Setiap bulan September kita diingatkan, pekerjaan rumah kita hanyalah bagaimana merias monster yang kian uzur tersebut agar senantiasa tampak beringas, tetap meyakinkan sebagai musuh yang mengganggu tidur nyenyak kita.
Oleh
Bre Redana
·3 menit baca
Bagi bangsa ini, bulan September waktunya ”reinventing the enemy”—menemukan kembali musuh bersama. Setiap bangsa butuh musuh bersama. Musuh diperlukan untuk membentuk persatuan kita, merumuskan identitas kita, dan menentukan ukuran mengenai sistem nilai kita, seberapa layak secara moral kita pantas merasa diri berharga.
Saya membaca buku Umberto Eco, Inventing the Enemy (2011), dan merasakan bagaimana ia merasa sial ketika tersadar bahwa selama 60 tahun terakhir (pernyataan ia ungkapkan saat memberikan ceramah di Universitas Bologna, 15 Mei, 2008) Italia ternyata tidak memiliki musuh yang sesungguhnya. Dulu, kata dia, Italia disatukan oleh kehadiran Austria berikut gambaran ordo Teutonik yang menyeramkan. Beruntunglah Italia kala itu, beruntunglah Mussolini yang kemudian dikenal dunia sebagai diktator fasis.
Apa pula jadinya Amerika Serikat ketika yang mereka anggap setan, yakni Uni Soviet, pudar. Negeri terancam kehilangan jati diri sebelum secara tak terduga muncul Osama bin Laden. Tanpa susah payah Presiden George W Bush mendapat kesempatan untuk menemukan musuh baru yang bisa dianggap tak kalah mengerikan, bermanfaat untuk menguatkan kembali identitas nasional dan kekuasaannya sendiri.
Nah, dengan perbandingan di atas, beruntunglah bangsa ini. Selama lebih dari setengah abad kita masih punya musuh bersama, yang bernama PKI/komunisme. Monster ini diakrabi dari bocah sampai kakek-nenek, dari intelektual sampai pegawai negeri.
Setiap bulan September kita diingatkan, pekerjaan rumah kita hanyalah bagaimana merias monster yang kian uzur tersebut agar senantiasa tampak beringas, tetap meyakinkan sebagai musuh yang mengganggu tidur nyenyak kita. Agar kita tetap bisa merasa bermartabat, menjadi makhluk lebih unggul daripada komunis.
Kadang kala terasa bukan pekerjaan mudah
Lihat kesulitannya. Katakanlah komunis bukan cuma musuh manusia, tetapi juga musuh Tuhan dan musuh agama. Pada perkembangannya, banyak orang merasakan repotnya overdosis agama. Dalam berbagai platform media sosial diserukan munculnya kelompok mabuk agama, disebut dengan nama spesies yang berasal dari gurun.
Bagaimana ini? Menambahi keburukan komunis dengan spesies baru itu jelas tidak mungkin dilakukan, kecuali oleh idiot. Keduanya merupakan entitas bertentangan.
Pada zamannya, komunisme mengusung semboyan ”sama rata sama rasa”, slogan yang memperlihatkan cacat lahir monster ini. Semboyan demikian bisa diketawakan berguling-guling saat ini.
Mana mungkin ada sama rata sama rasa. Terlebih pada zaman kapitalisme global, semangat tersebut bertentangan dengan anjuran para motivator bahwa setiap individu bisa menggapai matahari. Kalau ada yang tidak mampu, dipastikan individu yang bersangkutan malas. Tidak bisa bermimpi setinggi-tingginya.
Apakah hidup cukup dibangun dengan mimpi. Yang mengajukan pertanyaan demikian adalah pecundang. Lupa bahwa bangsa ini zaman dulu adalah bangsa besar. Bisa membangun Borobudur. Sekarang saatnya menjadi pelopor dunia, membangun apa saja, meski sains dan penelitian kita, sama dengan sistem pendidikan kita, terbelakang.
Dibantu media massa yang gumunan, kita melihat anak-anak muda—sebutannya agak membosankan, yakni milenial—menjadi kaya dalam sesaat. Uangnya triliunan. Sebagian dari mereka diangkat jadi staf ahli penguasa. Mungkin niatnya siapa tahu menginspirasi semua anak muda bangsa, meski tak punya prestasi, bisa punya uang triliunan dalam waktu cepat.
Jangan buang-buang waktu dan uang untuk membuat mural di tembok-tembok kota. Lebih baik uang digunakan untuk membeli makanan. Biar tidak lapar.
Kalau proyek mendandani PKI/komunis sebagai monster yang tetap menyeramkan gagal, dikhawatirkan pihak yang kenyang dan berkuasa melihat pihak yang kelaparan sebagai the other, liyan. Kelewat kenyang dan berkuasa, mereka tidak bisa lagi merasakan penderitaan pihak lain, termasuk rasa keadilan yang dipermainkan tiap hari.
Ini risiko ketika komunis menjadi ”the only game in town”. Gawat kalau kita tidak mampu mengembangkan kreativitas, menjadikannya lebih buruk daripada penindas, koruptor, predator seks, makelar keadilan, dan lain-lain. Kita menanggung dua kegagalan sekaligus: gagal memperjelek musuh, gagal memperbaiki diri.
Bingung karena merasa terancam tidak tahu oleh apa, dibenarkan kaum mapan, tembok dimusuhi, yang menyuarakan protes, kelaparan, dan kepahitan hidup ditangkapi.