Agar manfaat kian dirasakan masyarakat, peran dan kolaborasi pemangku kepentingan harus diperkuat. OJK, MUI, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia, dan pelaku industri halal perlu merumuskan kolaborasi strategis.
Oleh
MUNAWAR KASAN
·4 menit baca
Pinjaman daring atau pinjaman online (pinjol) kembali menyedot perhatian publik. Kali ini topiknya terkait status halal-haramnya.
Beberapa unsur pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersuara. Pinjaman daring dianggap menyengsarakan. Bunga mencekik. Cara penagihan kasar. Membuat orang makin susah. Pinjaman daring dianggap banyak membawa mudarat ketimbang manfaat. Semua praktik buruk tadi adalah ciri-ciri dari pinjol ilegal.
Publik perlu tahu di Indonesia ada pinjaman daring legal dan ilegal. Perusahaan peer-to-peer (P2P) lending atau pinjaman daring yang terdaftar/berizin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah perusahaan yang melakukan bisnisnya secara legal. Tapi, banyak yang menjalankan bisnis pinjaman daring yang tak mengantongi izin OJK atau ilegal.
Keduanya melakukan bisnis memberikan pinjaman ke publik. Tapi, ada perbedaan mencolok. Pinjol legal tunduk pada ketentuan OJK dan ketentuan lain dari pemerintah. Mulai dari pendaftaran hingga praktik bisnisnya harus sesuai ketentuan Peraturan OJK Nomor 77 Tahun 2016 tentang layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi dan peraturan lainnya, khususnya terkait perlindungan konsumen.
Sementara pelaku ilegal, dari awal niatnya tak mau tunduk pada ketentuan.
Sementara pelaku ilegal, dari awal niatnya tak mau tunduk pada ketentuan. Tak mau daftar ke OJK. Tak jelas alamat kantornya. Tak diketahui pengurusnya. Bahkan, sebagian dioperasikan dari luar negeri.
Ciri utama lain pinjol ilegal adalah bunga sangat tinggi, kontrak yang tak jelas dengan peminjam, menyalahgunakan data pribadi, dan penagihan yang kasar (sering disertai ancaman). Korbannya mayoritas kalangan bawah yang belum teredukasi.
Jumlah pinjaman daring legal di bawah OJK sebanyak 107 perusahaan per 8 September 2021. Sedangkan pelaku ilegal sangat banyak dan bergentayangan di internet. Satgas Waspada Investasi telah menutup 3.365 situs dan aplikasi pinjaman daring ilegal.
Pinjaman daring syariah
Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah MUI Cholil Nafis membagi pinjaman daring dalam tiga kategori: haram, legal, syariah. Ada yang haram karena seperti rentenir, ada yang legal di bawah pengawasan OJK, dan ada yang sesuai syariah Islam. Menurut dia, pinjaman daring ilegal hukumnya haram dua kali karena tak mengikuti agama dan pemerintah.
Sampai saat ini tak ada fatwa MUI yang menyatakan pinjaman daring haram. Justru sebaliknya, melalui Dewan Syariah Nasional (DSN), MUI memberikan dukungan pada pembiayaan daring syariah.
Pada 2018, DSN-MUI menerbitkan fatwa No 117/DSN-MUI /II/2018 tanggal 28 Februari 2018 tentang layanan pembiayaan berbasis teknologi informasi berdasarkan prinsip syariah. Disebutkan, layanan pembiayaan berbasis teknologi informasi dibolehkan dengan syarat sesuai prinsip syariah.
Menurut DSN-MUI, bisnis pinjaman daring tak boleh bertentangan dengan prinsip syariah, antara lain terhindar dari riba, gharar, maysir, tadlis, dharar, zhulm, dan haram. Fatwa DSN-MUI menyebutkan beberapa model layanannya, antara lain factoring, purchase order, online seller, dan pembiayaan untuk karyawan.
Saat ini ada delapan platform pinjaman daring yang menjalankan bisnis sesuai syariah. Ada dewan pengawas syariah (yang telah dapat rekomendasi dari DSN-MUI) sebagai pengawas aspek syariah pada semua platform syariah tersebut.
Riset Harp dkk (2021) menunjukkan, pembiayaan daring syariah memiliki pengaruh positif dan signifikan pada kinerja UMKM, dilihat dari perubahan omzet dan keuntungan. Sayangnya, kontribusi platform syariah masih kecil. Total outstanding atau pendanaan yang masih berjalan hanya Rp 1,01 triliun atau 4,17 persen dari total outstanding industri.
Pengembangan pinjaman daring berbasis syariah perlu terus mendapat dukungan dari MUI. Eksplorasi kolaborasi platform berbasis syariah dengan entitas lainnya dalam ekosistem halal perlu diakselerasi. Banyak pihak dalam ekosistem halal yang membutuhkan pendanaan, tetapi sulit akses ke perbankan. Model bisnis yang didesain khusus dan berdasarkan prinsip syariah bisa jadi jalan keluar kebutuhan pendanaan halal.
Fatwa pembiayaan daring syariah dari DSN-MUI menjadi pijakan bagi berkembangnya industri P2P lending syariah di Indonesia. Seiring makin tumbuhnya halal lifestyle, industri halal, dan industri keuangan syariah lainnya, peluang tumbuhnya industri pinjaman daring syariah juga sangat besar.
Agar manfaat kian dirasakan masyarakat, peran dan kolaborasi pemangku kepentingan harus diperkuat. OJK, MUI, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia, dan pelaku industri halal perlu merumuskan kolaborasi lebih strategis setidaknya pada tiga hal.
Agar manfaat kian dirasakan masyarakat, peran dan kolaborasi pemangku kepentingan harus diperkuat.
Pertama, MUI perlu dilibatkan dalam proses edukasi publik. Jaringan MUI yang sangat luas bisa menjadi simpul efektif dalam literasi tentang pinjaman daring (syariah). MUI mampu menjelaskan aspek legal dan syariah dari transaksi dalam pinjaman daring (syariah).
Kedua, pengembangan model bisnis untuk pendanaan produktif perlu terus didorong. Tujuannya untuk mengoptimalkan nilai tambah dari transaksi di pinjaman daring (syariah). Para pelaku di sektor UMKM, pertanian, perumahan, dan lainnya dapat mengembangkan usahanya melalui dorongan platform pinjaman daring (syariah). Transaksi perlu lebih diarahkan pada pendanaan untuk aktivitas produktif dibandingkan untuk kegiatan bersifat konsumtif.
Ketiga, eksplorasi dan kolaborasi dalam ekosistem halal harus didongkrak. Saat ini banyak platform pinjaman daring yang telah menjalin kerja sama dengan pihak lain. Tapi, ini sifatnya masih individual antarperusahaan. Asosiasi industri perlu berada di garis depan untuk menginisiasi kerja sama dengan asosiasi/institusi lain.
Munawar Kasan, Deputi Direktur di Otoritas Jasa Keuangan