Lompatan Prestasi Paralimpiade
Cacat raga atau tidak, bukanlah ukuran kemampuan seseorang, prestasi olahraga bisa menjadi tolak ukur nyata kemajuan sebuah bangsa, tetapi di sisi lain juga menjadi pembuktian negara hadir mewujudkan keadilan sosial.
Paralimpiade Tokyo 2020 sudah berakhir penuh dengan kegembiraan dan kebanggaan, yang memperlihatkan atlet-atlet penyandang disabilitas Indonesia mampu meraih lompatan prestasi.
Indonesia untuk pertama kalinya meraih medali emas dalam sejarah Paralimpiade modern. Paralimpiade selalu mengikuti perhelatan Olimpiade sejak Olimpiade Seoul tahun 1988.
Dua medali emas, tiga medali perak, dan empat medali perunggu membawa Indonesia berada di peringkat ke-43, naik jauh dibandingkan Paralimpiade Rio tahun 2016. Saat itu Indonesia berada di peringkat 76 dengan hanya satu medali perunggu. Jumlah ini juga terbanyak selama sejarah keikutsertaan Indonesia di Paralimpiade sejak 1979 di Toronto.
Cabang olahraga parabadminton, yang baru pertama kali dipertandingkan di Tokyo 2020 sepanjang sejarah Paralimpiade, menjadi penyumbang terbanyak dengan dua medali emas, dua medali perak, dan dua medali perunggu.
Leani Ratri Oktila menjadi primadona dengan perolehan dua keping emas, masing-masing berpasangan dengan Hary Susanto (ganda campuran SL3-SU5) dan dengan Khalimatus Sadiyah (ganda putri SL3-SU5). Ratri juga menyumbang sebuah medali perak dari nomor tunggal putri SL4.
Raihan gemilang Indonesia di cabang olahraga parabadminton merupakan kelanjutan prestasi yang dicapai di tingkat regional ASEAN Para Games 2017 Kuala Lumpur, Asian Para Games 2018 Jakarta, ataupun di Kejuaraan Dunia Parabadminton 2019 Basel.
Fakta-fakta ini membuktikan bahwa membangun prestasi bukanlah sesuatu yang instan.
Indonesia juga aktif menyelenggarakan kejuaraan internasional Indonesia Open Parabadminton yang merupakan kejuaraan di kalender resmi Federasi Badminton Dunia (Badminton World Federation/BWF).
Dalam ajang olahraga multicabang tingkat ASEAN, Indonesia menjadi juara umum ASEAN Para Games (APG) sebanyak dua kali, yaitu APG VII Naypyidaw 2014 dan APG IX Kuala Lumpur 2017. Fakta-fakta ini membuktikan bahwa membangun prestasi bukanlah sesuatu yang instan.
Dukungan pemerintah, akademisi, dan masyarakat
Keberhasilan prestasi ini tidak lepas dari kepercayaan dan dukungan kuat pemerintah kepada Komite Paralimpik Nasional (National Paralympic Committee/NPC) Indonesia. Sejak 2015, NPC menjadi organisasi mandiri dan berdiri sendiri, tak lagi di bawah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) ataupun Komite Olimpiade Indonesia (KOI).
Hal ini memang sejalan dengan konsensus internasional, yang menyatakan pengelolaan olahraga penyandang disabilitas menjadi kewenangan dari NPC negara setempat, baik olahraga prestasi elite maupun akar rumput.
Dengan manajemen dan pendanaan yang independen, NPC Indonesia fokus berkembang menjadi organisasi olahraga disabilitas yang maju dan terbuka. Fasilitas yang dimiliki sudah diperbaiki sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan aksesibilitas atlet-atlet disabilitas.
Kementerian Pemuda dan Olahraga dari tahun ke tahun terus meningkatkan dukungan kepada NPC. Pada beberapa Paralimpiade sebelumnya, kontingen Indonesia hanya menyertakan sembilan atlet (Rio 2016) dan empat atlet (London 2012), yang masing-masing menghasilkan satu perunggu.
Di Paralimpiade Tokyo 2020, Pemerintah Indonesia memberikan kepercayaan kepada NPC untuk mengirimkan 21 atlet, yang akhirnya mampu dijawab dengan lompatan prestasi yang baik.
NPC Indonesia juga mampu melakukan pelatihan terpusat di Surakarta, Jawa Tengah, tempat kantor pusat NPC berada sejak awal sejarah olahraga disabilitas nasional 1951.
Pelatihan terpusat terus dilakukan dengan konsisten dan protokol kesehatan yang ketat di tengah ketidakpastian situasi pandemi Covid-19 serta penundaan pelaksanaan Olimpiade-Paralimpiade dari tahun 2020 ke 2021. Pemerintah Kota Surakarta dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah juga sangat mendukung keberadaan NPC Indonesia dan atlet-atlet disabilitas di wilayahnya.
Di balik kesuksesan pengelolaan prestasi olahraga disabilitas, ada peran yang tampak nyata dari dunia perguruan tinggi, khususnya Fakultas Keolahragaan Universitas Sebelas Maret Surakarta (FKOR UNS). Sebagian besar sivitas akademika FKOR UNS aktif mendukung kegiatan di NPC Indonesia, baik sebagai pelatih, ofisial teknis (NTO/ITO), maupun petugas klasifikasi.
Klasifikasi merupakan ciri khas pada olahraga disabilitas, dengan setiap nomor pertandingan masih dibedakan lagi berdasarkan jenis dan kelas disabilitasnya, untuk meyakinkan bahwa pertandingan berjalan dengan adil.
