Fenomena ”Burn Out” di Tenis Putri Dunia
Hidup sebagai petenis profesional yang terikat komitmen mati, diatur agen, dan dikendalikan persatuan tenis dunia berisiko jenuh luar biasa, ”tournament fatigue”, ”mental fatigue”. Petenis bisa mengalami ”burn out”.
Terminologi ini sulit dicari padanan tepatnya dalam bahasa Indonesia. Burn out! Menggambarkan kondisi seseorang yang sudah kehilangan seluruh motivasi dan semangatnya. Ambruk, runtuh motivasinya. Kalau dia atlet, ya ”kobong” semangatnya, tiada motivasi lagi untuk melakukan aktivitas bertanding. Bisa berhenti sementara atau seterusnya.
Pernyataan petenis top dunia, Naomi Osaka (23), pekan lalu, untuk ”istirahat dulu bertanding tenis, entah sampai kapan...,” setelah kekalahannya atas petenis sensasional Kanada, Leylah Annie Fernandez (19), di babak ketiga turnamen tenis Grand Slam AS Terbuka, Jumat (3/9/2021), mengingatkan akan banyaknya kejadian burn out di kalangan petenis putri dunia pada awal 2000-an.
Pertengahan 1990-an sampai awal 2000-an bermunculan banyak tennis prodigy, petenis-petenis ajaib usia remaja yang melejit prestasinya melebihi seniornya. Mereka adalah Steffi Graf, Monica Seles, Martina Hingis di Eropa dan Tracy Austin, Jennifer Capriati di AS. Mereka cepat melesat, berprestasi hebat pada usia remaja belasan tahun. Padahal, pada dekade sebelumnya, hanya petenis-petenis usia mulai matang 23 tahunan baru bisa melakukan pencapaian prestasi seperti itu.
Bisa dirunut satu per satu. Steffi Graf, ”anak ajaib” tenis Jerman kelahiran Mannheim (14 Juni 1969) ini boleh dikata adalah pemicunya. Peter Graf, sang ayah yang salesman di bidang otomotif tetapi bercita-cita menjadi pelatih tenis, mengenalkan anaknya, Steffanie Graf, bermain tenis pada usia 3 tahun. Si kecil Steffi sudah mulai mengayun-ayun raket kayu pada usia teramat dini.
Usia 9 tahun, keluarga Graf pindah ke kota Bruhl dan Steffi mulai berlatih di lapangan pada usia 4 tahun. Steffi Graf pertama kali ikut tanding di turnamen (kelompok usia yunior) pada umur 5 tahun. Dan mulai tanding serta juara di turnamen-turnamen senior di Eropa pada usia 12 tahun. Steffi Graf bahkan sudah menjadi petenis profesional pada usia 13 tahun (18 Oktober 1982).
Sebegitu dini Steffi Graf masuk ke dunia profesional, tidak heran jika ia sudah mulai juara di turnamen senior seri Grand Slam pada usia 18 tahun (1987) di Perancis Terbuka. Tahun berikutnya pada 1988, Steffi Graf mencapai prestasi yang belum pernah dilakukan manusia lain di muka bumi. Ia meraih Golden Slam–juara berturut-turut empat turnamen Grand Slam, Australia Terbuka, Perancis Terbuka, Wimbledon, dan AS Terbuka, plus juara Olimpiade Seoul 1988.
Steffi Graf mencatatkan diri sebagai satu-satunya petenis di dunia yang mampu menjuarai setidaknya empat kali di setiap seri turnamen Grand Slam. Petenis lelaki pun tak ada yang mampu melakukannya.
Apa yang dilakukan ayah Steffi, Peter Graf–mengenalkan pada anaknya main tenis sejak usia sangat dini–menular bagai wabah pandemi di dunia. Banyak orangtua di Eropa yang berangan-angan memiliki anak seperti Steffi Graf. Para orangtua ingin menjadikan anak-anak mereka petenis top dunia pada usia remaja.
Monica Seles, petenis asal Yugoslavia yang muncul setelah Steffi Graf, merupakan salah satu pengikut jejaknya. Seles kelahiran Novi Sad, Serbia (bekas Yugoslavia), 2 Desember 1973, dari orangtua berdarah Hongaria. (Nantinya mereka migrasi ke Amerika Serikat pada 1994 saat Monica Seles sudah menjadi petenis top dunia).
Baca juga: Kerajaan Uang Flushing Meadows
Monica Seles menjadi petenis termuda yang mampu juara di turnamen seri Grand Slam, yakni Perancis Terbuka, pada usia 16 tahun (1990). Seles bahkan berhasil menjuarai sembilan turnamen seri Grand Slam di tunggal, 8 di antaranya diraih ketika Seles masih berkewarganegaraan Yugoslavia. Satu gelar juara seri Grand Slam lagi diraih ketika Seles sudah menjadi warga negara AS dan tinggal di Sarasota, Florida.
Komitmen ketat
Steffi Graf dan juga Monica Seles menjadi contoh sukses petenis dunia, yang memulai karier mereka pada usia dini. Kebetulan, keduanya sukses, konsisten, dan spektakuler mencapai puncak karier mereka. Steffi Graf dan Monica Seles merupakan tennis prodigies anak-anak ajaib tenis yang mampu menguasai dunia, dan konsisten mempertahankannya. Tidak ambruk, tidak burn out.
Tetapi yang lain? Banyak yang ambruk. Burn out. Sempat sukses dan hebat jadi petenis top dunia saat remaja, tetapi mereka akhirnya pada ”kobong” sebelum sampai di pengujung jalan. Mereka keburu sudah jenuh (mental fatigue) dan ogah bertanding (tournament fatigue). Mogok main, berhenti beberapa lama, meski kemudian merangkak lagi untuk meraih reputasi puncak kembali. Kejenuhan bisa terjadi lantaran mereka kehilangan masa indah, masa kanak-kanak dan masa remaja secara utuh seperti manusia normal yang lainnya.
Sebagai petenis profesional, meski usia remaja sekalipun, mereka harus menjalani hidup yang sebenarnya diperuntukkan bagi orang dewasa–hidup diatur program tur yang ketat oleh agen atau manajemen, latihan ketat, bangun pagi-pagi setiap hari sebelum berlatih atau bertanding.
Baca juga: Panggung Unjuk Diri Para Remaja
Secara profesional, remaja-remaja ini juga terikat komitmen bisnis yang ketat–kudu menaati peraturan-peraturan sebagai petenis profesional–di antaranya tidak boleh seenaknya mengatur sendiri keikutsertaan mereka di turnamen-turnamen. Ada minimal jumlah keikutsertaan di turnamen untuk pemain top pada peringkat tertentu. Keikutsertaan di turnamen bagi petenis berperingkat top dunia itu merupakan komitmen mati, kalau tak mau didenda.
Seorang petenis profesional juga harus mau tampil dalam wawancara pasca-pertandingan, kalau tidak tampil ya didenda (seperti pernah terjadi pada Naomi Osaka ketika menolak jumpa pers di Perancis Terbuka). Ada kebutuhan resiprokal, antara petenis dan manajemen serta persatuan tenis dunia. Petenis diberi uang berlimpah, tetapi mereka juga harus mengikuti aturan untuk tampil agar roda bisnis ”kerajaan uang” di tenis berputar.
Hadiah uangnya? Sungguh tidak main-main. Jumlah hadiah total empat seri turnamen Grand Slam Australia Terbuka, Perancis Terbuka, Wimbledon, dan AS Terbuka menyediakan hadiah bernilai triliunan. Grand Slam di AS Terbuka, misalnya, total hadiahnya 57,5 juta dollar AS atau senilai Rp 820 miliar!
”Burn out”
Komitmen ketat yang diatur persatuan tenis dunia sekaligus agen petenis praktis membuat petenis dunia seolah hidup dari satu turnamen ke turnamen lain. Dari satu negeri ke negeri lain tanpa pulang ke rumah. Mereka benar-benar hidup dari satu hotel ke hotel lain lagi. Setiap dua minggu sekali setidaknya, petenis dunia harus selalu bergegas ke bandara, mengejar jadwal pesawat yang membawa mereka ke turnamen berikut.
Orang boleh menganggap hidup mereka enak, bergelimang uang miliaran, bahkan triliunan. Tinggal setiap hari di hotel berbintang. Jamuan makanan berkelas. Namun, para petenis itu sebenarnya justru membayangkan, betapa hidup sebagai orang normal itu nikmat. Suatu hal yang mereka tak merasakan, hidup di tengah keluarga dan tinggal di rumah, menetap dalam jangka waktu yang lama saat usia emas mereka sebagai kanak-kanak dan remaja.
Kejenuhan, mental fatique, akhirnya banyak mendera pemain. Kalau tidak kuat, apalagi setelah mengalami kegagalan, atau kalah bertanding seperti yang dialami Naomi Osaka di AS Terbuka, kalah lawan pemain ”kemarin sore”? Mereka bisa burn out. Jenuh dan kehilangan motivasi sama sekali.
Petenis dunia yang selalu dipakai sebagai contoh burn out paling spektakuler ya Martina Hingis. Petenis Swiss ini meraih prestasi spektakuler di percaturan tenis dunia–termasuk menjuarai turnamen-turnamen Grand Slam dunia–pada usia remaja. Namun, pada suatu titik, ia merasa jenuh, hilang motivasi. Burn out. Ia pun berhenti main tenis pada saat masih usia relatif muda.
Hingis lahir dengan nama Martina Hingisova di Kosice, Cekoslowakia (kini Slowakia), pada 30 September 1980. Kedua orangtua Hingis, Melanie Molitorova dan Karol Hingis, dulunya adalah petenis. Molitorova, ibunya Hingis, termasuk sepuluh besar petenis di Cekoslowakia. Karol Hingis peringkat ke-19 nasional di Cekoslowakia. Molitorova begitu berambisi membesarkan anaknya jadi petenis top dunia. Sampai digambarkan ”berniat mengembangkan Martina Hingis agar nantinya jadi petenis hebat sejak dalam kandungan!”.
Hingis menghabiskan masa balitanya di kota kecil Roznov pod Radhostem (kini Ceko). Orangtuanya bercerai ketika ia berusia enam tahun dan ibunya membelot dari Cekoslowakia tahun 1987 dan migrasi ke Trubbah (Wartau) di Swiss saat Hingis berusia 7 tahun. Ibunya kawin lagi dengan seorang warga Swiss, Andreas Zogg, seorang teknisi komputer, sehingga Martina Hingis bisa dinaturalisasi sebagai warga negara Swiss.
Martina Hingis mulai dikenalkan main tenis oleh orangtuanya pada usia 2 tahun. Ia ikut turnamen tenis pertama kali pada usia 4 tahun. Pada tahun 1993, Martina Hingis menjadi petenis termuda sepanjang sejarah yang mampu menjuarai turnamen yunior seri Grand Slam Perancis Terbuka (1993) pada usia 12 tahun. Tahun berikut ia kembali menjuarai yunior Perancis Terbuka dan bahkan juga juara yunior Wimbledon pada usia 13 tahun. Lebih dari itu, Martina Hingis pada usia 13 bahkan lolos sampai babak utama turnamen AS Terbuka (senior) pada 1994.
Beberapa reputasi ”termuda” melekat pada diri Martina Hingis pada tahun 1990-an. Termasuk di antaranya, petenis termuda dalam sejarah yang meraih gelar juara Grand Slam. Ia pernah pula dapat predikat petenis nomor satu dunia termuda dalam waktu yang panjang, selama 209 pekan di nomor tunggal dan 90 pekan di nomor ganda!
Dia meraih lima gelar juara tunggal Grand Slam dalam kariernya dan 13 juara ganda Grand Slam.Ia juga pernah meraih gelar juara Grand Slam berturut-turut dalam satu kalender tahun pada 1998. Bahkan, di nomor ganda campuran pun, ia pernah tujuh kali juara Grand Slam. Sangat ambisius....
Terlalu habis-habisan mengejar ”yang ter” di dunia, membuat Hingis tidak hanya didera kejenuhan mental. Ia juga mengalami cedera ligamen, cedera lutut yang cukup parah di kedua kakinya. Kejenuhan dan cedera ligamen ini memaksa Martina Hingis berhenti bertanding pada 2003 saat usianya masih 22 tahun. Padahal, menurut majalah Forbes, Martina Hingis tercatat sebagai atlet perempuan berpenghasilan paling tinggi di dunia dalam rentang waktu 1997 sampai 2001.
Setelah didera jenuh dan juga cedera, serta menjalani sejumlah operasi lutut yang butuh penyembuhan lama, Martina Hingis kembali bertanding di turnamen WTA pada 2006 setelah tiga tahun gantung raket. Ia sempat meraih peringkat keenam dunia dan mendapat penghargaan ”Comeback Player of the Year”. Namun, tak urung setahun kemudian, 2007, ia berhenti lagi karena didera kejenuhan dan cedera.
Bulan Juli 2013, Hingis kembali bertenis, tetapi hanya tampil di ganda. Ia sudah tidak kuat mental lagi tampil di tunggal. Dalam comeback-nya di ganda, Hingis sempat juara empat kali Grand Slam dan enam ganda campuran Grand Slam. Bahkan, Martina Hingis juga meraih medali perak di Olimpiade 2016.
Prestasi memang bisa dikejar sejak usia dini. Ibaratnya seperti mengejar setan. Namun, awas, terbakar dan ”kobong" semangat di perjalanan. Setelah ambruk, perlu waktu lama lagi untuk bangkit meraih prestasi sebelum berhenti bertanding. Belum cedera fisik, seperti dialami Martina Hingis, dan juga Jennifer Capriati, dan sebelumnya Tracy Austin.
Hidup sebagai petenis profesional yang terikat komitmen mati, diatur agen, dan juga dikendalikan persatuan tenis dunia memang berisiko jenuh luar biasa, tournament fatigue, mental fatigue. Yang lebih parah lagi, fisik tidak bisa dipaksa. Tubuh pun bisa jenuh dan bisa cedera berkepanjangan.
Dua petenis legendaris, Steffi Graf dan Monica Seles, berhasil mengatasinya. Namun, petenis-petenis lain, seperti Martina Hingis, Jennifer Capriati, dan Tracy Austin? Mereka mengalami burn out. Bisa mengalami hilang motivasi dan bahkan tiada semangat bertanding lagi jika tidak bermental baja seperti Steffi Graf dan Monica Seles....
(Jimmy S Harianto, wartawan Kompas 1975-2012)