Pembenahan barangkali harus dilakukan dengan meninjau kembali kasus per kasus karena persoalan yang dihadapi setiap KEK berbeda-beda. Pemerintah jangan hanya mengejar target jumlah KEK.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Gambaran compang-camping kondisi sebagian besar kawasan ekonomi khusus harus menjadi momentum pembenahan KEK yang jumlahnya terus membengkak.
Sebagaimana kawasan ekonomi yang sudah ada sebelumnya, seperti kawasan pengembangan ekonomi terpadu, kawasan berikat, kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, serta kawasan industri, keberadaan KEK belum menunjukkan kinerja seperti yang diharapkan.
Dari catatan Kompas, sampai 16 Juli 2021 tercatat sudah 19 KEK dibangun, meliputi KEK industri dan KEK pariwisata. Dari jumlah itu, 12 KEK sudah beroperasi dan tujuh lagi dalam pengembangan. Dari 12 yang sudah beroperasi, hanya tiga yang dinilai berjalan baik; tecermin dari realisasi investasi, yaitu KEK Galang Batang, KEK Mandalika, dan KEK Kendal.
Dewan Nasional KEK sudah mengusulkan pencabutan status KEK atau melontarkan peringatan kepada sejumlah KEK yang tidak menunjukkan kinerja karena berbagai kendala atau karena macet dalam pengembangannya.
Sangat rendahnya realisasi investasi dibandingkan dengan komitmen dan target, seperti ditunjukkan dalam Laporan Tahunan Dewan Nasional KEK tahun 2000, menjadi gambaran dari masih rendahnya kinerja sebagian besar KEK.
Kegagalan sebuah KEK juga bisa ditunjukkan oleh kecilnya sumbangan devisa dari ekspor-impor, minimnya peningkatan nilai tambah dan keterkaitan ke depan dan ke belakang (backward and forward linkages) dengan industri domestik, serta belum adanya dampak signifikan terhadap perekonomian daerah di kawasan tersebut.
Dari gambaran yang kita tangkap, terlihat ada beberapa persoalan yang membuat belum semua KEK berjalan baik. Salah satunya, seperti diakui, adalah kurang cermatnya studi sebelum suatu kawasan ditetapkan menjadi KEK.
Hal lainnya adalah lokasi geografis dan absennya ketersediaan jaringan infrastruktur yang baik dan terintegrasi, struktur kelembagaan yang kurang mendukung, dan lemahnya koordinasi antarinstansi. Belum semua KEK terintegrasi dengan jalur pelayaran internasional atau memiliki akses langsung ke pasar internasional dan domestik.
Dewan Nasional KEK juga menyebut adanya kendala internal, yakni pengelola atau manajemen kawasan yang tak efektif/efisien. Namun, tak jarang, masalahnya di luar kendali pengelola. Contohnya, ketidakjelasan insentif dan peraturan serta lemahnya koordinasi pusat dengan daerah, khususnya terkait regulasi yang kurang bersahabat bagi iklim usaha. Dalam beberapa kasus, isu tenaga kerja atau perburuhan juga jadi disinsentif bagi calon investor untuk masuk ke KEK.
Pembenahan barangkali harus dilakukan dengan meninjau kembali kasus per kasus karena persoalan yang dihadapi setiap KEK berbeda-beda. Pemerintah jangan hanya mengejar target jumlah KEK dan terlalu bernafsu menambah KEK baru, sementara KEK yang ada tidak terurus dengan baik. Peran lebih besar BUMN sebagai pionir juga diperlukan di KEK yang minim investasi dan belum mampu menarik investor swasta.