Ada berbagai cara memilih jenis kelamin anak, baik alami maupun lewat teknik reproduksi dengan bantuan. Namun, itu belum menjamin kepastian mendapatkan anak dengan jenis kelamin yang diinginkan serta ada masalah etika.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·4 menit baca
Anak, perempuan ataupun laki-laki, adalah karunia Tuhan. Namun, secara budaya ada suku atau bangsa yang memiliki preferensi untuk mendapat anak berjenis kelamin tertentu. Penduduk di banyak negara Asia dan Timur Tengah lebih menginginkan anak laki-laki. Sementara orang kaukasia atau hispanik lebih memilih anak perempuan.
Ada pula pasangan yang sudah memiliki beberapa anak laki-laki menginginkan anak perempuan. Demikian juga sebaliknya.
Sejauh ini, belum ada jaminan 100 persen kepastian untuk mendapatkan jenis kelamin anak yang diinginkan. Baik dengan cara alami maupun menggunakan bantuan teknologi.
Cara alami, antara lain, metode Shettles yang dikembangkan Landrum B Shettles di Amerika Serikat (AS) pada 1960-an. Teorinya, sperma laki-laki (Y) bergerak lebih cepat, tetapi tidak hidup selama sperma perempuan (X). Jika menginginkan anak laki-laki, harus melakukan hubungan sedekat mungkin dengan masa ovulasi, agar sperma Y mengalahkan sperma X dalam lomba menuju sel telur. Jika menginginkan anak perempuan, harus berhubungan dua hingga empat hari sebelum ovulasi. Ada pula metode Billings, terkait kondisi lendir serviks di masa ovulasi, melengkapi metode Shettles.
Selain itu ada metode Whelan, kebalikan metode Shettles dalam waktu hubungan terkait kemungkinan mendapat anak laki-laki atau perempuan. Meski setiap penganut metode mengklaim keberhasilan tinggi, banyak ahli berpendapat metode-metode itu sangat spekulatif.
Penelitian Corry Gellatly dari Universitas Newcastle, Inggris, yang dimuat di Evolutionary Biology, 10 Desember 2008, mendapatkan, penentu jenis kelamin adalah gen laki-laki. Gellatly meneliti 927 pohon keluarga berisi informasi tentang 556.387 orang dari Amerika Utara dan Eropa sejak tahun 1600.
”Studi silsilah keluarga menunjukkan, kecenderungan memiliki anak laki-laki atau perempuan itu diturunkan dari orangtua. Laki-laki lebih mungkin memiliki anak laki-laki jika mereka memiliki lebih banyak saudara laki-laki, dan lebih mungkin memiliki anak perempuan jika memiliki lebih banyak saudara perempuan. Pada perempuan, hal ini tidak bisa diprediksi,” kata Gellatly seperti dikutip Science Daily, 12 Desember 2008.
Laki-laki lebih mungkin memiliki anak laki-laki jika mereka memiliki lebih banyak saudara laki-laki, dan lebih mungkin memiliki anak perempuan jika memiliki lebih banyak saudara perempuan.
Ada gen yang belum diidentifikasi, yang mengontrol apakah sperma laki-laki mengandung lebih banyak kromosom X atau Y. Gellatly memaparkan, laki-laki membawa dua jenis alel berbeda, menghasilkan tiga kemungkinan kombinasi dalam gen yang mengontrol rasio sperma X dan Y. Kombinasi pertama, mm, menghasilkan lebih banyak sperma Y dan memiliki lebih banyak anak laki-laki. Kedua, mf, menghasilkan jumlah sperma X dan Y hampir sama sehingga peluang mendapatkan anak laki-laki dan perempuan sama. Yang ketiga, ff, menghasilkan lebih banyak sperma X sehingga memiliki lebih banyak anak perempuan.
Meningkatkan kepastian
Selama beberapa dekade, penggunaan ultrasonografi untuk diagnosis prenatal dan aborsi elektif janin berjenis kelamin tidak diinginkan, menimbulkan banyak masalah etika serta risiko kesehatan ibu. Selanjutnya, kemajuan teknologi reproduksi dengan bayi tabung, yang semula ditujukan membantu pasangan untuk mengatasi ketidaksuburan atau menghindari kelainan genetik seperti sindrom Down, sindrom Turner, hemofilia, distrofi otot Duchenne, sindrom Lesch-Nyhan, berkembang menjadi sarana untuk memilih jenis kelamin anak.
Ada dua metode. Pertama, pemilahan sperma untuk mendapat kromosom yang diinginkan (X atau Y), diikuti inseminasi intrauterin (IUI) atau fertilisasi in vitro (IVF). Kedua, diagnosis genetik pra-implantasi (PGD) diikuti IVF.
Seleksi sperma memungkinkan memilih jenis kelamin dengan teknik flow cytometry. Sperma diberi pewarna fluoresens, Hoechst 33342, yang mengikat DNA setiap spermatozoa. Karena kromosom X lebih besar daripada kromosom Y, spermatozoa dengan kromosom X akan menyerap lebih banyak zat warna sehingga lebih berpendar saat terkena sinar UV. Sperma yang dipilih lalu diinseminasikan ke rahim. Tingkat keberhasilan teknik ini 91 persen untuk mendapat anak perempuan dan 76 persen untuk anak laki-laki.
Diagnosis genetik pra-implantasi merupakan metode paling andal, akurasinya hampir 100 persen. Embrio, telur yang telah dibuahi sperma, saat berumur tiga hari diambil satu sel untuk analisis kromosom. Embrio dengan jenis kelamin yang diinginkan ditanam di rahim. Sisanya dibekukan atau dibuang.
Menurut Lusine Aghajanova dan Cecilia T Valdes dari Baylor College of Medicine, Houston, Texas, AS, dalam Virtual Mentor, Februari 2012, penggunaan teknologi reproduksi untuk alasan nonmedis menghadirkan beberapa dilema etika. Salah satu kekhawatiran adalah diskriminasi jenis kelamin yang mengakibatkan ketidakseimbangan rasio jenis kelamin dalam masyarakat. Ini sudah terjadi di China dan India, di mana anak laki-laki sangat disukai. Alasan lain, paparan risiko medis yang tidak perlu, misalnya berakibat sindrom hiperstimulasi ovarium pada ibu. Selain itu, pewarna Hoechst dapat memiliki efek mutagenik pada sperma. Dilema etika lain adalah membuang embrio yang tidak diinginkan.
Di Inggris dan Kanada seleksi jenis kelamin untuk alasan nonmedis adalah ilegal. Sementara AS tidak membuat peraturan resmi.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengizinkan pemilihan jenis kelamin bayi lewat IVF hanya untuk anak kedua dan seterusnya. Anak pertama tidak boleh.
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi mengizinkan penggunaan reproduksi dengan bantuan atau program bayi tabung untuk pemilihan jenis kelamin untuk anak kedua dan selanjutnya. Tahap yang diperbolehkan adalah pemilihan sperma, bukan tahap pembuahan atau embrio.
Kembali bahwa anak adalah karunia Tuhan, seharusnya fokus orangtua adalah melahirkan bayi yang sehat, bukan bayi berjenis kelamin tertentu.