Landay atau puisi lisan biasa dibacakan dan dinyanyikan para perempuan Pashtun, suku dengan populasi terbesar di Afghanistan. Landay terdiri dari dua baris. Sembilan kata di baris pertama. Tiga belas kata di baris kedua.
Oleh
Linda Christanty
·5 menit baca
Sejumlah jurnalis dulu pergi ke Afghanistan untuk meliput perang. Di masa pasukan gabungan atau International Security Assistance Force masih beroperasi, ikut serta dalam konvoi kendaraan lapis baja, memasuki wilayah ”bersih”, dan makan ransum tentara menjadi pilihan paling aman.
Konsekuensinya, informasi yang didapat terbatas atau terseleksi. Sebagian kecil jurnalis nekad menempuh jalur lain agar memperoleh cerita berbeda, kadangkala bertaruh nyawa. Jurnalis dan penyair Amerika Serikat, Eliza Griswold, menjalankan misi tak kalah berbahaya meski jauh dari pertempuran langsung. Ia mencari puisi.
Kasus bunuh diri Rahila Muska, penyair remaja asal Helmand, menggerakkan Griswold pergi ke Afghanistan untuk mengumpulkan landay atau puisi lisan. Puisi ini biasa dibacakan dan dinyanyikan para perempuan Pashtun, suku dengan populasi terbesar di Afghanistan. Penggubah landay tidak dikenal atau anonim. Rahila Muska pun nama samaran.
Landay terdiri dari dua baris. Sembilan kata di baris pertama. Tiga belas kata di baris kedua. Tema umumnya meliputi cinta, perpisahan, duka cita, perang, dan tanah air. Landay juga berisi lelucon seksual hingga kemarahan terhadap praktik partriarki atau kekerasan terhadap perempuan.
Usia landay tertua sekitar 3.800 tahun, diperkirakan lahir dari seruan-seruan para pengelana di atas karavan mereka dan entah bagaimana, seiring waktu mencapai bentuk puitiknya.
Pada 2012 Griswold mendatangi kamp pengungsian, rumah penduduk, acara pernikahan, peternakan kuda, dan pelatihan keterampilan, di tempat-tempat ini ia menemukan perempuan penyanyi ataupun penggubah landay.
Dalam bukunya yang terbit pada 2014, I am the Beggar of the World; Landay from Contemporary Afghanistan, Griswold menulis, ”Karena landay termasuk dalam tradisi pedesaan, dan jantung pedesaan Pashtun adalah zona perang, bepergian ke desa-desa terpencil akan membahayakan para perempuan dan juga kami. Dalam sejumlah kasus, para perempuan meminta saya datang ke rumah mereka dengan mengenakan burqa agar tidak terlihat oleh mata-mata atau tetangga yang usil.”
Operasi puisi menggiringnya memasuki relung-relung kehidupan perempuan-perempuan Pashtun lebih dalam, memberi kesempatan mendengarkan kisah-kisah mereka dan terkadang menjadi pihak yang dimintai solusi.
Seorang perempuan tua bercerita kepadanya telah kehilangan anak laki-laki dan cucu laki-laki. Perempuan ini mendengar desas-desus mereka ditahan di Guantanamo. Ia meminta Griswold membantu mencarikan pengacara. Sebuah organisasi internasional turun tangan hingga perempuan itu mengetahui anak dan cucunya ditahan dalam markas pasukan Amerika Serikat di Pangkalan Udara Bagram. Keponakannya yang bersengketa tanah dengan anaknya telah membuat tuduhan palsu dan menyebabkan penahanan itu.
Kehadiran pasukan Amerika Serikat menandai invasi terhadap Afghanistan, tetapi Griswold melihat sebuah paradoks. Katanya, masa depan perempuan di Afghanistan akan lebih suram tanpa Amerika Serikat.
Ketika mencari rumah keluarga Rahila Muska di Helmand, yang dikenal sebagai benteng Taliban, paman penerjemah Griswold, Asma Safi, harus mengawal mereka dengan senjata. Kisah sedih sudah menanti di sana. Rahila Muska putus asa karena calon suaminya tidak punya cukup uang untuk menikah kelak. Menggubah dan membacakan puisi memberinya cara mengubah putus asa menjadi kegembiraan. Semua itu berawal dari menyimak program puisi di radio dan membuatnya mengenal Mirman Baheer, komunitas sastra perempuan. Suatu hari kakak-kakak laki-lakinya memukuli gadis malang ini sampai babak-belur karena ketahuan membuat landay, yang dianggap dosa. Ia lalu bunuh diri. Nama aslinya Zarmina.
Judul buku Griswold merupakan penggalan baris terakhir landay gubahan perempuan 70-an di kamp pengungsi Samar Khel Tagaw:
Dalam mimpiku, aku adalah presiden.
Ketika terjaga, aku adalah pengemis dunia.
Pada 28 Desember 2014, pasukan gabungan 51 negara anggota dan sekutu Amerika Serikat mengakhiri operasi di Afghanistan setelah 13 tahun. Griswold berhasil menyelesaikan operasi puisinya delapan bulan lebih awal dari pasukan itu.
Dulu, operasi pasukan gabungan mencari musuh nomor satu Amerika Serikat, yaitu Osama bin Laden. Ia dinyatakan gembong teroris paling bertanggung jawab terhadap penabrakan pesawat bunuh diri di Amerika Serikat pada 11 September 2001. Sepuluh tahun kemudian Osama dibunuh di Pakistan.
Siapakah Osama?
Ziauddin Sardar, seorang intelektual terkemuka Inggris asal Pakistan dan penentang negara Islam, teringat pengalamanannya bertemu Presiden Pakistan Jenderal Muhammad Zia-ul-Haq di kota Islamabad pada musim dingin 1985. Sardar ikut dalam delegasi Liga Muslim Dunia waktu itu. Ia mendengar Presiden Zia memuji Osama ”yang baru beberapa hari lalu memimpin serangan berani di Kabul”. Selain itu, menurut Presiden Zia, yang dikutip Sardar dalam bukunya, Desperately Seeking Paradise, lebih dari 30.000 mujahidin (pejuang) datang dari 43 negara di dunia (termasuk Indonesia) dan mereka ini ditempatkan di madrasah di Pakistan Utara untuk persiapan jihad melawan komunis Soviet.
Di kota Peshawar, Sardar menyaksikan pertemuan para pemimpin mujahidin yang berperang di Afghanistan. Ia melihat Burhanuddin Rabbani dan Ahmad Shah Massoud. Ia melihat Osama. Sardar menulis kesannya terhadap lelaki berperawakan kurus tinggi, berjanggut tipis, dan mengenakan sorban itu, ”Dia membawa dirinya dengan keagungan dan kesopanan tertentu. Hampir semua orang di pertemuan itu tampak memujanya.”
Cinta dan benci dapat bertukar tempat setiap waktu, begitu pula kawan dan lawan dalam politik global. Bagi perempuan Pashtun, cinta itu terlarang. Tetapi, pemberontakan tidak pernah padam. Sehelai foto karya Seamus Murphy memperlihatkan tulisan pada kaca belakang mobil rongsokan: ”Loving is Not Sin”. Foto-foto Murphy yang puitis, sendu, dan dramatis mendampingi narasi dan landay dalam buku Griswold, memperkuatnya atau bahkan, membangun narasi lain di benak kita.***