai sejak Maret 2021 tak berperan besar dalam penambahan kasus anak.
Kasus anak di Inggris Raya baru meningkat setelah kasus pada kelompok umum juga meningkat, terutama karena peran varian Delta. Di dunia, hal ini memang tak seragam. Peningkatan kasus pada anak di AS menunjukkan pola berbeda. Nampaknya ada banyak faktor berpengaruh yang perlu diperhitungkan dalam hal ini.
Aspek distribusi juga berhubungan dengan “nasionalisme vaksin”. Negara tertentu tak mau menjual vaksin ke negara lain. Dalam lingkup lebih kecil, ada juga negara yang hanya mau menggunakan vaksin produksi negara tertentu. Persoalannya, negara yang memiliki pabrik vaksin tak banyak jumlahnya.
Sebelum pandemi, sebagai contoh, boleh dibilang tak ada negara Teluk yang mampu memproduksi vaksin. Jika India memutuskan tak akan menjual vaksin miliknya ke negara lain, sudah tentu Bangladesh dan Sri Lanka tak akan dapat akses. Membiarkan orang terpapar, sakit, dan mati, jelas merupakan isu etik. Semua negara yang tak punya pabrik vaksin jelas menolak hal tersebut.
Baca juga : RI Usung Isu Keadilan Vaksin di Sidang Majelis Umum PBB
Sebagian negara yang punya pabrik juga tak setuju. Presiden Jokowi tegas menolak nasionalisme vaksin. Saat ini, dengan jumlah vaksin berlisensi yang sudah lebih banyak dan adanya gotong royong perusahaan besar untuk memproduksi vaksin milik perusahaan lain semaksimal mungkin, kiranya isu nasionalisme vaksin sudah berkurang, meski belum hilang.
Perjalanan vaksinasi Covid-19 belumlah mencapai separuh jalan, terutama jika diingat, durasi kekebalan relatif lebih pendek dari yang diinginkan. Masih butuh miliaran dosis vaksin untuk diberikan. Masih ada beberapa isu etik lain seperti rencana penghapusan hak kekayaan intelektual internasional yang berhubungan dengan vaksin, maupun penerapan vaksinasi di klinik tanpa dukungan data ilmiah solid.
Apapun persoalannya, jelas potensi gangguan upaya mencapai cakupan dalam jumlah besar sangat kuat. Sangat diharapkan kemauan dan kerja sama berbagai pihak untuk membuat perjalanan ke depan lebih cerah. Semoga, secara bertahap namun pasti, berbagai persoalan etik di seputar vaksin Covid-19 bisa kian berkurang.
Dominicus Husada. Dokter Anak, Kepala Divisi Penyakit Infeksi dan Tropik Anak Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Unair/RSUD Dr Soetomo Surabaya