Merdeka dari Resesi
Penanganan krisis kesehatan dan ekonomi sebagai dampak pandemi untuk menyelamatkan sebanyak mungkin jiwa manusia Indonesia dari ancaman pandemi Covid-19, sekaligus mencapai pertumbuhan ekonomi yang positif ke depannya.
Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengeluarkan data terkini yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II-2021 telah memasuki zona positif.
Pertumbuhan triwulan II-2021 tercatat 7,07 persen dibandingkan triwulan II-2020 (yoy) dan 3,31 persen dibandingkan triwulan I-2021 (qtq). Pertumbuhan PDB 7,07 persen itu raihan tertinggi sejak triwulan IV-2014 yang mencapai 7,16 persen. Keberhasilan pencapaian pertumbuhan positif ini sekaligus menandakan Indonesia sudah merdeka dari cengkeraman resesi yang terjadi setahun terakhir.
Ekonomi Indonesia pada akhirnya mampu bergerak, dari yang sebelumnya berada pada zona bust, kembali memasuki zona boom. Pertumbuhan positif ini dari sisi pengeluaran dimotori oleh tiga faktor utama, yaitu tingginya konsumsi masyarakat, peningkatan investasi dan juga belanja pemerintah.
Sedangkan industri pengolahan, perdagangan, transportasi dan pergudangan serta akomodasi dan makan minum, merupakan penyumbang terbesar dalam pertumbuhan ekonomi triwulan II-2021. Membaiknya kondisi ekonomi Indonesia ini tak terlepas dari berhasilnya kebijakan ekonomi yang dilakukan pemerintah yang terbukti telah memberikan hasil yang nyata.
Keluarnya Indonesia dari jurang resesi pada triwulan II-2021 juga tak terlepas dari cepatnya pemulihan yang dialami raksasa ekonomi global seperti AS, China dan beberapa negara maju lain. Ekonomi AS tumbuh 12,2 persen pada periode yang sama, sedangkan China 7,9 persen, Korea Selatan 5,9 persen dan Jepang diproyeksikan tumbuh 1,7 persen.
Cepatnya pemulihan ekonomi negara-negara itu tentunya akan menggerakkan mesin ekonomi global dan regional, termasuk Indonesia, Singapura (14,3 persen), Vietnam (6,61 persen), Filipina (10,6 persen).
Di samping itu, membaiknya ekonomi Indonesia juga tidak terlepas dari program vaksinasi nasional yang telah dijalankan oleh pemerintah. Hingga 4 September 2021, sudah 66,35 juta penduduk yang mendapatkan vaksin pertama, 38 juta orang mendapatkan vaksin kedua dan 706.578 orang vaksin ketiga.
Membaiknya IKK ini bukti masyarakat kian percaya dan yakin dengan pemulihan ekonomi yang sedang berjalan.
Indikator pemulihan
Pertumbuhan ekonomi yang memasuki zona positif pada triwulan II-2021 tersebut, dapat dilihat dari membaiknya berbagai indikator ekonomi. Pertama, kenaikan konsumsi rumah tangga dan investasi yang telah menyumbangkan 84,93 persen pertumbuhan ekonomi triwulan II-2021.
Kenaikan konsumsi rumah tangga ini didukung oleh meningkatnya optimisme konsumen pada triwulan II-2021, di mana Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) naik dari 101,5 pada April menjadi 107,4 pada Juni 2021. Membaiknya IKK ini bukti masyarakat kian percaya dan yakin dengan pemulihan ekonomi yang sedang berjalan.
Optimisme ini tetap harus tetap dijaga dan dipertahankan dalam kondisi pandemi, khususnya pada saat pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) sekarang ini.
Kedua, mesin-mesin pabrik dan industri yang menjadi penyokong pertumbuhan ekonomi juga telah memperlihatkan kenaikan produksi. Indikator Purchasing Managers’ Index (PMI) pada Juni 2021 berada di zona ekspansif dengan angka 53,5, jauh dibandingkan Juni 2020 yang berada di zona kontraksi dengan angka 39,1.
Pencapaian PMI Indonesia ini juga lebih tinggi dibandingkan negara ASEAN lain seperti Singapura (50,8), Malaysia (39,9), Thailand (49,5), Filipina (50,8), dan Vietnam (44,1).
Salah satu bukti melesatnya mesin-mesin pabrik itu terlihat pada industri otomotif yang membukukan penjualan 72.720 unit mobil pada Juni 2021 lalu. Dengan demikian, selama semester I-2021 penjualan mobil telah mencapai 393.569 unit. Jauh melebihi periode yang sama 2020 yang hanya 260.933 unit. Kenaikan penjualan ini tak terlepas dari adanya pemberian insentif Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), pelonggaran uang muka kredit dan relaksasi bobot risiko kredit.
Ketiga, membaiknya kinerja ekspor triwulan II-2021 yang tumbuh sekitar 56 persen dibandingkan periode sama 2020. Kenaikan ekspor terjadi di hampir semua sektor, khususnya migas dan hasil pertanian, didorong oleh naiknya harga komoditas di pasar global.
Kenaikan ekspor ini berkaitan erat dengan meningkatnya permintaan dari negara-negara mitra dagang Indonesia yang mengalami pemulihan ekonomi lebih cepat dari perkiraan. Membaiknya kinerja ekspor akan memberikan dampak turunan lainnya, yaitu memperbaiki kinerja korporasi, lapangan kerja dan mendorong perbaikan neraca transaksi berjalan.
Keempat, membaiknya kondisi ekonomi juga tercermin dari pertumbuhan jumlah uang beredar dalam arti luas (M2) pada Juni 2021 yang mencapai 11,4 persen (yoy). Salah satu pendukung kenaikan M2 adalah bertambahnya M1, yaitu uang kartal yang dipegang oleh masyarakat dan uang giral yang ada di perbankan. Jumlah M1 mencapai Rp 1.915,5 triliun pada Juni 2021 atau mengalami kenaikan 17,0 persen (yoy).
Kenaikan likuiditas ini juga didukung pertumbuhan kredit perbankan pada Juni 2021 sebesar 0,59 persen (yoy) sehingga total kredit mencapai Rp 5.572,8 triliun pada periode tersebut. Walaupun pertumbuhan kredit ini masih relatif kecil, setidaknya itu telah memberikan sinyal bahwa perbankan sudah mulai berani menyalurkan kredit guna mendukung kegiatan bisnis dan pelaku usaha.
Potensi gangguan
Kenaikan ekspor terjadi di hampir semua sektor, khususnya migas dan hasil pertanian, didorong oleh naiknya harga komoditas di pasar global.
Walaupun kinerja ekonomi kita sudah keluar dari jalur resesi pada triwulan II-2021, namun tantangan pertumbuhan ekonomi yang dihadapi pada triwulan berikutnya tidaklah mudah. Ada beberapa tantangan dan potensi gangguan yang langsung maupun tidak langsung memengaruhi kelanjutan kinerja ekonomi yang mengalami pertumbuhan positif.
Pertama, munculnya varian Delta menjadi salah satu faktor yang dapat menghambat dan mengganggu upaya pemulihan ekonomi pada triwulan berikutnya. Potensi hadirnya varian baru lainnya yang lebih ganas dari pada Delta bukanlah sesuatu yang mustahil akan muncul sewaktu-waktu.
Kedua, pengetatan mobilitas manusia secara langsung akan mengurangi kegiatan usaha di sektor riil, mengingat makin lama pengetatan dilakukan, makin sulit pelaku usaha menjalankan kegiatan usahanya secara normal. Ini terbukti dengan adanya penurunan Indeks PMI Juli 2021 hingga angka 40,1. Penurunan ini menandakan adanya pengurangan kegiatan usaha dan berhentinya sebagian dari mesin pabrik yang sebelumnya telah berjalan.
Baca juga : Keluar dari Resesi
Peluang dan optimisme ke depan
Momentum pertumbuhan ekonomi yang positif pada triwulan berikutnya perlu terus dijaga dan akan tergantung pada empat faktor utama, yaitu i) pemulihan ekonomi global, ii) kelanjutan dari bauran kebijakan ekonomi makro yang bersifat kontrasiklikal, iii) program vaksinasi nasional, dan iv) pelonggaran mobilitas manusia.
Menurut ramalan Dana Moneter Internasional (IMF), ekonomi global akan tumbuh di kisaran 6 persen di 2021, sedangkan Bank Dunia meramalkan pertumbuhan ekonomi dunia akan mencapai 5,6 persen. Pulihnya ekonomi global, tentunya akan membawa angin segar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia, mengingat Indonesia bagian dari mata rantai ekonomi dan perdagangan dunia.
Membaiknya ekonomi global juga akan memicu kinerja ekspor nasional dan peningkatan investasi asing di Indonesia, sehingga mampu menggerakkan kembali mesin-mesin produksi dan membuka lapangan kerja baru.
Kelanjutan kebijakan ekonomi makro yang bersifat kontrasiklikal masih diperlukan, meski ruang geraknya tak lagi sebesar 2021.
Kelanjutan kebijakan ekonomi makro yang bersifat kontrasiklikal masih diperlukan, meski ruang geraknya tak lagi sebesar 2021. Kebijakan itu bisa dilakukan lewat beberapa cara. Pertama, melanjutkan stimulus fiskal dalam program pemulihan ekonomi nasional (PEN), guna mengatasi krisis kesehatan dan memperkuat daya beli dan konsumsi masyarakat.
Kedua, memperluas pemberian insentif yang difokuskan pada sektor-sektor tertentu, yaitu i) kegiatan usaha yang memiliki dampak berantai terhadap pertumbuhan sektor lainnya, dan ii) sektor UMKM yang mampu menggerakkan ekonomi di daerah dan menampung tenaga kerja yang sangat besar.
Kebijakan moneter ekspansif juga masih tetap diperlukan untuk sementara waktu, agar likuiditas dapat terus mengalir guna mendukung kegiatan ekonomi. Kebijakan lain terkait aspek mikro prudensial yang bersifat akomodatif dan responsif, seperti restrukturisasi kredit dan pengurangan bobot risiko kredit di sektor tertentu, masih perlu dilanjutkan untuk sementara waktu guna mendukung permintaan kredit dan menggerakkan dunia usaha.
Sementara itu, digitalisasi di sektor jasa keuangan perlu terus didorong dan diperkuat dengan perangkat kebijakan dan pengaturan yang akomodatif, guna tetap memperlancar transaksi ekonomi maupun pemenuhan kebutuhan layanan keuangan digital masyarakat.
Selanjutnya, perlu dukungan penuh dari seluruh masyarakat untuk program vaksinasi nasional yang telah dilakukan oleh pemerintah. Percepatan dan penambahan frekuensi vaksinasi perlu ditingkatkan dengan melibatkan berbagai instansi pemerintah maupun swasta.
Untuk mendukung upaya itu, perlu penambahan dan perluasan sentra-sentra vaksinasi di daerah-daerah. Dengan demikian target 70 persen total populasi bisa tercapai secepatnya untuk menciptakan kekebalan komunitas di masyarakat.
Dengan adanya kekebalan komunitas, diharapkan krisis kesehatan berangsur teratasi, sehingga kegiatan ekonomi bisa menggeliat kembali. Dampaknya, pergerakan dan mobilitas manusia bisa diperlonggar guna mendukung kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat.
Semua kebijakan itu sangat diperlukan agar pertumbuhan ekonomi nasional yang sudah bergerak dari posisi bust ke boom bisa terus dipertahankan pada periode berikutnya.
Krisis kesehatan tak bisa diselesaikan tanpa memerhatikan juga aspek ekonomi. Demikian juga sebaliknya. Keduanya saling berkaitan erat dalam mengejar dua tujuan sekaligus, yaitu menyelamatkan sebanyak mungkin jiwa manusia Indonesia dari ancaman pandemi Covid-19, sekaligus mencapai pertumbuhan ekonomi yang positif ke depannya.
Agus Sugiarto Kepala OJK Institute