Peristiwa kebakaran di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang yang menyebabkan 41 warga binaan pemasyarakatan (WBP) meninggal dinilai sebagai ”fenomena gunung es” dari realita pemasyarakatan yang sesungguhnya.
Oleh
ALBERT ARIES
·5 menit baca
Peristiwa kebakaran di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Tangerang yang menyebabkan 41 warga binaan pemasyarakatan (WBP) meninggal, 2 orang di antaranya warga negara Portugal dan Afrika Selatan, 8 orang luka berat, dan 74 orang luka ringan, dinilai sebagai ”fenomena gunung es” dari realita pemasyarakatan yang sesungguhnya di Indonesia.
Penerapan hukum pidana berlebihan yang kerap diikuti penjatuhan pidana penjara pendek (short prison), peradilan sesat (miscarriage of justice), dan kebijakan kriminal (criminal policy) yang tak tepat sasaran dalam penanggulangan narkotika dianggap berkontribusi atas kelebihan jumlah WBP yang menghuni lapas, lebih dari kapasitas untuk menampungnya (overcrowding).
Contoh paling relevan, kapasitas Lapas Kelas I Tangerang untuk 600 orang terpaksa harus dihuni 2.072 orang sehingga kelebihan 1.472 orang, di mana terdapat 119 WBP berasal dari kasus narkotika. Data Kompas, per 10 September 2021, seluruh tahanan dan narapidana di Indonesia berjumlah 254.907 orang, yang ironisnya diperkirakan 60 persen justru berasal dari kasus narkotika.
Rencana pemerintah mengajukan RKUHP, RUU Pemasyarakatan, dan RUU Narkotika untuk dibahas bersama DPR dalam evaluasi Prolegnas 2021 telah menimbulkan pertanyaan, yaitu apakah ketiga rancangan beleid itu bisa memperbaiki output dari sistem peradilan pidana terpadu, sekaligus mengatasi overcrowding lapas.
Kasus-kasus itu gambaran praktik penegakan hukum, yang dinilai terlalu legalistik dan cenderung menghukum.
Kebijakan pidana holistis
Catatan penegakan hukum (pidana) telah menggambarkan bahwa sebagai negara hukum yang menganut asas legalitas, aparat penegak hukum Indonesia tak jarang menerapkan hukum pidana secara berlebihan. Padahal, hukum pidana adalah ”obat terakhir” (ultimum remedium), yang seharusnya tidak lebih dulu diterapkan jika masih ada sanksi lain yang bisa diberikan.
Masih segar di ingatan kita, kasus Fidelis Arie Sudewarto, yang dihukum karena menanam 39 batang pohon ganja (cannabis sativa) untuk pengobatan kista istrinya, yang akhirnya meninggal dunia tepat 32 hari setelah Fidelis ditangkap. Ada pula rentetan kasus ”orang kecil”, yaitu kasus Nenek Minah yang mencuri tiga kakao, kasus pencurian sandal jepit oleh siswa di Kota Palu, dan kasus cacing sonari yang menyebabkan Didin dibui.
Kasus-kasus itu gambaran praktik penegakan hukum yang dinilai terlalu legalistik dan cenderung menghukum. Dari kunjungan Andi Hamzah, ternyata 60 persen perkara yang ditangani jaksa di Belanda diselesaikan di luar pengadilan (out of court settlement). Sedangkan di Indonesia, keadilan restoratif di luar sistem peradilan pidana anak hanya diatur dalam surat edaran Kapolri dan peraturan Kejaksaan.
Dalam suatu sistem peradilan pidana yang terintegrasi (integrated criminal justice system) —yang dimulai dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, putusan pengadilan, hingga pelaksanaan eksekusi—muara akhirnya adalah lapas. Oleh karena itu, dari pengamatan penulis, RKUHP, RUU Pemasyarakatan, dan RUU Narkotika setidaknya harus memuat asas-asas dan ketentuan yang saling berkesinambungan.
