Kebanyakan korban adalah warga binaan narkotika. Entah berapa yang hanya pengguna, berapa yang pengedar, dan berapa lama lagi mereka di sana? Kebakaran itu seakan vonis yang sesungguhnya.
Oleh
Bharoto
·3 menit baca
Kebakaran di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang, Banten, sungguh menyesakkan dada. Korbannya, 44 orang, meninggal mengenaskan. Kebanyakan korban adalah warga binaan narkotika. Entah berapa yang hanya pengguna, berapa yang pengedar, dan berapa lama lagi mereka di sana? Kebakaran itu seakan vonis yang sesungguhnya.
Ironisnya, berbagai masalah di lapas ini sudah diketahui lama. Dari kelebihan penghuni, standar keamanan yang kurang memadai, hingga bandar narkotika yang bisa mengendalikan operasi dari lapas.
Selama ini, permohonan anggaran untuk menambah daya tampung ataupun upaya standardisasi lapas jauh dari harapan. Berita utama harian Kompas (Kamis, 9/9/2021) sungguh tepat. Darurat manajemen lapas!
Kita hanya berharap pihak-pihak terkait, terutama pemerintah dan DPR, benar-benar menjadikan peristiwa ini sebagai pijakan dalam membuat kebijakan yang lebih solutif dan manusiawi, sekaligus bisa segera dieksekusi. Tidak ada lagi alasan untuk menunda-nunda lagi.
Sebagai bangsa, kita tidak hanya sedih dan prihatin, tetapi juga malu. Peristiwa tragis ini telah menjadi berita internasional. Duta Besar Inggris pun turut menyampaikan ucapan dukacita.
Bukankah ini suatu tragedi kemanusiaan, yang artinya melanggar pengamalan dari sila ke-2 Pancasila, yakni Kemanusiaan yang adil dan beradab? Mari kita stop pengabaian.
Turut berduka untuk para korban.
Bharoto
Jl Kelud Timur I, Semarang
Habitus Baru
Tajuk Rencana Kompas (Rabu, 8/9/2021) memakai kunci keberhasilan Ignasius Jonan sebagai Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (KAI) 2009-2014 untuk mengatasi pandemi: terbuka dalam berkomunikasi, disiplin dalam menerapkan peraturan, dan mengecek sendiri situasi hingga tingkat paling bawah.
Begitu pula pada masa pandemi Covid-19, kita dituntut untuk berlaku adaptif jika kita tidak ingin roda ekonomi macet akibat pembatasan. Sikap adaptif itu adalah terbuka menerima kebiasaan baru.
Pandemi telah mengajarkan kepada kita introspeksi diri. Apakah kita sudah menyesuaikan diri? Apakah kita taat protokol kesehatan? Apakah kita siap berhabitus baru?
Ini yang kita wujudkan dengan disiplin menaati protokol kesehatan. Memakai masker ganda, menjaga jarak, mencuci tangan, menghindari kerumunan, mengurangi mobilitas, dan ikut vaksinasi. Di sinilah kita diajak melakukan hal-hal yang telah dicontohkan Ignasius Jonan melalui laku kepemimpinannya.
Kita juga dapat berpartisipasi lebih dengan mengingatkan warga masyarakat untuk taat terhadap protokol kesehatan, konsisten menaati peraturan pada masa PPKM, dan segera vaksinasi.
Kita juga bisa membagikan informasi terkait penyelenggaraan vaksinasi, lokasi tes usap, bahkan merekomendasikan cara-cara pencegahan atau pemulihan Covid-19.
Semoga dengan partisipasi aktif kita semua, bangsa Indonesia bisa segera bangkit membangun kesejahteraan.
Ignasius Lintang Nusantara
Presidium SMA Kolese De Britto Yogyakarta 2020/2021
Segaris
Jumat (27/8/2021) menjelang pukul 07.00, di I News ada perbincangan tentang peraturan menteri yang harus disetujui presiden. Pembicaranya para pejabat dan pakar di bidang hukum dan politik.
Semua memakai kata ”tegak lurus” dalam arti ”sesuai”. Sebelumnya, ada juga ahli utama Kantor Staf Presiden (KSP) yang memakai istilah ”tegak lurus” yang salah itu.
”Permen harus tegak lurus dengan kebijakan presiden” diartikan sebagai ”Permen harus sesuai dengan kebijakan presiden”.
Memaknai tegak lurus = sesuai, itu salah! Dua garis tegak lurus berpotongan membentuk sudut 90º. Kedua garis itu justru berbeda arah.
Yang sesuai atau searah ialah yang sejajar. Jadi, alih-alih mengatakan ”Permen harus tegak lurus dengan kebijakan presiden”, seharusnya dikatakan: ”Permen harus segaris, atau searah, atau sejajar dengan kebijakan presiden.”