Memikirkan Warisan Jokowi
Warisan terbaik Jokowi lewat semua kerja kerasnya harus menjadi fondasi bagi penerusnya untuk membawa bangsa ini tidak hanya makin maju, tetapi juga makin beradab dan bermartabat.

Heryunanto
Masa kerja Kabinet Joko Widodo-Ma’ruf Amin tinggal tiga tahun. Jika dikurangi tahun politik persiapan Pemilu 2024, paling lama 15 bulan tersisa untuk bekerja. Di sisa waktu ini, apa yang mesti diutamakan?
Meski banyak agenda politik menyita perhatian, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan kabinetnya tidak boleh salah memprioritaskan. Hal ini disebabkan soal teknokrasi dalam pembangunan sama pentingnya dengan soal politik pemerintahan, dan sebaliknya.
Keduanya merupakan warisan (legacy) Jokowi dalam upayanya memenuhi janji politiknya. Maka, perwujudan janji ini menentukan seperti apa ia akan dikenang: sebagai pemimpin luar biasa, atau ternyata, ya, hanya biasa-biasa saja.
Janji politik
Janji politik dituangkan dalam rencana pembangunan. Pada periode pertama, Nawacita dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 dan Jokowi terlihat bekerja keras memenuhi janji-janjinya.
Berfokus pada upaya mengatasi kemiskinan dan menjembatani kesenjangan Jawa-luar Jawa, pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla menggelontorkan sumber daya signifikan untuk program pembangunan manusia, desa, dan infrastruktur.
Hasilnya? Infrastruktur pesat terbangun di seluruh penjuru Tanah Air, pertumbuhan ekonomi stabil di kisaran 5 persen, inflasi 2,72 persen, pengangguran ditekan hingga 5,3 persen, kemiskinan untuk pertama kalinya di bawah dua digit di 9,41 persen, dan koefisien gini yang mencerminkan ketimpangan turun ke 0,381. Meski ada catatan kritis di bidang hukum, perlindungan HAM, dan lingkungan, Jokowi-Kalla bekerja keras memenuhi janji mereka pada 2014-2019.
Pada periode kedua, berpasangan dengan Ma’ruf Amin, Jokowi menyodorkan lima visi: transformasi ekonomi, meneruskan pembangunan infrastruktur, pembangunan sumber daya manusia (SDM), reformasi birokrasi, dan penyederhanaan perizinan.
Selain itu, memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan Timur dan menyiapkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2026-2045. Semua dijanjikan untuk memperkuat fondasi mewujudkan mimpi 2045 saat Indonesia akan jadi ekonomi terbesar keempat atau kelima dunia.
Namun, Covid-19 menghantam. Sejak Maret 2020 hingga pertengahan September 2021, lebih dari 4,1 juta orang tertular dan 138.000 orang meninggal, lebih dari separuhnya terjadi hanya sejak Juli 2021.

Capaian pembangunan juga porak-poranda. Akhir 2020, pertumbuhan ekonomi anjlok ke minus 2,07 persen, pengangguran naik ke 7,07 persen, dan kemiskinan kembali ke dua digit 10,19 persen.
Pencapaian janji Jokowi-Amin pun terdampak. Dari lima visi, mungkin hanya soal infrastruktur yang relatif on-track meski tersendat. Transformasi ekonomi dan pembangunan SDM jelas terganggu.
Sementara itu, reformasi birokrasi dan penyederhanaan perizinan yang didorong dengan UU Cipta Kerja belum juga berjalan optimal. Eksekusi pemindahan ibu kota negara juga terhambat: bukan hanya soal infrastruktur, melainkan kompleksitas formasi aparatur sipil negara (ASN) yang mesti dipindah dari Jakarta.
Bisa jadi, apa yang pernah tampak sebagai keraguan pemerintah memprioritaskan kesehatan ketimbang ekonomi di awal pandemi sebenarnya mencerminkan kegamangan jika janji-janji ini tak bisa direalisasikan. Sebab, bagaimanapun, pemenuhan janji politik merupakan kunci untuk mendapatkan kepercayaan warga.
Karena itu, semua janji ini—lima visi, penyusunan RPJPN, pemindahan ibu kota negara, dan penanganan pandemi yang kini mau tak mau menjadi janji—harus dipastikan pencapaiannya atau setidaknya disiapkan peta jalannya.
Ini mesti dilakukan sekarang, dan dengan cara yang lebih efektif. Tak bisa BAU (business as usual) karena terbukti tidak optimal dan janji-janji Jokowi tak akan terwujud.
Lantas bagaimana?
Diperlukan orkestrasi legacy. Pertama, janji lima visi harus ditegaskan target kuncinya. Tentu ini hak prerogatif Presiden; saya hanya mengusulkan. Yang penting realistis dalam sisa waktu. Satu, pembangunan infrastruktur fisik mesti meningkatkan konektivitas dan mendorong produktivitas serta mengatasi kesenjangan Jawa-luar Jawa.
Dua, transformasi ekonomi difokuskan pada upaya membangun basis ekonomi produktif berdaya saing. Konkretnya: investasi di sektor produktif, insentif UMKM dan sektor informal, penanganan kemiskinan, dan pembangunan desa.
Tiga, pembangunan SDM mesti diarahkan untuk menghindari jebakan demografi, yakni saat mereka yang berusia produktif justru tidak produktif. Caranya: meningkatkan kualitas kesehatan dan pendidikan dan memastikan integrasi skema perlindungan sosial bagi semua warga.
Empat, penyederhanaan perizinan dengan target meningkatkan kemudahan berusaha.
Lima, reformasi birokrasi untuk meningkatkan kapasitas negara (Nugroho, Kompas, 14/7/2021) lewat debirokratisasi, sistem merit, perombakan kurikulum pengembangan kapasitas ASN, dan basis data kepegawaian.
Baca juga: Pembubaran Lembaga Adhokrasi
Pencapaian lima visi ini krusial dan harus dikendalikan langsung oleh Presiden. Sebab, begitu memasuki tahun politik, para menteri dari partai politik—atau yang punya kepentingan politik—akan terpecah perhatiannya. Jadi, barangkali mereka perlu diberi wakil yang menguasai teknokratisme.
Kedua, target penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi merupakan transisi dari pandemi menuju endemi. Karena itu, perlu skenario dan peta jalan agar intervensi epidemiologis, ekonomi, dan sosial dilakukan dengan tepat.
Untuk itu diusulkan tiga penahapan terukur yang mesti segera dieksekusi: supresi, stabilisasi, dan normalisasi.
Supresi untuk menekan angka kasus dan kematian. Stabilisasi untuk mengendalikan skala penularan dan mempersiapkan pembukaan aktivitas sosial-ekonomi. Normalisasi untuk mendampingi masyarakat hidup normal dengan surveilans (Aliansi Ilmuwan Indonesia untuk Penyelesaian Pandemi, 2021).
Langkah pemerintah menggeser prioritas anggaran dari pembangunan fisik infrastruktur ke nonfisik SDM dalam RAPBN 2022 patut diapresiasi. Anggaran infrastruktur hanya Rp 384,8 triliun—bandingkan dengan anggaran kesehatan Rp 255,3 triliun, perlindungan sosial Rp 427,5 triliun, pendidikan Rp 541,7 triliun. Ini langkah jelas dan pilihan paling realistis.
Jika selama ini pemerintah dianggap ragu memprioritaskan penanganan pandemi karena kekhawatiran dampak ekonomi dan politik, 17 bulan pandemi mengajarkan bahwa penanganan pandemi yang tak diprioritaskan justru bisa melahirkan krisis ekonomi dan politik.
Tantangannya adalah implementasi. Birokrasi yang panjang dan berbelit tidak akan membantu dalam situasi krisis dan mendesak. Terlambatnya penyaluran bantuan sosial, pembayaran insentif fasilitas kesehatan (faskes), bahkan pemberian santunan bagi keluarga tenaga kesehatan (nakes) yang meninggal dan vaksinasi, adalah bukti. Seluruh birokrasi memang perlu direformasi.
Namun, gagasan perlunya kelembagaan penanganan krisis seperti Centres for Disease Control and Prevention (CDC) di AS mungkin bisa jadi warisan bermakna. Hal ini tak harus membentuk lembaga baru.
Bisa saja dengan memperkuat Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan, atau memberikan wewenang koordinasi kepada BNPB untuk menjadi otoritas tertinggi pada saat krisis dan bencana.
Ketiga, janji pemindahan ibu kota negara harus dipastikan kelanjutannya dengan memperhatikan dinamika pandemi. Sejak diumumkan pada Pidato Kenegaraan 16 Agustus 2019, tak terlihat langkah konkret. Bahkan publik ragu: apakah ibu kota negara jadi dipindah? Padahal, birokrasi butuh kepastian untuk bergerak.
Jika diputuskan untuk diteruskan, pembangunan fisik ibu kota negara harus diprioritaskan, dimonitor, dan dikendalikan secara ketat. Sebab, memindahkan semua kementerian dan sejumlah lembaga dengan puluhan, bahkan ratusan ribu ASN perlu dukungan infrastruktur fisik luar biasa. Linimasa pemindahan ibu kota negara harus jelas: melakukan apa, kapan, bagaimana.

Pradesain Istana Negara di ibukota negara yang baru di Kalimantan Timur. Pradesain tersebut adalah karya seniman, Nyoman Nuarta.
Namun, jika diputuskan untuk ditunda (bukan dibatalkan), harus disiapkan narasi yang memadai dan upaya untuk memastikan pelaksanaan pemindahan ibu kota negara oleh pemerintahan berikutnya. Apa pun keputusannya, kerangka regulasi dan kelembagaan mesti disiapkan. Undang-undang ibu kota negara harus segera diselesaikan dan badan otorita ibu kota negara segera dibentuk.
Terakhir, pemerintahan Jokowi punya keunggulan unik: merumuskan visi Indonesia 2045 sekaligus menyiapkan peta jalannya. Karena itu, penyelesaian RPJPN 2026-2045 sebagai peta jalan menuju Indonesia 2045 harus menjadi perhatian khusus Presiden. RPJPN ini tak boleh menjadi rencana seadanya. Ia mesti berani memberikan arah yang jelas dan kerangka yang tegas menuju negara maju.
RPJPN ini mesti bisa menjawab sejumlah tantangan utama bangsa ini. Setidaknya ada delapan: rendahnya mobilitas sosial, pesatnya urbanisasi, tersierisasi, perubahan iklim, ketahanan pangan, pengelolaan sumber daya alam, ketahanan energi, dan kualitas institusi (Ekosistem Pengetahuan dan Inovasi, 2020).
Selanjutnya, ia mesti bisa menyiapkan rencana dan mengidentifikasi misi dan program prioritas untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut.
Melangkah ke depan
Waktu kian mendesak, karena itu perlu mekanisme pengawalan legacy secara sistematis dan langsung (direct). Konkretnya ada tiga. Pertama, Presiden mesti bisa langsung berkoordinasi dengan pejabat di tingkat teknis untuk memastikan janji-janji yang dipandang kunci, tetapi belum berjalan baik.
Ada tiga contoh. Satu, reformasi birokrasi. Tiga tahun cukup untuk merombak kurikulum pengembangan kompetensi ASN, memperbaiki basis data kepegawaian sebagai talent pool, meningkatkan responsivitas birokrasi dalam penanganan pandemi, dan menyelesaikan peta jalan jabatan fungsional sebagai dampak penyederhanaan birokrasi.
Empat quick wins ini akan mendongkrak kinerja birokrasi.
Dua, integrasi program-program bantuan sosial sebagai bagian dari reformasi perlindungan sosial dan pelayanan publik berbasis nomor induk kependudukan (NIK). Gagasan yang sudah dipikirkan pemerintah sejak 2016 ini harus diwujudkan, atau setidaknya dimulai perwujudannya.
Baca juga: Covid-19 dan Kelembaman Birokrasi
Skema integrasi perlindungan sosial harus selesai selambatnya pertengahan 2022 dan bisa diujicobakan pada 2022-2023, sebelum akhir masa jabatan.
Tiga, manajemen talenta nasional (MTN) sebagai bagian dari pembangunan SDM. Janji Presiden untuk melahirkan terobosan penataan talenta nasional harus diwujudkan. Grand design dan usulan kelembagaan harus selesai pada akhir 2021 dan penganggarannya dipastikan dalam RAPBN 2022 agar bisa direalisasikan pada 2022-2023.
Sebenarnya ada banyak hal lain yang belum terkawal: reformasi hukum, pemenuhan HAM, perlindungan kebebasan berekspresi, pemulihan lingkungan, transisi energi terbarukan, dan banyak lagi. Tak semua bisa diwujudkan hingga akhir 2024, tetapi perhatian langsung Presiden akan memberikan bobot dan mempercepat upaya ke sana.
Kedua, semua capaian pemerintah mesti dinilai relatif secara obyektif. Lembaga riset independen, organisasi masyarakat sipil, asosiasi bisnis, dan berbagai lembaga nonpemerintah bisa mulai merancang alat ukur untuk menilai capaian kinerja pemerintah pada akhir masa jabatan Jokowi nanti.
Warisan sejati bukanlah kenangan masa lalu yang tersisa setelah tiada, melainkan bekal melangkah menuju masa depan.
Pasti akan ada diskrepansi antara capaian yang diklaim dengan hasil pengukuran dan evaluasi. Namun, itu perlu—bahkan penting—untuk menjaga obyektivitas dan membangun kredibilitas.
Ketiga, semua laporan capaian pemerintah perlu ditata sebagai catatan pengetahuan. Publik perlu tahu apa yang diteruskan dari pemerintah sebelumnya, apa yang baru yang dikerjakan pemerintah ini, dan apa yang disiapkan bagi pemerintah berikutnya. Ini penting karena penghargaan atas capaian pemerintah sebelumnya dan penghormatan atas inisiatif pemerintah berikutnya menunjukkan kualitas kenegarawanan Jokowi.

Yanuar Nugroho
Warisan sejati bukanlah kenangan masa lalu yang tersisa setelah tiada, melainkan bekal melangkah menuju masa depan. Warisan terbaik Jokowi lewat semua kerja kerasnya harus menjadi fondasi bagi penerusnya untuk membawa bangsa ini tidak hanya makin maju, tetapi juga makin beradab dan bermartabat.
Yanuar Nugroho, Penasihat Centre for Innovation Policy & Governance; Peneliti ISEAS-Yusof Ishak Institute; Anggota ALMI; Deputi II Kepala Staf Kepresidenan RI 2015-2019