Kekerasan oleh aparat kepolisian kontradiktif dengan konsepsi pemolisian demokratik yang mengandung karakteristik HAM. Polri telah memiliki instrumen pemolisian demokratik, pelaksanaannya yang masih menjadi PR besar.
Oleh
IKHSAN YOSARIE
·5 menit baca
Pelaksanaan pemolisian demokratik (democratic policing) menjadi pekerjaan rumah besar bagi Polri. Evaluasi tersebut berangkat dari pelbagai catatan kasus tindak kekerasan dan penyiksaan yang melibatkan aparat sebagai pelaku.
Kultur kekerasan yang masih tumbuh subur di internal Polri tersebut secara nyata mencerminkan belum prioritasnya perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia bagi Polri. Selain itu, juga menunjukkan tidak dipahaminya ”responsibilitas” dalam visi Polri: Presisi (prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan).
Setara Institute dalam siaran persnya pada 1 Juli lalu memberikan sejumlah catatan evaluatif terkait perlindungan HAM yang belum memperoleh perhatian dan menjadi prioritas Polri. Sebab, beberapa peristiwa justru menunjukkan kontradiksi dengan konsepsi pemolisian demokratik. Pertama, peragaan kekerasan aparat, seperti dalam penanganan unjuk rasa #ReformasiDikorupsi tahun 2019 dan unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja pada 2020.
Bentuk tindakan kekerasan Polri dapat berupa penganiayaan, pengeroyokan, pemukulan, intimidasi penghapusan video kekerasan aparat, dan lain-lain. Selain itu, tercatat juga adanya pembatasan akses informasi, hingga tindakan penghalang-halangan akses bantuan hukum bagi pengunjuk rasa yang ditangkap.
Ihwal tindakan kekerasan aparat ini dari tahun ke tahun selalu menjadi lokus kritik pelbagai organisasi masyarakat sipil, termasuk oleh Komnas HAM. Bahkan, pada aksi #ReformasiDikorupsi pada 24-30 September 2019, Komnas HAM mencatat ada dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Polri. Dalam catatan Komnas HAM pun, Polri menjadi lembaga yang paling banyak diadukan kepada Komnas HAM sepanjang 2020, di antaranya terkait lambannya penanganan kasus, dugaan kriminalisasi, proses hukum tidak sesuai prosedur, dan dugaan kekerasan.
Kedua, kultur kekerasan juga terlihat dalam peristiwa yang terjadi di ruang tahanan Polri. Kasus Herman, tahanan yang tewas di sel Mapolresta Balikpapan pada Desember 2020, menjadi cerminan puncak gunung es peristiwa serupa. Dalam kasus Herman, Polri telah menetapkan 6 (enam) polisi menjadi tersangka. Kekerasan dan dugaan praktik penyiksaan terjadi karena model penyelidikan, interogasi yang dilakukan polisi untuk memperoleh pengakuan dan informasi dengan cara kekerasan, seharusnya menjadi masa lalu karena bertentangan dengan pemolisian demokratik.
Dalih kepolisian bahwa si korban dianiaya oleh tahanan lain bukanlah pembenaran yang bisa diterima, melainkan justru menunjukkan kompleksitas praktik penyiksaan ini, mulai dari dugaan dilakukan pihak kepolisian, tahanan lain, kelalaian kepolisian dalam menjaga para tahanan, hingga ketidakmampuan kepolisian dalam menjamin rasa aman, penegakan hukum, dan HAM setiap tahanan.
Ketiga, praktik kekerasan yang dialami Luthfi (20), pemuda pembawa bendera yang viral saat unjuk rasa di DPR. Di hadapan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (20/1/2020), Luthfi mengaku dianiaya oleh penyidik kepolisian saat dimintai keterangan di Polres Jakarta Barat, yang bertujuan memperoleh pengakuan bahwa dirinya telah melempar batu kepada aparat kepolisian yang saat itu tengah mengamankan aksi di depan Gedung MPR/DPR. Tindakan kekerasan oleh aparat itu membuat Luthfi terpaksa mengakui perbuatannya.