Pertama, meskipun RKUHP sudah memperkenalkan alternatif sanksi selain pidana penjara (misalnya kerja sosial) dan konsep pengampunan oleh hakim (judicial pardon), yaitu putusan pernyataan bersalah tanpa disertai adanya penjatuhan pidana atau tindakan terhadap terdakwa, idealnya buku kesatu RKUHP juga perlu memuat bridging article berupa ketentuan hukum pidana formil yang bersifat materiil untuk mengatur asas keadilan restoratif sebagai ”cantolan” bagi RKUHAP.
Dengan adanya stigma in jail too short for rehabilitation, too long for corruption, penulis berharap RUU Permasyarakatan mengatur ketentuan tentang teknis pengalihan narapidana asing ke negara asal (transfer of sentenced person) serta keterlibatan pihak swasta untuk membina dan mengembangkan potensi guna memastikan eks narapidana dapat ”diterima” kembali oleh masyarakat seusai menjalani pidananya.
Model ini penulis ketahui saat berkunjung ke Singapura dan menyaksikan pelayanan Charis Ministry yang membawa perubahan hidup narapidana ke arah yang lebih baik.
Ketiga, agar RUU Narkotika sebagai UU administrasi bersanksi pidana (administrative penal law) dapat melakukan dekriminalisasi dan depenalisasi guna mengubah paradigma lama bahwa penyalah guna narkotika bukan lagi subyek untuk dipidana, melainkan korban kejahatan yang harus direhabilitasi untuk lepas dari ketergantungan narkotika, tentunya tanpa mengendurkan semangat penegakan hukum yang tegas terhadap para pengedar dan bandar narkotika.
Sebagai substansi hukum (legal substance), kombinasi tiga pembaruan UU di atas tentunya perlu didukung dengan budaya hukum (legal culture) dari masyarakat dan profesionalitas aparat penegak hukum (legal structure). Sebagaimana diungkapkan Lawrence Friedman, pemikiran (paradigma) sosial masyarakat menentukan suatu hukum digunakan, dihindari, dan (tak) disalahgunakan.
Harapannya, masyarakat bisa memiliki kesadaran untuk tak saling melaporkan atau mengadukan masyarakat lainnya, hanya agar puas melihat lawannya ”dipenjara” serta tiada lagi pengaduan balasan dengan dalih ”pencemaran nama baik” karena sebelumnya terdapat laporan terhadap dirinya, yang seharusnya menjunjung tinggi praduga tak bersalah (presumption of innocence).
Solusi jangka pendek
Meskipun Presiden Jokowi sebagai Kepala Negara pernah memberikan amnesti kepada Baiq Nuril yang terjerat kerasnya UU ITE, ketentuan Pasal 2 UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi identik dengan Tindak Pidana Politik, yang sebenarnya ditujukan untuk pengampunan atau penghapusan hukuman akibat persengketaan politik antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda.
Oleh karena itu, apabila pemberian amnesti untuk menghapuskan semua akibat hukum dari terpidana, atau abolisi untuk meniadakan penuntutan terhadap seorang terdakwa, dianggap sebagai solusi jangka pendek untuk mengatasi overcrowding lapas, idealnya Presiden dengan hak subyektifnya (noodverordeningrecht) bisa mengeluarkan perppu untuk mengubah UU Darurat No 11/1954 sehingga menjadi suatu presidential pardon, khususnya untuk sanksi pidana di bawah dua tahun penjara di luar pemberian grasi.
Last but not least, pemberian amnesti dan abolisi sekali-kali tak boleh diobral dan diberikan secara serampangan sehingga dapat mengganggu stabilitas Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila. Untuk itu, perlu diatur syarat dan prosedur yang memastikan bahwa seorang terpidana atau terdakwa memang benar-benar layak untuk menerimanya, sebagaimana adagium punier non necesse est, yang artinya menghukum tidak selamanya perlu.
Albert Aries, Pengajar Fakultas Hukum Trisakti dan Anggota Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI)