Menunggu "Jalan Tol" bagi Seni-Budaya
Kenapa pemerintah tak berupaya keras berinvestasi membangun infrastruktur seni dan budaya? Mengapa tak tertarik membangun “jalan tol” industri perfilman, penerbitan, seni visual, media, desain, arsitektur, musik, dll?
Selama 1,5 tahun pandemi Covid-19, pemerintahan Jokowi semakin menampakkan sikap “ekonomi sebagai panglima” dalam krisis ini. Ekonom Faisal Basri sangat lugas menilai yang membuat pandemi ini berlama-lama dan semakin buruk karena kita menuhankan ekonomi dan memberhalakan investasi.
Dalam krisis akibat pandemi ini, kebudayaan sering kali ditempatkan dalam situasi serba salah. Pengalaman di Jakarta, misalnya, anggaran untuk program-program Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 2020 dan 2021 mengalami pemotongan hingga sekitar 60 persen. Alasannya: refocusing anggaran untuk penanganan Covid-19.
Ini tentu alasan yang sukar disanggah para pelaku seni dan budaya. Ada tembok yang tak usah dinyatakan: "Apa kalian pikir, (acara) kalian lebih penting dari penanganan kesehatan?". Kebanyakan pekerja seni budaya, paling hanya menelan ludah, kehilangan kata. Di DKJ saja ada 49 program berskala lokal, nasional, dan internasional yang terbagi dalam enam komite (Seni Rupa, Sastra, Film, Tari, Teater, Musik) dan empat komisi, termasuk komite yang menangani arsip dan koleksi.
Kerugian dari tak berjalannya program bukan sekadar hilangnya “hiburan” bagi masyarakat, tapi lebih fundamental: kehilangan yang merentang dari hilangnya penghidupan (penghasilan, ruang gerak, ruang sosial) seniman, hilangnya bangunan pengetahuan kultural, dan bahkan kerugian fisik dari luruhnya sendi-sendi infrastruktur penyimpanan dan pelestarian arsip dan benda seni yang bernilai miliaran rupiah.
Contoh DKJ hanya sebuah kosmos kecil dalam kebudayaan di negara ini.
Seni film, misalnya, telah menjadi sebuah ekosistem yang rumit, mencakup sebuah ekosistem industri yang sedang tumbuh.
Film bukanlah sekadar kamera, sutradara, dan para pemain. Bukan pula sebatas tambahan tata lampu, genset, atau jajaran post- production. Ada infrastruktur teknologi, regulasi, distribusi, eksibisi, modal insani berskala besar (padat karya), juga dampak berganda (multiplier effect) pada bisnis kuliner, fesyen, jasa penginapan, transportasi, dan sebagainya.
Dalam kerangka industrinya, setiap film adalah sebuah perusahaan tersendiri. Di sini, aspek kebudayaan (yakni sebuah medium seni dan nilai-nilai yang jadi fondasinya) menjadi basis bagi sebuah bentuk kegiatan ekonomi yang kompleks. Hal yang sama juga terjadi pada bidang sastra, musik, tari, teater, dan seni rupa.
Berapakah besaran sirkulasi uang pada Artjog setiap tahun, tanpa menghitung dampak bergandanya? Berapa omzet buku terlaris Dee Lestari atau Sapardi Djoko Damono dan dampak ikutannya ketika menjadi bisnis IP (Intellectual Property)?
Walau jika dibanding omzet industri ekstraktif dan eskploitatif seperti batubara dan sawit akan terlihat besaran sirkulasi ekonomi di bidang kesenian di Indonesia kecil belaka, keruntuhan sektor ekonomi berbasis kesenian bukan sesuatu hal kecil atau bisa dikecil-kecilkan.
Dan, bukankah skala kecil ekonomi berbasis seni-budaya di Indonesia selama ini antara lain juga akibat bidang kebudayaan memang tak pernah dimajukan secara substansial? Inggris dan Korea Selatan adalah contoh negara yang tak mengandalkan pertumbuhan ekonomi pada industri ekstraktif tapi pada bisnis-bisnis berbasis penciptaan nilai (value creation) dan bahkan de facto industri berbasis seni (popular) berskala besar.
Sayangnya, imajinasi pemerintah kita dalam menangani dampak krisis pandemi pada para pelaku seni dan budaya umumnya masih sebatas pemberian bansos dan subsidi. Pembicaraan tentang skema stimulus ekonomi juga hanya sebatas pada beberapa sektor.
Di sektor perfilman, ketika kelompok “insan film” menghadap Jokowi pada Maret 2021 dan meminta stimulus untuk bioskop dari dana Pemulihan Ekonomi Nasional, sampai sekarang belum jelas kelanjutan skema itu. Skema stimulus ekonomi bagi sektor seni dan budaya di titik ini mungkin terlambat, walau tetap diperlukan.