Tindakan kekerasan oleh aparat itu membuat Luthfi terpaksa mengakui perbuatannya.
Keempat, isu penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian yang juga perlu disoroti dengan serius. Sebab, penggunaannya sering dinilai bukan lagi berorientasi untuk melumpuhkan target, melainkan mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang atau beberapa orang warga negara.
Polri sebenarnya telah memiliki Peraturan Kepolisian Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, yang mengatur tahapan dan orientasi penggunaan senjata api, sebagai bagian dari standar yang harus dipatuhi oleh anggota Polri. Namun, dalam beberapa kasus, seperti penembakan enam anggota Laskar Pembela Islam (FPI) pada 7 Desember 2020, penembakan terhadap ZA (25) yang melakukan penyerangan di Mabes Polri pada 31 Maret lalu, serta penembakan terhadap seorang DPO kasus judi di Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat, menunjukkan bahwa kepatuhan pada peraturan tersebut belum sepenuhnya diinternalisasi dan dipedomani.
Menurut Setara Institute, dalam kasus-kasus penembakan yang mematikan, semestinya Polri menerbitkan white paper sebagai bagian dari akuntabilitas penggunaan senjata api. White paper ini menjelaskan kepada publik tentang peristiwa-peristiwa tersebut dan level keberbahayaannya sehingga tidak menimbulkan kontroversi. White paper itulah yang akan menjadi ruang pembelaan Polri untuk mempertanggungjawabkan tindakannya, termasuk memberikan pengakuan jujur tentang potensi unprocedural conduct sehingga memberikan sanksi kepada anggota.
Suburnya kultur kekerasan Polri tersebut juga terlihat pada catatan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Sepanjang Juni 2020 hingga Mei 2021 di tengah pandemi Covid-19, KontraS mencatat 651 dugaan kekerasan melibatkan aparat Polri. Dari catatan KontraS, disebutkan bahwa dugaan kekerasan tertinggi terjadi di tingkat polres, yakni 399 kasus. Sementara di tingkat polda sebanyak 135 kasus dan di tingkat polsek 117 kasus.
Karakteristik HAM yang kuat
Dalam bukunya, Tito Karnavian dan Hermawan Sulistyo (2017) menjelaskan bahwa berkembangnya sistem demokrasi telah mendorong kebutuhan dan keharusan bagi lembaga kepolisian untuk menjalankan tugasnya sesuai dengan tuntutan masyarakat demokratik. Pemolisian demokratik mengandung karakteristik HAM yang kuat, yang kemudian mewujud kepada kewajiban kepolisian untuk memberi penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), dan pemenuhan (to fulfill) terhadap HAM.
Dalam konsepsi pemolisian demokratik, misalnya oleh Jeremy Travis (1998), karakteristik HAM terlihat pada keharusan polisi bekerja sesuai prinsip demokrasi, salah satunya memahami standar HAM. Kemudian tindak tanduk polisi harus sesuai dengan martabat manusia dan HAM.
Polri pada dasarnya juga telah memiliki instrumen pemolisian demokratik yang kuat. Pengaturan dengan karakteristik pemolisian demokratik dapat dilacak, salah satunya Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
Dalam Pasal 2 Ayat (1) disebutkan bahwa maksud dari peraturan ini adalah sebagai pedoman dasar implementasi prinsip dan standar hak asasi manusia dalam setiap penyelenggaraan tugas Polri. Selain itu, juga menjelaskan prinsip-prinsip dasar HAM agar mudah dipahami oleh seluruh anggota Polri dari tingkat terendah sampai yang tertinggi dalam pelaksanaan tugas kepolisian di seluruh wilayah Indonesia.
Ikhsan Yosarie, Peneliti HAM dan Sektor Keamanan Setara Institute