Membaca Data Pangan
Membandingkan data produksi beras kurun waktu 2011-2020 dan kemudian menyebutnya sebagai ”stagnasi produksi” rasanya tidak tepat. Tidak bisa dibandingkan secara apple to apple karena perbedaan metode pengumpulan data.
Dalam artikel ”Badan Pangan Nasional” (Kompas, 9/9/2021), Dwi Andreas Santosa menyampaikan, ”Indonesia mengalami stagnasi produksi padi selama 20 tahun terakhir”.
Juga diungkapkan, ”Impor pangan Indonesia terus meningkat” karena ”tata kelola pangan yang salah”. Dalam tulisan dicantumkan data produksi padi 48,9 juta ton gabah kering giling (GKG) pada 2001, sementara 2020 hanya bertumbuh menjadi 54,6 juta ton. Disimpulkan, jika dirata-rata, pertumbuhan GKG hanya 0,73 persen per tahun. Di sisi lain, laju pertumbuhan penduduk berada di kisaran 1,3-1,4 persen per tahun.
Membandingkan data produksi beras dalam kurun waktu 2011-2020 dan kemudian menyebutnya sebagai ”stagnasi produksi” rasanya tidak tepat. Data produksi selama 2011-2020 tidak bisa dibandingkan secara apple to apple karena terdapat perbedaan metode pengumpulan data yang dipakai.
Baca juga:Badan Pangan Nasional
Data produksi padi 2016-2017 hasil sinkronisasi data antara Kementan, BPS, dan dinas pertanian provinsi. Sementara pada 2018-2020, data produksi merupakan hasil kerangka sampel area (KSA) oleh BPS.
Untuk menentukan status neraca beras (pangan) nasional dalam kondisi surplus atau defisit, sebaiknya kita menakar kebutuhan konsumsi beras nasional. Berdasarkan data terakhir, dengan memperhitungkan selisih antara produksi dan kebutuhan beras nasional, stok beras nasional hingga saat ini masih dalam kondisi surplus.
Sampai minggu pertama September 2021, stok beras mencapai hampir 7,6 juta ton tersebar di penggilingan 1,5 juta ton, pedagang 715.000 ton, Bulog 1,164 juta ton, dan lainnya.
Dalam tulisan itu juga dibandingkan volume impor delapan komoditas, yaitu beras, jagung, gandum, kedelai, gula tebu, ubi kayu, bawang putih, dan kacang tanah, antara 2008 dan 2020. Terlalu jauh, dengan kondisi dan lingkungan strategis sangat berbeda. Lebih mudah dan pas jika ingin menilai kebijakan impor pemerintah saat ini, dengan sebelum 2018, misalnya, yaitu sebelum Kabinet Indonesia Maju.
Membandingkan data produksi beras dalam kurun waktu 2011-2020 dan kemudian menyebutnya sebagai ”stagnasi produksi” rasanya tidak tepat.
Apalagi sebenarnya, jika kita telisik dari komparasi antara data 2018 dan 2020, volume impor justru mengalami penurunan. Berdasarkan data BPS dengan cakupan kode HS yang digunakan sesuai BTKI 2017, total volume delapan komoditas (segar dan olahan) mencapai 27,62 juta ton pada 2018. Tapi, pada 2020, volume itu justru turun 4,69 persen menjadi 26,32 juta ton.
Beras sebagai komoditas pangan utama juga mengalami penurunan impor yang sangat signifikan, 99,06 persen, dari 1,80 juta ton menjadi hanya 17.018 ton (data BPS). Penurunan impor beras diikuti komoditas lain, yaitu kacang tanah 9,54 persen dan ubi kayu 59,84 persen.
Tata kelola pangan
Terkait tata kelola pangan, Dwi Andreas, antara lain, menyoroti tingginya importasi gula. Disebutkan, kebutuhan gula nasional 8,04 juta ton dan 70 persen dipenuhi dari impor.
Catatan ini berbeda dengan data BPS yang menyebutkan kebutuhan gula nasional mencapai 6 juta ton per tahun. Dari jumlah ini, kebutuhan gula konsumsi 2,7 juta-2,9 juta ton dan 3,0 juta-3,2 juta ton kebutuhan gula untuk industri (rafinasi).
Di sisi lain, rata-rata produksi gula kristal putih (GKP) Indonesia mencapai 2,1 juta-2,9 juta ton. Dari data ini diketahui terdapat defisit produksi gula konsumsi nasional. Pada saat ini, terdapat 62 pabrik gula berbasis tebu dengan kapasitas terpasang nasional mencapai 316.950 ton tebu per hari (TCD).
Apabila semua pabrik gula ini berproduksi optimal dan efisien, dapat dihasilkan gula sekitar 3,5 juta ton per tahun. Di sektor gula rafinasi, dari kebutuhan 3,0 juta-3,2 juta ton, total kapasitas produksi nasional 3,0 juta-3,2 juta ton. Dengan demikian, sesungguhnya negeri kita mampu memenuhi kebutuhan gula industri.
