Berita tentang kasus korupsi di Indonesia barangkali sudah dalam level memuakkan: terus-menerus dan tanpa rasa malu sedikit pun. Lebih ironis lagi, beberapa kasus korupsi itu dilakukan dalam ikatan keluarga.
Oleh
P Citra Triwamwoto
·3 menit baca
Sepanjang minggu pertama September 2021, Kompas penuh dengan berita-berita korupsi. Selasa (31/8) ada OTT KPK di Kabupaten Probolinggo, Rabu (1/9) korupsi dalam dinasti politik, Senin (6/9) penetapan Bupati Banjarnegara sebagai tersangka korupsi.
Informasi tentang kasus korupsi tersebut sudah lengkap. Pendapat para akademisi dari berbagai perguruan tinggi juga sudah disampaikan. Tetapi, lalu apa?
Berita tentang kasus korupsi di Indonesia barangkali sudah dalam level memuakkan: terus-menerus dan tanpa rasa malu sedikit pun. Lebih ironis lagi, beberapa kasus korupsi itu dilakukan dalam ikatan keluarga.
Kompas, Rabu (1/9), mencatat nama-nama Ratu Atut Chosiyah dan Tubagus Chaeri Wardana (kakak-adik), Sri Hartini dan Haryanto Wibowo (istri-suami), Atty Suharti dan M Itoc Tochija (istri-suami), Tubagus Iman Ariyadi dan Aat Syafaat (anak-bapak), Rita Widyasari dan Syaukani Hasan Rais (anak-bapak), Adriatma Dwi Putra dan Asrun (anak-bapak), Puput Tantriana Sari dan Hasan Aminuddin (istri-suami).
Fenomena korupsi ini memburamkan nilai kekeluargaan, bebrayan, paguyuban, di mana masyarakat lebih mementingkan keharmonisan. Tindak korupsi jelas-jelas dilakukan demi kepentingan diri sendiri.
Masyarakat menjadi korban, karena uang yang menurut anggaran seharusnya untuk pembangunan dan kesejahteraan semua warga malah diakui sebagai milik pribadi dan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi.
Kompas (6/9) mencatat, Kabupaten Banjarnegara, Kebumen, dan Purbalingga, yang kepala daerahnya korupsi, adalah kabupaten termiskin se-Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Kebumen termiskin ke-1. Kabupaten Purbalingga termiskin ke-5. Kabupaten Banjarnegara termiskin ke-6. Jelaslah bahwa hak rakyat untuk hidup sejahtera dikalahkan oleh tindak korupsi kepala daerah.
Tindak korupsi ini terlebih telah membuyarkan tugas mulia suami-istri dalam merawat anak. Pasti, hanya yang baik yang akan dihadirkan dalam sebuah keluarga. Nilai kerohanian, kejujuran, kebaikan hati, dan semangat berbagi seharusnya menjadi oksigen sebuah keluarga.
Di sisi lain, tidak ada hal baik apa pun yang bisa dipelajari dari tindak korupsi. Jadi, mengapa korupsi sampai dilakukan oleh orang di dalam ikatan keluarga?
Nilai apa yang hendak diwariskan? Bagaimana masa depan anak disiapkan? Apakah uang yang didapat dari korupsi menjadi perekat utama keluarga?
Satu yang jelas, pendidikan (ber)korupsi sudah dimulai di keluarga. Dari sini robohnya suatu bangsa dimulai.
P Citra Triwamwoto
Srengseng Sawah, Jakarta Selatan
Keluhan Parkir
Banyak pengguna kendaraan mengeluhkan pungutan parkir di Kota Medan, Sumatera Utara, baik roda dua maupun roda empat.
Saat kesulitan mencari tempat parkir, tidak tampak satu pun petugas parkir. Namun, saat kendaraan akan meninggalkan tempat, petugas parkir muncul minta bayaran.
Tidak semua tempat ada rambu parkirnya. Namun, di hampir semua ruas jalan ada pungutan parkir. Lokasi usaha yang memiliki tempat parkir juga kena pungutan.
Masyarakat sebenarnya tidak begitu mempermasalahkan situasi ini sepanjang mereka menerima manfaat, uang masuk ke kas negara, dan tidak terkesan pemaksaan.
Masyarakat pun tetap membayar meski petugas parkir tidak memberikan karcis parkir dan bahkan tidak memakai seragam.
Retribusi parkir tepi jalan di Kota Medan Rp 3.000 untuk roda empat dan Rp 2.000 atau Rp 1.000 bagi kendaraan roda dua sesuai kelas ruas jalan.
Jumlah penduduk Kota Medan (data BPS 2019) adalah 2.279.894 orang dengan kelompok umur 35-74 tahun berjumlah 830.714 orang. Jika 30 persen saja kita anggap memiliki satu kendaraan, maka ada 249.214 kendaraan.
Jika kendaraan tersebut minimal sekali dalam sehari parkir di tepi jalan dengan biaya rata-rata Rp 2.000, akan diperoleh Rp 498.428.000. Dalam sebulan bisa Rp 12,46 miliar untuk 25 hari dan setahun bisa mencapai Rp 149,52 miliar.
Ini jauh lebih besar dari pemberitaan target penerimaan parkir tepi jalan Rp 48,8 miliar pada 2019, sementara penerimaan jauh di bawah target, Rp 24,1 miliar (Antaranews.com, 19/1/2021). Tidak jelas, mengapa jauh berbeda.
Jika pengelolaannya dioptimalkan, retribusi parkir tepi jalan pasti dapat berkontribusi signifikan untuk PAD.