Pada Juni 2020, Jerman meluncurkan paket stimulus ekonomi untuk seni dan budaya sebesar 1 miliar euro. Tercakup di dalamnya, 250 juta euro untuk berbagai lembaga dan perusahaan yang biasanya dibiayai secara privat (bukan subsidi), antara lain art fair, book fair, klub-klub musik, teater, dan bioskop. Museum-museum dan pusat-pusat kesenian masuk dalam skema stimulus itu. Menariknya, 150 juta euro diarahkan untuk proyek-proyek digital, termasuk di museum.
Dasar pikiran Angela Merkel jelas: kerugian ekonomis apabila ekosistem seni dan budaya runtuh akibat krisis ekonomi terbesar dalam sejarah akibat pandemi ini, akan jauh lebih besar daripada nilai stimulus ekonomi tersebut. Sementara persepsi pengampu kebijakan di Indonesia, juga publik: seni dan budaya adalah “barang mewah”, beban ekonomi semata, dan jadi salah satu yang harus dibabat lebih dulu saat krisis melanda.
Beratnya beban stimulus pada APBN, membuat ekonom M Chatib Basri sudah menyeru pentingnya pemerintah mulai menyiapkan exit strategy dari skema stimulus, dari sekarang.
Pembangunan infrastruktur harus dioptimalkan “untuk menciptakan pemulihan yang hijau, tangguh, dan inklusif”.
Dukungan ke seni-budaya
Jika bansos adalah “tensoplas”, atau paling banter semacam tabung oksigen sementara dalam keadaan darurat, subsidi/hibah seni harus mengalah pada alokasi untuk biaya kesehatan masyarakat, dan stimulus berisiko membebani APBN, lantas apakah akan kita biarkan kebudayaan mati?
Dalam siaran pers 4 Juni 2021 Menkeu Sri Mulyani Indrawati menegaskan investasi untuk pembangunan infrastruktur adalah kunci bagi pemulihan ekonomi global. Pembangunan infrastruktur harus dioptimalkan “untuk menciptakan pemulihan yang hijau, tangguh, dan inklusif”.
Pemerintah memang gandrung pada pembangunan infrastruktur, dan menerjemahkannya jadi proyek-proyek pembangunan fisik dengan fokus utama jalan tol, bandara, dan pelabuhan. Asumsinya: proyek infrastruktur akan meningkatkan konektivitas, menurunkan disparitas, dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Ketika pandemi melanda pada 2020, fokus anggaran harus dialihkan ke sektor kesehatan, relaksasi pajak, dan bansos. Tapi, pada 2021, Jokowi menggenjot lagi pembangunan infrastruktur dengan alokasi anggaran Rp 417,8 triliun, dan menggenjot skema pendanaan dengan mengejar sebanyak mungkin investasi asing. Sektor potensial lain yang dilirik: kesehatan, pariwisata, teknologi.
Pertanyaannya, kenapa tak tampak upaya keras berinvestasi membangun infrastruktur seni dan budaya? Mengapa pemerintah tak tertarik membangun “jalan tol” bagi industri perfilman, penerbitan, seni visual, media, desain, arsitektur, musik, dan seni pertunjukan? Setelah 1,5 tahun pandemi, para seniman dan pelaku kesenian tak berhenti bergerak.
Begitu banyak upaya inovasi untuk tetap berkesenian dengan siasat-siasat yang melibatkan platform digital, teknologi informasi, adopsi sistem blockchain, aktivasi ruang dan komunitas yang bermuara pada upaya-upaya penciptaan nilai (value creation) dan bukan sekadar penambahan nilai (value added). Dengan meminimalisasi mobilitas pun, sektor seni (walau belum secara merata) tampak memiliki potensi untuk tumbuh, bahkan jadi besar.
Namun, pertumbuhan ekonomi dari sektor seni dan budaya akan terjegal, apabila infrastruktur untuk seni dan budaya tak dibangun. Infrastruktur seni dan budaya bukan sebatas yang tersangkut dengan pariwisata —itu imaji yang tak lagi memadai tentang nilai ekonomi bagi seni dan budaya.
Saat ini, pengembangan seni dan budaya kontemporer (termasuk yang populer) sudah tak sekadar bisa jadi hiasan turisme belaka, tapi bisa jadi elemen penting soft power sebuah negara di dunia global, perubahan sosial masyarakat lokal, dan perubahan lingkungan hidup.
Kini, infrastruktur seni dan budaya yang genting dibangun misalnya infrastruktur digital untuk meluaskan akses warga hingga di pelosok Indonesia terhadap platform, konten, produksi, distribusi, market place, dan transaksi digital. Lalu: aktivasi ruang-ruang kesenian untuk latihan, berproses, dan memproduksi konten –sembari menyiapkan juga ruang-ruang pertunjukan untuk bersiap saat pertunjukan bisa kembali.
Selain itu: regulasi dan fasilitasi pengembangan IP bagi para seniman berbagai sektor, dan sebagainya. “Jalan tol” seni-budaya biayanya bisa jadi lebih murah dari jalan-jalan tol yang menjadi fokus Jokowi, dan amat mungkin dirancang agar lebih ramah lingkungan hidup.
Hikmat Darmawan Wakil Ketua 1 Dewan Kesenian Jakarta