Untuk kedelai, berdasarkan catatan BPS, total impor mencapai 7,15 juta ton pada 2019, turun 3,42 persen dibandingkan dengan 2018 meski pada 2020 terjadi peningkatan impor 7,53 juta ton. Dalam sejarah, pada 1992, impor kedelai tercatat 1,17 juta ton. Selang 28 tahun kemudian, total impor kedelai mencapai 7,53 juta ton. Peningkatan impor secara tajam ini tak semata kesalahan tata kelola dan kegagalan meningkatkan produksi kedelai lokal.
Mulai 1992 hingga 2020 terjadi pertumbuhan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini mengakibatkan perubahan pola konsumsi rumah tangga, termasuk kebutuhan kedelai dan olahannya.
Industri pangan olahan, mulai dari skala besar hingga rumahan, terus bertumbuh dan bergerak. Termasuk industri pangan berbahan baku kedelai. Dari sini kita bisa menilai, tingginya impor kedelai beriringan dengan terbukanya pasar bebas dan peningkatan proses penambahan nilai komoditas kedelai. Meski kebutuhan kedelai didominasi impor, komoditas ini dikembangkan menjadi produk pangan bernilai tambah yang bisa menggerakkan industri dan ekonomi masyarakat.
Hal serupa terjadi pada gandum. Tren impor gandum meningkat sejak 1980-an. Indonesia adalah salah satu produsen dan eksportir mi instan terbesar di dunia. Bahkan, produk mi instan kita termasuk ke dalam Brand Footprints 2015.
Baca juga: Mi Instan, Tetap di Hati meskipun Pandemi
Industri mi instan kita dengan merek lokal mampu bersanding dengan merek perusahaan global sekelas Coca Cola, Colgate, Lifebuoy, Maggi, Lays, Pepsi, Nescafe, Knorr, dan Dove. Berdasarkan data ini kita bisa menilai, negara kita mampu menghasilkan produk pangan kelas dunia berbasis gandum.
Kebijakan impor gandum dimulai pada zaman Orde Baru. Saat itu, dengan pertimbangan mengisi stok beras yang tipis di pasaran dan harga gandum yang cenderung stabil di tingkat internasional, pemerintah memberikan subsidi gandum yang cukup tinggi melalui subsidi impor dan penyalurannya.
Bahkan, pada 1990-an, pemerintah memberikan subsidi kepada produsen mi instan Rp 760 miliar setiap tahun. Kebijakan lain adalah menjual terigu dengan harga murah, sekitar 50 persen lebih rendah daripada harga internasional. Kebijakan ini didukung dengan kampanye iklan produk olahan gandum yang masif di media massa.
Mengubah budaya pola konsumsi ini tentunya tidak semudah membalik telapak tangan, apalagi preferensi konsumen sudah terbentuk dan saat ini kita berada di era perdagangan bebas. Maka, strategi yang paling sesuai adalah menggencarkan kampanye kembali pada konsumsi dan keanekaragaman pangan lokal nonberas dan nonterigu.
Kementan melalui Badan Ketahanan Pangan (BKP) telah menetapkan Peta Jalan Diversifikasi Pangan Lokal 2020-2024 yang meliputi enam komoditas pangan lokal, yaitu ubi kayu, jagung, sagu, kentang, pisang, dan talas. Program ini masif dilaksanakan dari hulu ke hilir secara terintegrasi dan melibatkan multisektor.
Kepentingan publik
Pemerintah selalu berkomitmen untuk memastikan kebutuhan pangan nasional dapat dipenuhi terlebih dahulu oleh produksi dalam negeri. Karena itu, anggaran pemerintah di sektor pertanian terus difokuskan pada upaya meningkatkan produktivitas pangan nasional sekaligus memerhatikan kesejahteraan petani, antara lain untuk penyediaan benih unggul, alat mesin pertanian, subsidi pupuk, rehabilitasi irigasi, dan lain sebagainya.
Maka ketika pada awal tahun 2021 sempat ada wacana dari sejumlah pihak untuk mengimpor beras, pemerintah melihat data produksi dan kebutuhan konsumsi secara teliti dan hati-hati. Keputusan menolak atau mendukung tidak bisa diambil secara gegabah karena bisa merugikan masyarakat dan petani.
Hasil prognosa dan koordinasi antar lembaga terkait pangan dan logistik memastikan bahwa produksi beras nasional masih mencukupi. Presiden Joko Widodo pun mengeluarkan pernyataan bahwa pemerintah tidak akan mengimpor beras. Pernyataan Presiden tersebut merupakan komitmen keberpihakan pemerintah terhadap kepentingan publik, juga sekaligus menjadi bukti nyata urgensi membaca data secara obyektif.
Dalam konteks analisis data pangan, diskusi, kritik dan input yang diberikan harus berbasis kepentingan rakyat. Pemerintah tentu membutuhkan saran untuk menjadi perbaikan dalam membuat kebijakan, tetapi yang lebih penting adalah membangun optimisme dan menjaga semangat positif masyarakat di tengah situasi krisis dan pandemi saat ini.
Kuntoro Boga Andri, Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian.