Menyakiti diri bisa terjadi pada anak-anak. Sebagai orangtua, kita bisa mengetahui dari ciri-ciri fisiknya. Kita bisa membantu mereka untuk mengatasi hal itu.
Oleh
AGUSTINE DWIPUTRI
·4 menit baca
Pernahkah Anda memperhatikan anak atau seorang remaja yang sering mengalami memar atau diperban bagian tubuhnya, atau selalu mengenakan baju lengan panjang bahkan dalam cuaca panas? Mereka mungkin berusaha menyembunyikan luka atau bekas lukanya, dan kita dapat berpikir ke arah suatu perilaku menyakiti diri sendiri. Bagaimana mereka dapat dibantu?
Menyakiti atau melukai diri sendiri (self-harm) berarti melukai diri dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit dan kerusakan pada tubuhnya sendiri. Salah satu cara yang umum adalah memotong dengan benda tajam. Beberapa orang merasakan dorongan untuk membuat luka bakar, mencabut rambut, atau mencungkil luka untuk mencegah penyembuhan. Cedera yang ekstrem dapat mengakibatkan patah tulang (NAMIWalks/National Alliance on Mental Illness, Arlington, 2021).
Begitu seseorang melukai dirinya sendiri, ia mungkin mengalami rasa malu dan bersalah. Jika malu mengarah pada perasaan negatif yang intens, ia mungkin akan menyakiti dirinya lagi sehingga perilaku semacam ini dapat menjadi siklus yang berbahaya dan kebiasaan berjangka panjang.
Tampaknya sulit untuk mendeteksi ketika seseorang menyakiti diri sendiri, karena perilaku ini sering dilakukan secara pribadi dan disembunyikan karena malu dan takut. Luka dan goresan baru, bekas gigitan, dan luka bakar, semuanya bisa menjadi peringatan akan cedera diri jika sering terjadi. Tanda-tanda fisik lain mungkin termasuk bekas luka, memar, dan kebotakan, terutama yang menunjukkan pola kerusakan berulang (https://www.psychologytoday.com/intl/basics/self-harm, diunduh 5 September 2021).
Ketika seseorang tidak yakin bagaimana menghadapi emosi negatifnya, atau belajar menyembunyikan emosi sejak kecil, menyakiti diri mungkin terasa seperti pelepasan.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa menyakiti diri sendiri bukan tergolong suatu gangguan mental, tetapi merupakan perilaku yang menunjukkan kebutuhan akan keterampilan mengatasi masalah secara lebih baik. Namun, dapat pula merupakan bagian dari kumpulan gejala yang lebih berat dan ada tanda-tanda tambahan tekanan emosional, seperti gangguan kepribadian ambang, depresi, atau kecemasan. Menyakiti diri sendiri tidak sama dengan mencoba bunuh diri, tetapi merupakan gejala rasa sakit emosional yang harus ditanggapi dengan serius.
Umumnya, menyakiti diri menyebabkan rasa sakit. Tetapi, bukti neurobiologis baru-baru ini menunjukkan bahwa mereka yang melukai dirinya memiliki ambang rasa sakit yang lebih tinggi. Selain itu, daripada merespons rasa sakit secara negatif, mereka yang melukai diri biasanya merasa ditenangkan oleh dampaknya.
Kemunculan
Menyakiti diri sendiri paling sering terjadi selama masa remaja dan dewasa muda, meskipun bisa juga setelah itu. Mereka yang paling berisiko adalah orang-orang yang pernah mengalami trauma, penelantaran, atau pelecehan. Jika seseorang tumbuh dalam keluarga yang tidak stabil, kemungkinan perilaku ini menjadi suatu mekanisme coping.
Menurut Neel Burton (2020), seorang psikiater di Oxford, tindakan melukai diri dilakukan karena berbagai alasan, seperti individu dapat mengekspresikan dan menghilangkan kemarahan atau ketegangan yang terpendam, merasa lebih dapat mengendalikan situasi kehidupan yang tampaknya sudah buntu, untuk menghukum diri sendiri karena telah menjadi orang yang ”jahat”, memerangi perasaan mati rasa, dan dapat merasa lebih hidup dan ”terhubung”.
Bagi sebagian pelaku, rasa sakit yang ditimbulkan oleh melukai diri lebih disukai daripada mati rasa dan kekosongan yang digantikannya. Rasa ini adalah sesuatu yang lebih nyaman daripada tidak sama sekali, dan merupakan pengingat yang bermanfaat bahwa seseorang masih bisa merasakan dirinya masih hidup.
Bagi yang lain, rasa sakit karena melukai diri hanya menggantikan jenis rasa sakit lain yang tidak dapat mereka pahami atau kendalikan. Tindakan melukai diri sendiri mencerminkan penderitaan yang mendalam, terkadang juga untuk menarik perhatian dan dukungan yang sangat dibutuhkan.
Dengan kata lain, dorongan untuk menyakiti diri sendiri mungkin dimulai dengan kemarahan, frustrasi, atau rasa sakit yang luar biasa. Ketika seseorang tidak yakin bagaimana menghadapi emosi negatifnya, atau belajar menyembunyikan emosi sejak kecil, menyakiti diri mungkin terasa seperti pelepasan.
Terkadang, melukai diri merangsang endorfin tubuh atau hormon penghilang rasa sakit sehingga meningkatkan suasana hati mereka. Atau jika seseorang tidak merasakan banyak emosi, mereka mungkin menyebabkan dirinya sendiri kesakitan untuk merasakan sesuatu yang ”nyata” untuk menggantikan kondisi mati rasa secara emosional.
Mengatasi perilaku
Berikut beberapa strategi yang diharapkan membantu individu mengurangi dan mengatasi perilaku mereka (dirangkum dari www.psychologytoday.com, 2021, dan Neel Burton, 2020).
Jika memungkinkan, temukan seseorang yang dirasa dapat diajak bicara, seperti teman, saudara, atau guru, dan bagikan perasaan Anda dengan mereka. Bahkan, jika tindakan melukai diri sendiri tidak dibahas secara langsung, dapat membantu mengurangi dorongan tersebut dan membantu memahami emosi yang sulit. Berkonsultasi dengan profesional sangat disarankan.
Mengidentifikasi pemicu melukai diri sendiri dan menghindarinya jika memungkinkan. Mengganti tindakan ini dengan kegiatan yang menenangkan diri, seperti melukis, mandi air panas, atau berolahraga, juga dapat membantu mengurangi keinginan untuk melukai diri sendiri.
Terlibat dalam aktivitas kreatif, seperti menulis, menggambar, mengurus tanaman, atau memainkan alat musik, dapat mengalihkan diri dari keinginan untuk melukai diri sendiri, sekaligus memungkinkan Anda untuk mengekspresikan dan mengeksplorasi perasaan Anda.
Teknik relaksasi, seperti pernapasan dalam, juga bisa sangat membantu, seperti halnya yoga dan meditasi. Namun, hindari alkohol dan obat-obatan karena ini dapat mengaburkan pemikiran Anda, yang mengarah pada perilaku impulsif dan berbahaya.
Apabila keinginan untuk melukai diri sendiri mungkin begitu besar, yang dapat Anda lakukan hanyalah meminimalkan risiko yang ada. Hal-hal yang dapat dicoba adalah memegang es batu di telapak tangan dan mencoba menghancurkannya, memasang karet gelang di pergelangan tangan dan menjentikkannya, atau mencabut bulu di lengan dan kaki Anda.
Alisa Crossfield (2021), seorang psikolog klinis di Connecticut, mengatakan bahwa orangtua mempunyai peran yang sangat penting. Dari pengalaman pribadinya, banyak orangtua tidak mau membicarakannya bukan hanya karena tidak menyadari perlunya percakapan, melainkan lebih karena orangtua tidak tahu harus berkata apa kepada anaknya.
Menanggapi dengan belas kasih tanpa menghakimi dan menyadari bahwa menyakiti diri merupakan upaya untuk mengatasi perasaan yang menyakitkan adalah langkah pertama. Tanyakan bagaimana keadaannya dan bersiaplah untuk mendengarkan jawabannya, bahkan jika itu membuat orangtua tidak nyaman.
Salah satu hal terbaik adalah memberi tahu anak bahwa meskipun Anda mungkin tidak sepenuhnya mengerti, Anda akan siap membantu. Jangan mengabaikan emosi atau mencoba mengubahnya menjadi lelucon. Sediakan diri untuk mendiskusikan emosi sulit yang dia alami.
Orangtua sering kali menganggap perilaku demikian sebagai ”mencari perhatian”. Kenyataannya, kebanyakan anak yang melukai diri sendiri berusaha keras untuk menyembunyikannya.
Dorong dia dengan lembut untuk mendapatkan perawatan dengan menyatakan bahwa menyakiti diri sendiri bukanlah hal yang tak biasa dan dokter serta terapis dapat membantu. Namun, jangan menyerang atau mencoba membuatnya berjanji untuk berhenti, karena dibutuhkan lebih dari sekadar tekad untuk berhenti.