Ada beberapa di antara mahasiswa pascasarjana FKOR UNS yang mengambil olahraga disabilitas sebagai proyek penelitian, baik untuk tesis S-2 maupun disertasi S-3, yang hasil-hasilnya juga bisa menjadi umpan balik bagi perkembangan prestasi atlet.
Fenomena ini merupakan wujud nyata kolaborasi ilmu olahraga (sport science) untuk peningkatan prestasi. Banyak cabang olahraga baru Paralimpiade yang baru-baru ini berkembang dan proses adopsinya ke Indonesia difasilitasi oleh para akademisi muda, seperti cabang olahraga boccia dan anggar kursi roda.
Beberapa organisasi masyarakat setempat dan organisasi filantropis nasional pun ikut mendukung berkembangnya NPC Indonesia.
Beberapa organisasi masyarakat setempat dan organisasi filantropis nasional pun ikut mendukung berkembangnya NPC Indonesia. Salah satu perusahaan swasta nasional yang bergerak di bidang otomotif juga aktif melakukan kampanye tentang mobilitas, yang sesuai dengan inspirasi yang diberikan dari prestasi dan keterbatasan atlet disabilitas. Salah satu perusahaan migas juga menjadikan NPC Indonesia mitra eksklusifnya.
Bagaimana dengan peran masyarakat yang tak bersentuhan langsung dengan olahraga disabilitas? Publik diajak untuk tidak lagi merasa iba ataupun kasihan kepada para atlet disabilitas, tetapi memberi dukungan, menaruh kebanggaan nasionalisme, dan menjadikan prestasi mereka sebagai inspirasi serta rasa syukur dalam menjalani tantangan hidup.
Bangsa Indonesia semakin bergerak menuju budaya olahraga yang inklusif bagi semua golongan, termasuk atlet penyandang disabilitas. Hal ini membutuhkan edukasi dan penyuluhan terus-menerus mengenai keberadaan olahraga penyandang disabilitas.
Olahraga disabilitas dalam ekosistem olahraga nasional
Ke depan, pemerintah perlu memastikan agar sistem kompetisi olahraga disabilitas berjalan dengan baik. Pekan Paralimpik Nasional (Peparnas) dan Pekan Paralimpik Pelajar Nasional (Pepapernas) harus semakin terselenggara dengan baik, dengan menambah cabang-cabang olahraga yang dipertandingkan, untuk memastikan regenerasi, pembinaan, dan pembudayaan yang berkelanjutan.
Merujuk pada harmonisasi Olimpiade-Paralimpiade di tingkat internasional, penyelenggaraan PON-Peparnas dan Pekan Olahraga Pelajar Nasional (Popnas)-Pepapernas juga senantiasa dikelola secara setara, sinergis, dan dilakukan konsisten secara berturutan (back to back).
Demikian pula dengan kejuaraan nasional tiap-tiap cabang olahraga disabilitas harus diadakan dengan rutin dan berkesinambungan.
Saat ini setidaknya ada 19 cabang olahraga disabilitas yang aktif dimainkan di Indonesia.
Sekolah Khusus Olahraga (SKO) Penyandang Disabilitas yang dibentuk tahun 2018 juga perlu dikembangkan lebih lanjut, baik jumlah siswa, jumlah cabang olahraga, maupun lokasi-lokasi di seluruh Nusantara.
Pemerintah daerah diharapkan mengambil peran serius dalam program dan anggaran pengembangan olahraga disabilitas, termasuk SKO provinsi/kota/kabupaten. Dari SKO ini diharapkan muncul atlet muda disabilitas potensial dan membangun kesetaraan di bidang pendidikan olahraga.
Transformasi revolusioner olahraga nasional dibutuhkan sebagai strategi menatap Olimpiade/ Paralimpiade Paris 2024 yang sudah kurang dari seribu hari lagi. Olahraga disabilitas selayaknya menjadi bagian tidak terpisahkan dari ekosistem olahraga nasional.
Baca juga : Pemerintah Pertegas Kesetaraan Olahraga Disabilitas dan Normal
Pemangku kepentingan beberapa cabang olahraga yang sama antara Olimpiade dan Paralimpiade bisa saling bersinergi untuk penyelenggaraan pertandingan dan pencapaian prestasi, selain menjadi wujud nyata kesetaraan dan inklusivitas dalam masyarakat.
Olahraga disabilitas pun mampu menjadi industri olahraga yang besar, setidaknya dibuktikan dengan perkembangan pesat Komite Paralimpiade Internasional (IPC) dalam dua dekade terakhir.
Desain besar olahraga Indonesia, baik menuju prestasi Olimpiade maupun Paralimpiade, tentu membutuhkan pembinaan jangka panjang dan berkelanjutan. Mimpi Indonesia untuk menjadi tuan rumah Olimpiade harus juga diwujudkan dengan perbaikan prestasi, tidak hanya pada olahraga normal, tetapi juga di bidang olahraga disabilitas, karena tentunya penyelenggaraan Olimpiade dan Paralimpiade pasti jatuh kepada tuan rumah yang sama.
Seperti disampaikan tokoh pendiri olahraga disabilitas di Indonesia, Prof Dr R Soeharso, bahwa ”cacat raga atau tidak, bukanlah ukuran kemampuan seseorang”.
Prestasi olahraga bisa menjadi tolok ukur nyata kemajuan sebuah bangsa, tetapi di sisi lain juga menjadi pembuktian bahwa negara hadir untuk mewujudkan keadilan sosial dan budaya olahraga inklusif kepada semua golongan masyarakat.
Nino Susanto, Anggota Komisi Pertandingan Komite Paralimpiade Asia; Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia